Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Januari 2017

Vonis Mati bagi Koruptor Layak Diterapkan

Vonis Mati bagi Koruptor Layak Diterapkan

Detail Diterbitkan pada Jumat, Juli 20 2012 12:00 Dibaca: 17576

Twitter

img4bcff06a05be9Hukuman mati bagi para koruptor sesungguhnya sudah dapat dilakukan dalam UU yang berlaku saat ini. Namun hal itu tidak pernah digunakan oleh hakim dalam memvonis koruptor selama ini.

"Artinya, kalau Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) saat ini sedang mengkaji kemungkinan dibelakukannya hukuman mati bagi koruptor, sebetulnya dalam UU sudah ada mengenai ketentuan itu. Jadi tidak perlu harus dikaji lagi, karena di UU sudah ada," ujar mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga kepada Suara Karya, Kamis (19/7).

Menurut Benjamin, ketidakinginan hakim menerapkan hukuman mati terhadap koruptor bisa jadi karena kepentingan politik atau hal lainnya. Sebaliknya, hakim dalam memutus perkara justru cenderung jauh dari rasa keadilan masyarakat.

"Padahal, saya sangat setuju kalau koruptor itu dihukum mati. Sebab, hukuman mati merupakan upaya pemberantasan korupsi yang memberikan efek jera. Saya sendiri saat menjadi hakim pernah memvonis mati koruptor, kalau tidak salah tahun 1986," ujar Benjamin.

Terkait dengan itu, ia berharap hakim dapat mempertimbangkan vonis mati terhadap koruptor jika memang pantas.

Senada, peneliti hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilam Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengatakan, penerapan hukuman mati tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sehingga tidak perlu lagi ada payung hukum untuk mengatur hal tersebut.

Namun demikian, untuk menerapkan hukuman mati bagi koruptor tidak serta merta diterapkan bilamana negara tidak dalam bencana atau krisis ekonomi.

"Pemberlakuan hukuman mati dapat diberlakukan manakala negara dalam keadaan darurat bencana atau krisis ekonomi. Nah persoalannya, kondisi seperti itu kan tidak bisa dipaksana. Makanya sifatnya hanya tertentu saja," ujarnya menambahkan.

Wacana pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor mencuat setelah ada pernyataan dari anggota Wantimpres bidang hukum dan HAM, Albert Hasibuan. Ia menilai, untuk memberikan efek jera, perlu ada klausul hukuman mati bagi koruptor. Bahkan pihaknya sudah membentuk Tim Kajian Strategi Percepatan Pemberantasan Korupsi (TKSPPK). Dalam tim itu, menurut dia, masalah hukuman mati sempat dibicarakan, termasuk hukuman seumur hidup.

Sumber : Suara Karya, 20 Juli 2012

Albert megakui, hukuman yang dikenakan pada koruptor selama ini masih jauh dari rasa keadilan. Ia mencontohkan hukuman penjara 3 tahun bagi pelaku yang sudah meraup uang negara hingga Rp 30 miliar. Hal ini berbanding terbalik dengan pelaku kriminal lainnya yang dapat hukuman lebih berat.

Ia mengingatkan ucapan Bung Hatta yang menyebut korupsi menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Korupsi pun dianggap sudah berkembang dan mengakar tanpa ada efek jera sedikitpun.

Mantan Anggota Komnas HAM ini mengaku prihatin dengan indeks korupsi Indonesia dimata dunia internasional. Ia menyebut data dari Transparency International tahun 2011 yang menyebut Indeks Korupsi Indonesia berada diurutan 100, sama dengan Djibouti sebuah negara miskin di Afrika.

Contoh lainnya, kata Albert, soal kembali tertangkapnya pegawai Ditjen Pajak oleh institusi penegak hukum. Hal itu dinilai sebagai akibat dari lemahnya hukuman yang dijatuhi oleh hakim yang tidak memberikan efek jera. Sebab itu, katanya, sudah tidak selayaknya hakim menyatakan adanya hal-hal yang meringankan dalam menjatuhkan vonis.


https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/547-vonis-mati-bagi-koruptor-layak-diterapkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar