Total Tayangan Halaman

Senin, 31 Juli 2017

MUHAMMAD NAZARUDDIN


MUHAMMAD NAZARUDDIN

DETAIL

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Pendidikan

S-1

Profesi

Anggota DPR RI

Institusi

DPR RI

Waktu Kejadian Perkara

2010

Waktu Inkracht

2012

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Pertama
Pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Kedua
Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Ketiga
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Tuntutan

Pidana Penjara : 7 (tujuh) tahun, dikurangi masa tahanan.Denda : Rp300.000.000,- subsidiair 6 (enam) bulan.Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri
No: 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST
- Pidana Penjara : 4 (empat) tahun dan 10 (sepuluh) bulan, dikurangi masa tahanan.
- Denda : Rp200.000.000,- subsidiair 4 (empat) bulan kurungan
- Biaya Perkara : Rp 7.500,-

Pengadilan Tinggi
No: 31/Pid/TPK/2012/PT.DKI
- Menerima putusan banding dari Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penasihat Hukum Muhammad Nazaruddin.
- Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 69/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST tanggal 20 April 2012.
- Biaya Perkara : Rp2.500,-

Mahkamah Agung
No: 2223 K/Pid.Sus/2012
- Pidana Penjara : 7 (tujuh) tahun.
- Denda : Rp300.000.000,- subsidiair 6 (enam) bulan.
- Biaya Perkara : Rp 2.500,-

Deskripsi Kasus

2010
Januari 2010. Nazaruddin bertemu Angelina Sondakh (anggota Badan Anggaran dari Komisi X DPR RI) di Nippon Kan Restaurant Hotel Sultan Jakarta Selatan, dan memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang selaku Marketing PT. Anak Negeri. Nazaruddin meminta kepada Angelina Sondakh agar Mindo Rosalina difasilitasi untuk mendapatkan proyek-proyek di Kemenpora. Dalam kesempatan itu, Angelina Sondakh pun bersedia membantu dan meminta Nazaruddin serta Mindo Rosalina agar juga menghubungi pihak Kemenpora.

April 2010. Di Rumah Makan Arcadia di belakang Hotel Century Jakarta Pusat, Nazaruddin bersama dengan Mindo Rosalina bertemu dengan Wafid Muharam selaku Sekretaris Menteri Pemuda dan Olah Raga (Sesmenpora), dan meminta Wafid Muharam agar difasilitasi untuk mendapatkan proyek Pembangunan Wisma Atlet, dan merekomendasikan PT. DGI Tbk sebagai perusahaan yang akan mengerjakan proyek tersebut, karena PT. DGI merupakan perusahaan swasta yang baik dan telah berpengalaman membangun gedung Grand Indonesia. Atas permintaan tersebut, Wafid Muharam bersedia melaksanakannya asalkan Pimpinan dan teman-teman DPR menyetujui. Kemudian ditanggapi oleh Nazaruddin bahwa hal tersebut sudah "clear and clean", serta telah disetujui oleh teman-teman Anggota Komisi X DPR RI. Bahkan sebentar lagi, anggarannya akan turun dengan jumlah yang besar.

Agustus 2010. Mindo Rosalina dan Mohamad El Idris (Manager Marketing PT. DGI) melakukan pertemuan dengan Rizal Abdullah selaku Ketua Komite Pembangunan Wisma Atlet Palembang Sumsel, dan meminta supaya PT. DGI yang mengerjakan pembangunan proyek tersebut. Pada tanggal 16 Agustus 2010, di kantor Kemenpora, saat pengurusan perjanjian kerja sama (MoU) antara Kemenpora dengan Komite Pembangunan Wisma Atlet Provinsi Sumsel sebesar Rp199,6 Miliar, Wafid Muharam meminta Rizal Abdullah agar PT. DGI dibantu supaya menjadi pelaksana pekerjaan dalam proyek tersebut.
September-Desember 2010. Di kantor Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Palembang Sumsel, Mohamad El Idris bersama Wawan Karmawan beberapa kali melakukan pertemuan dengan Rizal Abdullah dan M. Arifin selaku Ketua panitia Pelelangan Pengadaan Barang/Jasa Kegiatan Pembangunan Wisma Atlet di Palembang Sumsel - untuk memberikan data perencanaan, gambar desain, data personel dan peralatan PT. DGI sekaligus data perusahaan pendamping, dalam rangka melakukan pengaturan agar PT. DGI mendapatkan proyek tersebut.

Selanjutnya, M. Arifin membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang akan digunakan sebagai dokumen pelelangan dalam Proyek Pembangunan Wisma Atlet, yang mana pada akhirnya PT. DGI dinyatakan sebagai pemenang dengan nilai kontrak sebesar Rp191,6 Miliar.

2011
Januari 2011. Nazaruddin memerintahkan kepada Mindo Rosalina untuk menanyakan kepada Mohamad El Idris mengenai fee berupa uang yang akan dberikan kepada pihak-pihak yang dianggap telah membantu dan berjasa dalam memenangkan PT. DGI sebagai pelaksana Proyek. Akhirnya disepakati adanya pemberian fee kepada Nazaruddin sebesar 13%, untuk Gubernur Sumatera Selatan sebesar 2,5%, untuk Komite Pembangunan Wisma Atlet sebesar 2,5%, untuk Panitia Pelelangan/Pengadaan sebesar 0,5%, untuk Sesmenpora seebsar 2%, sedangkan untuk Mindo Rosalina sebesar 0,2% - dari nilai kontrak setelah dikurangi Ppn dan Pph.

Februari - April 2011. Mohamad El Idris kemudian menyerahkan cek senilai Rp4,7 Miliar kepada Nazaruddin melalui Yulianis dan Oktarina Furi (keduanya staf bagian keuangan PT. Anak Negeri) sebagai realisasi dari sebagian kesepakatan pemberian fee sebesar 13%.

MUHAMMAD SYAKIR


MUHAMMAD SYAKIR

DETAIL

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Pendidikan

S-1

Profesi

Direktur PT Soegih Interjaya

Institusi

Swasta

Waktu Kejadian Perkara

2014

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Pertama
Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP

Kedua
Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP

Tuntutan

- Pidana Penjara : 5 (lima) tahun penjara, dikurangi masa tahanan.
- Denda : Rp250.000.000,- subsidiair 5 (lima) bulan kurungan.
- Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri

No. 24/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST
- Pidana Penjara : 4 (empat) tahun penjara, dikurangi masa tahanan.
- Denda : Rp50.000.000,- subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan.
- Biaya Perkara : Rp10.000,-

Deskripsi Kasus

2003

Pada tanggal 2 Mei 2003, OCTEL dan PT Pertamina membuat MoU, yang menyepakati bahwa pembelian TEL akan dilakukan dalam periode tahun 2003 – 2004 dengan harga sebesar USD9,975/MT. Dalam waktu bersamaan Pemerintah Republik Indonesia mencanangkan proyek langit biru yang salah satu programnya adalah penghapusan timbal (TEL) dalam bensin dan solar di dalam negeri per 31 Desember 2004.

Pada Mei 2003, Willy memerintahkan Muhammad Syakir menyampaikan kepada Miltos tentang rencana penerapan proyek langit biru di Indonesia serta strategi yang akan dilakukan Willy yaitu memperlambat proses penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri ESDM, Menteri KLH dan Menteri Keuangan terkait proyek Langit Biru serta mencari cara untuk memperpanjang penggunaan TEL di Indonesia dengan mengusahakan penggunaan Plutocen sebagai oktan alternative yang diikuti permintaan imbalan sejumlah uang oleh Muhammad Syakir untuk para pejabat pertamina dengan alasan perusahaan lain pemasok Plutocen kepada PT Pertamina melakukan pemberian imbalan yang sama.

Pada November 2004 Willy dan Muhammad Syakir melakukan pertemuan dengan Surosu di kantor PT Pertamina, dan Muhammad Syakir menyampaikan kepada Suroso terkait pengiriman TEL oleh OCTEL kepada PT. Pertamina melalui PT SI sejumlah 450 MT dengan harga sebesar USD11,000/MT, Suroso menyetujuinya dengan syarat Willy memberikan fee sebesar USD500/MT dan Muhammad Syakir dan Willy menyetujuinya.

Pada tanggal 30 November 2004 Muhammad Syakir menyampaikan kepada David, dan David menyatakan kesediaannya memberikan fee kepada Suroso sebesar USD500/MT untuk pesanan yang diterima sebelum akhir tahun 2004 dengan harga USD11,000/MT hingga batas maksimum sebanyak 450MT sehingga jumlah maksimum yang diterima Suroso sejumlah USD225,000 dan jika berhasil memperpanjang kontrak TEL sampai tahun 2005, OCTEL akan melakukan pembayaran kepada Suroso yang diambil dari komisi yang dibayarkan OCTEL kepada PT SI.

Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Suroso membuat MoU berisikan tentang kebutuhan TEL yang diperlukan adalah sejumlah 455,20MT dan mengupayakan harganya sama dengan harga pada surat pesanan pembelian TEL yang terakhir yaitu sebesar USD9,975/MT, selanjutnya Suroso meminta persetujuan Direksi PT Pertamina untuk melakukan proses pengadaan dengan menunjuk PT SI.

Pada tanggal 21 Desember 2004, atas perintah Willy selaku Direktur PT SI, Muhammad Syakir dan PT Pertamina yang diwakili oleh Djohan, Satya dan Edwin melakukan negosiasi harga TEL untuk kebutuhan PT Pertamina bulan Desember 2004 dan selanjutnya pada tanggal 22 Desember 2004 Suroso selaku Direktur Pengolahan menyetujui OCTEL menjadi pemasok TEL untuk periode Desember 2004 dengan harga sebesar USD10.750/MT, dimana harga sebelumnya sebesar USD9.975/MT.

Selanjutnya pada tanggal yang sama PT Pertamina menerbitkan Purchase Order kepada OCTEL untuk pembelian TEL sebanyak 446,4MT dengan harga USD10,750 senilai total USD4,798,800.00. Atas Purchase Order ini Willy menerima komisi dari pihak OCTEL komisi normal sebesar 6% dari total penjualan yaitu sebesar USD276.544. disamping itu tambahan komisi sebesar USD300,000.00 dengan cara menambah komisi sebesar 4% dari total pnjualan yaitu sebesar USD184.363.2 dan selisihnya yaitu sebesar UD115,636.81 dibuatkan tagihan service dan dukungan.

Pada bulan April 2005, Willy membayarkan biaya perjalanan Suroso ke London dan David membayarkan fasilitas menginap untuk Suroso dengan total sebesar 149,50 Poundsterling.

Bahwa perbuatan Willy, David, Paul, Dennis, Miltos, OCTEL dan Muhammad Syakir memberi uang seluruhnya sebesar USD190.000 kepada Suroso dengan maksud agar Suroso sebagai Direktur Pengolahan PT Pertamina menyetujui OCTEL melalui PT SI menjadi pemasok TEL untuk periode bulan Desember 2004 dan tahun 2005.

RUDYANTO


RUDYANTO

DETAIL

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Pendidikan

S-1

Profesi

Direktur PT Ciputra Optima Mitra

Institusi

Swasta

Waktu Kejadian Perkara

2011

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jawa Tengah

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Pertama
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP.

Kedua
Pasal 13 jo 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP.

Tuntutan

- Pidana Penjara : 3 (tiga) tahun penjara, dikurangi masa tahanan.
- Denda : Rp100.000.000,- subsidiair 4 (empat) bulan kurungan.
- Uang Pengganti : Rp11.383.835.000,-
- Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri

No. : 16/PID.SUS-TPK/2016/PN.Smg
- Pidana Penjara : 2 (dua) tahun penjara, dikurangi masa tahanan.
- Denda : Rp100.000.000,- subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan.
- Uang Pengganti : Rp11.725.835.000,-
- Biaya Perkara : Rp5.000,-

Deskripsi Kasus

2011

Akhir Maret 2011 Rudyanto selaku Direktur PT Ciputra Optima Mitra bersama dengan Alfa (staf PT Ciputra Optima Mitra) menemui Ikmal selaku Walikota Tegal untuk menyampaikan keinginan membangun investasi permukiman di Kota Tegal dan Rudyanto memberikan uang kepada Ikmal sebesar Rp50 juta.

Rudyanto yang sedang melakukan pengembangan perumahan terkendala oleh pembebasan lahan di daerah Sipelem Kelurahan Kraton Kecamatan Tegal Barat karena adanya eks tanah bengkok seluas ± 13.472m2 milik Pemkot Tegal. Atas kendala tersebut, Rudyanto menemui Hartoto selaku Kabag Tata Pemerintahan Kota Tegal untuk menanyakan mengenai pembebasan lahan tersebut, yang kemudian disarankan agar Rudyanto mengajukan tukar menukar antara eks tanah bengkok di Kelurahan Kraton milik Pemkot Tegal dengan tanah sawah yang lebih bagus/subur dan lokasi dekat dengan tanah Pemkot Tegal. Atas saran tersebut, Rudyanto membeli tanah yang lokasinya di Kelurahan Debong Tengah dan Debong Kulon Kecamatan Tegal Selatan yang kemudian dilaporkan kepada Hartoto sekaligus memberikan uang sebesar Rp10 juta. 19 Mei 2011, Rudyanto mengajukan surat permohonan tukar menukar eks tanah bengkok Pemkot Tegal di Kelurahan Kraton dengan tanah miliknya di Kelurahan Debong Tengah dan Debong Kulon Kecamatan Tegal Selatan disertai pemberian uang sebesar Rp50 juta kepada Ikmal untuk mempercepat proses tukar menukar tanah.

Sekitar bulan Juni 2011 diadakan rapat membahas tukar menukar tanah yang dihadiri antara lain Ikmal, Edy selaku Sekda Kota Tegal, Hartoto, Herviyanto selaku Kabag Aset Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Tegal, Rudyanto, Cindy (staf PT Ciputra Optima Mitra) dan dalam rapat tersebut Edy merasa keberatan sehingga kesimpulan rapat bahwa tanah tersebut ditolak Pemkot Tegal karena tidak dipergunakan untuk kepentingan umum, padahal sebelum rapat Rudyanto telah memberikan uang kepada Hartoto sebesar Rp55 juta.

Pada pertengahan bulan Juni 2011 Rudyanto bersama Ways menemui Hartoto menanyakan kelanjutan tukar menukar tanah dan pada saat itu Hartoto menyarankan agar Rudyanto membeli tanah di Kelurahan Kaligangsa (daerah Bokong Semar) milik Rokhayah yang sebelumnya sudah dilakukan pengecekan oleh Hartoto, Edi, Syaeful dan Daryono, dimana tanah tersebut rencananya akan dijadikan TPA. Selain itu Rudyanto dan Ways juga menemui Edy dan memberikan uang sebesar Rp50 juta dengan maksud agar Edy membantu kelancaran tukar menukar tanah.

19 Agustus 2011, Rudyanto memberikan uang untuk THR kepada Kepala BPN Kota Tegal Hayu sebesar Rp5 juta dan tanggal 9 September 2011 Rudyanto juga memberikan uang kepada Edy sebesar Rp30 juta. Selanjutnya tanggal 8 November 2011 dilakukan kembali rapat yang dipimpin oleh Ikmal dengan hasil rapat mengabulkan permohonan tukar menukar tanah milik Pemkot Tegal yang berlokasi di Kelurahan Kraton seluas 13.472 m2 dengan tanah di Kelurahan Kaligangsa sebagaimana yang diajukan oleh Rudyanto.

Sekitar akhir Desember 2011 atau awal Januari 2012 Rudyanto menemui Rokhayah dan disepakati pembelian tanah di Kelurahan Kaligangsa (daerah Bokong Semar) Kecamatan Margadana seluas ± 37.024 m2. Untuk memperlancar penerbitan sertifikat hak milik di BPN Kota Tegal, Rudyanto memberikan uang kepada Budianto sebesar Rp10 juta dan pada tanggal 7 Februari 2012 uang sebesar Rp123 juta sebagai biaya tidak resmi. Untuk mempercepat putusan tukar menukar tanah, tanggal 27 Februari 2012 sebelum rapat Tim Pengarah dan Tim Teknis tukar menukar tanah dimulai, Rudyanto memberikan uang kepada Ikmal sebesar Rp250 juta, Hartoto sebesar Rp120 juta dan Edy Rp10 juta.

Pada tanggal 15 Maret 2012 Rudyanto selaku Direktur PT. Ciputra Optima Mitra dan Ikmal selaku Walikota Tegal menandatangani akta Perjanjian Tukar Menukar Tanah Pemerintah Kota Tegal, yang pada intinya para pihak setuju melakukan tukar menukar obyek tanah milik Pemkot Tegal Seluas 13.472m2 ditukar dengan tanah milik Rudyanto selaku Direktur PT Ciputra Optima Mitra seluas 36.985m2. Akibat perbuatan Rudyanto bersama-sama Ikmal Jaya selaku Walikota Tegal tersebut telah merugikan keuangan negara cq. Pemerintah Kota Tegal sebesar Rp11.726 miliar yang merupakan bagain dari keseluruhan kerugian negara atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan tukar guling tanah antara Pemerintah Kota Tegal dengan pihak swasta Tahun 2012 sebesar Rp35.189 miliar sesuai dengan laporan hasil audit BPKP tanggal 29 Desember 2014 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu.

SUDI WANTOKO


SUDI WANTOKO

DETAIL

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Pendidikan

S-2

Profesi

Direktur Keuangan dan Human Capital PT. Brantas Abipraya

Institusi

BUMN

Waktu Kejadian Perkara

2016

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Kesatu:
Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Kedua:
Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 53 ayat (1) KUHPidana jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Tuntutan

- Pidana Penjara : 4 (empat) tahun dikurangi masa tahanan;
- Denda : Rp200.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
- Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri

No: 51/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST.
Mengadili:
- Pidana Penjara : 3 (tiga) tahun dikurangi masa tahanan;
- Denda : Rp150.000.000,- subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;
- Biaya Perkara : Rp10.000,-

Deskripsi Kasus

2016
15 Maret 2016, Sudung Situmorang (Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta) mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan untuk melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan penggunaan keuangan perusahaan yang dilakukan oleh Sudi Wantoko (Direktur Keuangan dan Human Capital PT. Brantas Abipraya) yang merugikan keuangan negara dalam hal ini PT Brantas Abipraya (Persero) sebesar Rp7,1 Miliar.

18 Maret 2016, Tomo Sitepu (Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jakarta) memanggil beberapa staf PT Brantas Abipraya (Persero), yaitu Tumpang Muhammad (Senior Manajer Bidang Keuangan), Joko Widyantoro (Manajer Keuangan Kantor Pusat), Suhartono (Kepala Satuan Pengawas Internal), dan Lalita Pawar (Staf Departemen Keuangan) untuk meminta keterangan terkait dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pengunaan keuangan PT Brantas Abipraya (Persero) yang dilakukan oleh Sudi dengan cara mengirimkan surat permintaan keterangan.

21 Maret 2016, Sudi menerima laporan dari Joko, Lalita, dan Tumpang di ruang kerja Sudi, yang menyampaikan serta menunjukan surat permintaan keterangan dari Kejaksaan Tinggi Jakarta yang mencantumkan nama Sudi sebagai orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Setelah membaca surat permintaan keterangan tersebut, Sudi mempunyai pemikirian bahwa penanganan perkara penyimpangan dalam penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya (Persero) telah masuk dalam tahap penyidikan dan Sudi sebagai tersangkanya. Oleh karena itu, Sudi meminta Dandung Pamularno (Senior Manajer Pemasaran PT. Brantas Abipraya) untuk ikut membantu dalam menghentikan penyidikan tersebut. Selanjutnya, Dandung mencari informasi mengenai Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta adalah Sudung yang kenal dekat dengan Marudut.

22 Maret 2016 di sekitar Pindok Indah Jakarta, Dandung, Khairiansyah, Joko, dan Marudut melakukan pertemuan yang membahas mengenai Sudung agar menghentikan penyidikan terhadap penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya (Persero). Atas permintaan tersebut, Marudut akan segera membicarakannya dengan Sudung. Selanjutnya, Sudi memerintahkan Joko untuk mengikuti perkembangannya.

23 Maret 2016 sekitar pukul 09.00 WIB, Marudut menemui Sudung di Kantor Kejaksaan Tinggi Jakarta yang membahas mengenai permintaan Marudut kepada Sudung untuk menghentikan penyelidikan penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya (Persero). Atas permintaan tersebut, Sudung memerintahkan Marudut untuk membicarakan dengan Tomo. Selanjutnya, Marudut menemui Tomo di ruang kerjanya. Marudut meminta agar penyidikan perkara tersebut dihentikan atau diturunkan menjadi penyelidikan. Atas permintaan tersebut, Tomo menyetujui untuk menghentikan penyidikan dengan syarat bahwa Sudi memberikan sejumlah uang dan permintaan tersebut disanggupi oleh Marudut. Hasil pertemuan tersebut, disampaikan oleh Marudut kepada Dandung di sebuah hotel di Kuningan Jakarta Selatan. Selanjutnya, Dandung menemui Sudi di Kantor PT Brantas Abipraya (Persero) dan meminta uang sejumlah Rp2,5 Miliar untuk diberikan kepada Tomo dan Sudung. Atas permintaan tersebut, Sudi menyetujuinya dan memerintahkan Dandung untuk mengambil uang dari Kas PT Brantas Abipraya (Persero).

24 Maret 2016 sekitar pukul 10.00 WIB, Dandung menemui Marudut di salah satu hotel Jakarta Timur yang membahas mengenai Sudi telah menyetujui akan memberikan uang sejumlah Rp2,5 Miliar kepada Tomo dan Sudung untuk menghentikan penyidikan.

28 Maret 2016 sampai dengan tanggal 30 Maret 2016, Joko mengambil uang dari Kas PT Brantas Abipraya (Persero) sejumlah Rp2,5 Miliar dengan cara mengeluarkan voucher pengeluaran Kas PT Brantas Abipraya (Persero) sejumlah Rp5 Miliar untuk membiayai proyek Wisma Atlet di Kemayoran dan Proyek Rumah Susun di Makassar, sehingga seolah-olah pengeluaran uang tersebut untuk pembiayaan proyek, padahal sejumlah Rp2,5 Miliar untuk diberikan kepada Tomo dan Sudung. Selanjutnya, Dandung menghubungi Marudut dan menginformasikan bahwa uang sejumlah Rp2,5 Miliar akan disiapkan tanggal 31 Maret 2016 dan menyerahkan uang tersebut di Hotel Best Western Premier The Hive Jakarta Timur yang akan diberikan kepada Tomo dan Sudung.

31 Maret 2016, Dandung menerima uang sejumlah Rp2,5 Miliar dalam bentuk Dollar Amerika Serikat sejumlah USD186.035 dari Joko melalui Gunawan. Selanjutnya, Dandung menyisihkan sejumlah USD37.200 yang setara dengan sejumlah Rp500 Juta disimpan di laci meja kerja Dandung sebagai persediaan untuk membiayai makan dan golf dengan Sudung, sedangkan selebihnya, yaitu sejumlah USD148.835 yang setara dengan sejumlah Rp200 Juta dibungkus dengan plastik hitam dan diserahkan kepada Marudut di Hotel Best Western Premier The Hive Jakarta Timur untuk diberikan kepada Tomo dan Sudung. Selanjutnya, Marudut menghubungi Sudung dan Tomo untuk bertemu dan memberikan uang tersebut. Sudung dan Tomo mempersilahkan Marudut untuk datang ke Kantor Kejaksaan Tinggi Jakarta untuk memberikan uang sejumlah USD148.835 kepada Sudung dan Tomo. Namun dalam perjalanan menuju ke Kantor Kejaksaan Tinggi Jakarta, Marudut ditangkap dan uang sejumlah USD148.835 disita oleh Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

DODDY ARYANTO SUPENO

DODDY ARYANTO SUPENO

DETAIL

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Pendidikan

D-1

Profesi

Pegawai PT Artha Pratama Anugerah

Institusi

Swasta

Waktu Kejadian Perkara

2013-2016

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Kesatu:
Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.  20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.  31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Kedua:
Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Tuntutan

Pidana Penjara : 5 (lima) tahun dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp150.000.000,- Subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri

No: 58/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST.Mengadili:

Pidana Penjara    : 4 (empat) tahun dikurangi masa tahanan;
Denda        : Rp150.000.000,- Subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;
Biaya Perkara    : Rp7.500,-

Deskripsi Kasus

2013-2014
Doddy Aryanto Supeno merupakan pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan anak perusahaan dari Lippo Group dengan Presiden Komisarisnya, yaitu Eddy Sindoro. Lippo Group juga memiliki anak perusahaan PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dengan Direkturnya, yaitu Hery Soegiarto, dan PT Paramount Enterprise International dengan Presiden Direkturnya, yaitu Ervan Adi Nugroho. Dalam melakukan usaha menghadapi perkara, Lippo Group atau Eddy memberikan tugas kepada Wresti Kristian Hesti, yaitu melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara, dan mengangkat Doddy dengan tugas melakukan penyerahan dokumen maupun uang kepada pihak-pihak lain terkait perkara.

Perkara pertama yang dihadapi Lippo Group di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah perkara Niaga antara PT MTP dengan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco) dan perkara antara PT Across Asia Limited (PT AAL) dengan PT First Media. Untuk penanganan perkara tersebut Wresti meminta bantuan kepada Eddy, yaitu terkait penundaan pemanggilan peringatan kepada tergugat (aanmaning) perkara Niaga antara PT MTP dengan PT Kymco.

1 Juli 2013, berdasarkan putusan Singapore International Abitration Centre (SIAC), PT MTP diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar USD11.100. Terhadap putusan tersebut, PT MTP belum melaksanakan kewajibannya, sehingga pada 24 Desember 2013, PT Kymco mendaftarkan putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agat putusan tersebut dapat dilaksanan di Indonesia. Atas pendaftaran tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa putusan SIAC dapat dilakukan di Indonesia.

2015
1 September 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pemanggilan peringatan kepada tergugat PT MTP, Namun PT MTP tidak hadir, sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali melakukan pemanggilan kepada PT MTP untuk hadir pada 22 Desember 2015. Mengetahui hal tersebut, Eddy memerintahkan Wresti untuk mengupayakan penundaan pemanggilan peringatan tergugat tersebut.

14 Desember 2015, Wresti menemui Edy Nasution (Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta penundaan pemanggilan tergugat PT MTP. Selanjutnya, Edy Nasution menyetujui permintaan tersebut sampai dengan Januari 2016, dengan imbalan uang sebesar Rp100 Juta. Terkait hal tersebut, Wresty melaporkan ke Eddy, kemudian Wresty meminta persetujuan Eddy bahwa uang Rp100 Juta akan diminta dari Hery dan Eddy menyetujuinya.

15 Desember 2015, Wresti menghubungi Hery untuk meminta uang sebesar Rp100 Juta. Kemudian, pada 17 Desember 2015, Hery menyampaikan bahwa uang sudah bisa diambil Wresti. Selanjutnya, Wresti menyuruh Wawan Sulistiawan untuk mengambil uang Rp100 Juta, sekaligus menyerahkannya kepada Doddy untuk di serahkan kepada Edy Nasution. 18 Desember 2016, Doddy melakukan pertemuan dengan Edy Nasution di salah satu hotel di Senen Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut, Doddy menyerahkan uang sebesar Rp100 Juta kepada Edy Nasution.

Perkara kedua yang dihadapi Lippo Group, yaitu terkait pengajuan Peninjauan Kembali Perkara Niaga PT AAL dengan PT First Media. Berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia pada 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan tidak bisa membayar hutang-hutangnya (pailit) dan putusan tersebut telah diberitahukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada PT AAL pada 7 Agustus 2015. Atas putusan Kasasi tersebut, sampai dengan batas waktu 180 hari, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.

2016
Pada pertengahan Februari 2016, Untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hongkong, Eddy memerintahkan Wresti mengupayakan pengajuan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

16 Februari 2016, Wresti menemui Edy Nasution di Kantor pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Wresti meminta agar Edy Nasution menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT AAL. Atas permintaan tersebut, Edy Nasution tidak bersedia dengan alasan waktu pengajuan Peninjauan Kembali sudah lewat, sehingga Wresti menawarkan akan memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya, jika Edy Nasution menyetujuinya dan hal tersebut disetujui Edy Nasution. Selanjutnya, Wresti melaporkan hal tersebut kepada Eddy dan kemudian Eddy menyampaikan bahwa uang akan disediakan oleh Ervan.

2 Maret 2016, PT AAL mendaftarkan permohonan Peninjauan Kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diterima oleh Edy Nasution dan diproses dengan mengirimkan pemberitahuan pendaftaran Peninjauan Kembali kepada pihak termohon. Selanjutnya, pada 30 Maret 2016, berkas Peninjauan Kembali Perkara Niaga PT AAL dikirim ke MA RI. Sebelum berkas perkara dikirimkan, Edy Nasution dihubungi oleh Nurhadi (Sekretaris MA RI) yang meminta agar berkas Perkara Niaga PT AAL segera dikirim ke MA RI.

11 April 2016, Ervan menghubungi Wresti bahwa uang untuk Edy Nasution sudah bisa diambil. Selanjutnya, Wresti memerintahkan Wawan untuk mengambil uang tersebut untuk diserahkan kepada Doddy yang memang ditugaskan untuk menyerahkan uang kepada pihak lain. 18 April 2016, Doddy menerima uang Rp50 Juta dari Wawan. Selanjutnya, Doddy menghubungi Edy Nasution untuk menyerahkan uang tersebut, namun Edy Nasution tidak bisa ditemui, sehingga disepakati penyerahan uang dilakukan pada 20 April 2016 pukul 10.00 WIB di Hotel Acacia di Senen Jakarta Pusat. Selanjutnya, sesuai dengan kesepakatan tersebut, Doddy menyerahkan uang sebesar Rp50 Juta dalam paper bag motif batik kepada Edy Nasution di Basement Hotel Acacia di Senen Jakarta Pusat. Sesaat setelah penyerahan uang tersebut, Doddy dan Edy Nasution ditangkap Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

DJOKO PRAMONO


DJOKO PRAMONO

DETAIL

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Pendidikan

S-2

Profesi

Kepala Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut

Institusi

Kementerian Perhubungan

Waktu Kejadian Perkara

2010-2011

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Pengadaan Barang/Jasa

Dakwaan

Kesatu:
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.  31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Kedua:
Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.  31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Tuntutan

Pidana Penjara : 5 (lima) tahun dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp200.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
Uang Pengganti : Rp620.000.000,- subsidair 1(satu) tahun penjara;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri
No: 34/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST.

Mengadili:
Pidana Penjara : 4 (empat) tahun dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp150.000.000,- subsidair 4 (empat) bulan kurungan;
Uang Pengganti : Rp530.000.000,- subsidair 1 (satu) tahun penjara;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Deskripsi Kasus

2010

6 Desember 2010, Djoko Pramono menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan pada 9 Desember 2010 menjabat juga sebagai Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) di Kementerian Perhubungan.

April 2010, Djoko mengetahui Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Laut (PPSDML) dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Perhubungan melaksanakan pelelangan untuk Pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong Tahap III sebagai kelanjutan pelelangan Tahap satu dan dua sebelumnya, saat itu telah diusulkan anggaran sebesar Rp100 Miliar, namun anggaran masih belum disetujui. Anggaran tersebut baru disetujui 18 Oktober 2010 oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan.

Selanjutnya, Djoko atas rekomendasi dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau jasa Pemerintah (LKPP) pada 2 November 2010, membatalkan pelelangan yang dimenangkan oleh PT Waskita Karya (Persero), karena pekerjaan tidak bisa diselesaikan dalam waktu 154 hari atau sampai dengan Desember 2010, yang kemudian diusulkan kembali anggaran untuk proyek pembangunan BP2IP Sorong Tahap III Tahun Anggaran 2011.

November 2010, Djoko memerintahkan Irawan (Panitia Pengadaan lelang) agar menghubungi Sudharmo (Konsultan) untuk mempersiapkan dokumen, yaitu Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk pembangunan 22 divisi pekerjaan dengan nilai sebesar Rp105,4 Miliar. Kemudian, Djoko memerintahkan Irawan untuk merubah RAB dari yang semula 22 divisi menjadi 13 divisi pekerjaan tanpa merubah nilai total RAB, sehingga Irawan meminta Arjuna A. Fatahillah dan Sudharmo untuk menyesuaikan perubahan divisi pekerjaan walaupun nilai pekerjaan bertambah menjadi sebesar Rp106,99 Miliar. Terhadap RAB yang yang telah dirubah tersebut oleh Djoko dijadikan data Kerangka Acuan dalam usulan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) proyek pembangunan BP2IP Sorong Tahap III Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) PPSDML-BPSDM Kementerian Perhubungan RI ke Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan RI dan

Desember 2010, disetujui DIPA PPSDML-BPSDM Kementerian Perhubungan RI melalui surat yang didalamnya termasuk anggaran pembangunan BP2IP Sorong Tahap III Tahun Anggaran 2011 dengan batas tertinggi sebesar Rp112,253 Miliar.

2011

5 Januari 2011, Djoko membentuk panitia Pengadaan dan Jasa atas Pembangunan BP2IP Sorong Tahap III, dengan susunan Irawan (Ketua), Mashudi Rofik (Sekretaris), dan Kesman Purba, Ade Tri Nugraha, Mas Zaenal Nur Rakhman masing-masing sebagai anggota.

Februari 2011, di ruang kerja Djoko di Pusat PPSDML-BPSDM Kementerian Perhubungan RI sebelum pengumuman lelang, melakukan pertemuan denga Toto Ontowiryo yang mengaku sebagai teman Freddy Numberi (Menteri Perhubungan RI) dan telah mendapat restu dari Bobby Reynold Mamahit (Kepala BPSDM Kementerian Perhubungan RI). Toto Menyampaikan bahwa PT Panca Duta Karya abadi akan mengikuti pelelangan, kemudian Djoko memanggil Irawan dan mengarahkan Irawan agar PT Panca Duta Karya Abadi yang akan melaksanakan pekerjaan pembangunan BP2IP Sorong Tahap III. Selanjutnya, Bobby juga melakukan beberapa kali pertemuan dengan Budi Rachmat Kurniawan, Basuki Muchlis, dan I Nyoman Sujaya dari PT Hutama Karya (Persero) di Kantor Kepala BPSDM Kementerian Perhubungan RI dengan didampingi Theofilus Waimuri (Penasehat Menteri Perhubungan RI). Dalam pertemuan tersebut, Budi menyampaikan bahwa PT Hutama Karya (Persero) nantinya akan mengikuti pelelangan serta melalui Theofilus menyampaikan kepada Bobby untuk memenangkan PT Hutama Karya (Persero) dalam pelelangan tersebut. Atas permintaan tersebut, Bobby mengarahkan untuk menemui Dojoko, meskipun diketahui bahwa PT Hutama Karya (Persero) sebelumnya tidak pernah mengikuti kegiatan lelang pembangunan BP2IP Sorong Tahap I dan II sebelumnya.

Selanjutnya, Djoko melakukan pertemuan beberapa kali di tempat kerjanya dengan Budi, Basuki, Nyoman, Theofilus, pada saat itu Budi menyampaikan bahwa PT Hutama Karya (Persero) akan ikut lelang untuk dimenangkan karena telah mendapat restu dari Bobby, kemudian Djoko menyanggupinya dan meminta uang sekitar 10% dari nilai kontrak untuk diberikan kepada pihak-pihak terkait pengadaan BP2IP Sorong Tahap III Kementerian Perhubungan RI yang kemudian disanggupi oleh Nyoman dan Budi mewakili PT Hutama Karya (Persero). Sebelum dilaksanakan pengumuman lelang, Djoko mendapatkan arahan lagi dari Bobby untuk memenangkan PT Hutama Karya (Persero), kemudian Djoko memerintahkan Irawan agar memenangkan PT Hutama Karya (Persero) dan Irawan menyanggupinya.

Februari 2011, dilakukan pengumuman lelang untuk pekerjaan proyek Jasa Konstruksi pembangunan BP2IP Sorong Tahap III dengan Harga Permintaan Sendiri (HPS) sebesar Rp96,4 Miliar, HPS tersebut berasal dari pelelangan yang tidak mengikat tahun 2010 yang dibatalkan sebelumnya. April 2011, dikarenakan adanya permintaan pemenangan PT Hutama Karya (Persero) dan PT Panca Duta Karya Abadi tersebut, Djoko sebelum pelaksanaan rapat penjelasan (aanwijzing), menyampaikan kepada Irawan untuk menyesuaikan kembali HPS atas pengadaan pembangunan BP2IP Sorong Tahap III dari 12 divisi pekerjaan dengan HPS Sebesar Rp96,4 Miliar menjadi 13 divisi pekerjaan dengan HPS sebesar Rp105,532 Miliar. Selanjutnya, Djoko menyampaikan kepada Irawan untuk menghindari nilai penawaran yang terlalu rendah dari PT Panca Duta Karya Abadi, agar merubah metode evaluasi dari sistem gugur menjadi sistem nilai dan disetujui oleh Irawan.

Mei 2011, Theofilius mengetahui bahwa PT Panca Duta Karya tetap diluluskan, kemudian Theofilius menghubungi Irawan agar yang lulus evaluasi hanya PT Hutama Karya (Persero), PT Nindya Karya (Persero) sedangkan PT Panca Duta Karya Abadi tidak perlu diluluskan. Selanjutnya, Djoko bertemu dengan Irawan untuk tetap meluluskan PT Panca Duta Karya Abadi, apabila tidak diluluskan maka pelelangan tidak sah.

14 Juni 2011, Irawan mengumumkan pemenang lelang, yaitu PT Hutama Karya (Persero) dengan harga penawaran Rp92,1 Miliar sebagai pemenang lelang sedangkan PT Panca Duta Karya Abadi dengan harga penawaran Rp84,21 Miliar sebagai pemenang cadangan I. Oleh karena itu, Pada 20 Juni 2011, PT Panca Duta Karya Abadi mengajukan sanggahan kepada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Perhubungan RI dan hasil dari evaluasi atas pengajuan sanggahan tersebut, yaitu akan diadakannya lelang ulang sesuai saran Itjen Kementerian Perhubungan.

Juli 2011, dalam melaksanakan lelang ulang, Djoko membentuk kembali Panitia pembangunan BP2IP Sorong Tahap III dengan susunan Irawan (Ketua), Mashudi Rofik (Sekretaris), dan Kesman Purba, Ade Tri Nugraha, Mas Zaenal Nur Rakhman masing-masing sebagai anggota dan Sugiarto (Pejabat Pembuat Komitmen). Pada pelaksanaan lelang ulang Djoko mengarahkan Sugiarto agar merubah divisi pekerjaan dari 13 menjadi 12 namun harga satuan pada HPS dibuat lebih tinggi, kemudian HPS ditetapkan oleh Sugiarto sebesar Rp95,4 Miliar. Selanjutnya, Irawan dibantu oleh Danny menambahkan sejumlah persyaratan Sub Bidang Usaha (SBU) tertentu yang tidak dimiliki oleh PT Panca Duta Karya Abadi pada pengumuman lelang ulang 22 Juli 2011 sehingga PT Panca Duta Karya Abadi tidak bisa mendaftar, padahal SBU yang ditambahkan tidak berhubungan dengan proyek tersebut. Pelelangan ulang akhirnya diikuti tiga perusahaan, yaitu PT Hutama Karya, PT Nindya Karya, dan PT Pembangunan Perumahan. Namun PT Nindya Karya dan PT Pembangunan Perumahan hanya sebagai perusahaan pendamping yang sudah diatur oleh PT Hutama Karya.

8 Agustus 2011 pengumuman pemenang lelang adalah PT Hutama Karya yang ditetapkan sebagai pemenang pengadaan jasa konstruksi pembangunan BP2IP Sorong Tahap III dengan harga penawaran senilai Rp91,31 Miliar. 19 Agustus 2011 dilakukan penandatanganan kontrak antara Sugiarto degan Budi atas pekerjaan pembangunan BP2IP Sorong Tahap III senilai Rp91,31 Miliar.

Selanjutnya, pada bulan Oktober 2011, kontrak tersebut dilakukan penambahan pekerjaan yang nilainya naik mendekati batas anggaran menjadi sebesar Rp99,751 Miliar dan jangka waktu penyelesaian diperpanjang menjadi 131 hari atau berakhir tanggal 31 Desember 2011. Selanjutnya, Bobby menyampaikan permintaan kepada Basuki agar PT Hutama Karya memberikan sejumlah uang kepada Bobby, karena PT Hutama Karya telah mendapatkan proyek pembangunan BP2IP Sorong Tahap III. 20 Oktober 2011, Bobby kembali ditemui pihak PT Hutama Karya, yaitu Hari Purwoto dan Sutrisno yang menyerahkan uang sejumlah USD20.000 di ruang kerja Bobby yang bertempat di kantor BPSDM Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. 18 November 2011, Bobby kembali bertemu dengan Budi dan Basuki di sebuah restoran Jakarta Pusat, membicarakan perkembangan pembangunan BP2IP Sorong Tahap III yang sedang dikerjakan PT Hutama Karya dan rencana beberapa proyek yang akan datang di Kementerian Perhubungan. Pada pertemuan tersebut, Bobby kembali menerima uang Dollar Amerika yang setara dengan senilai Rp200 Juta dari PT Hutama Karya yang diserahkan oleh Basuki.

23 Desember 2011, Bobby kembali menerima uang dalam bentuk dollar Amerika Serikat yang nilainya kurang lebih setara dengan Rp100 Juta dari PT Hutama Karya yang diserahkan oleh Hari dan Budi diruang kerja Bobby karena telah dilakukan pembayaran sebesar 100% kepada PT Hutama Karya. Setelah dilakukan pembayaran 100%, PT Hutama Karya dipergunakan untuk membayar perusahaan kontraktor lain yang sebagian besar pekerjaan utamanya dikerjakan oleh perusahaan lain, termasuk pemberian uang kepada Bobby, dan pemberian kepada pihak-pihak terkait dalam upaya memenangkan PT Hutama Karya sebagai pelaksana proyek pembangunan BP2IP Sorong Tahap III, yaitu kepada Djoko sebesar Rp620 Juta, Bobby sebesar Rp480 Juta, Irawan sebesar Rp1,22 Miliar, Sugiarto sebesar Rp350 Juta, Agus Budi Hartono Rp500 Juta, Dhany Alex Rovandy Agust sebesar 362 Juta, Theofilius sebesar Rp312 Juta, Budi sebesar Rp577 Juta, Hari sebesar Rp7,4 Miliar Dengan demikian laba atau keuntungan yang diperoleh PT Hutama Karya dalam proyek tersebut adalah sebesar Rp19,463 Miliar.

Akibat perbuatan yang dilakukan Djoko bersama-sama dengan Bobby, Irawan, Sugiarto, dan Budi tersebut telah merugikan keuangan negara sebesar Rp40,194 Miliar sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas BP2IP Tahap III pada PPSDML dan BPSDM Kementerian Perhubungan Tahun Anggaran 2011 di Jakarta dan Sorong.

DEWIE YASIN LIMPO


DEWIE YASIN LIMPO

DETAIL

Jenis Kelamin

Perempuan

Pendidikan

S-1

Profesi

Anggota DPR RI 2014-2019

Institusi

DPR RI

Waktu Kejadian Perkara

2015

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Kesatu:
Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Kedua:
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Tuntutan

Pidana Penjara : 9 (sembilan) tahun dikurangi masa tahanan;Denda : Rp300.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan kurungan;Pidana Tambahan : Pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan jabatan publik/ jabatan politis
selama 3 (tiga) tahun lebih lama dari pidana pokoknya.Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri
No: 13/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST.

Mengadili:
Pidana Penjara : 6 (enam) tahun dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp200.000.000,- subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Pengadilan Tinggi
No: 46/PID.SUS-TPK/2016/PT.DKI

Mengadili:
Pidana Penjara : 8 (delapan) tahun dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp200.000.000,- subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;
Pidana Tambahan : Pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan jabatan publik/jabatan politik
selama 3 (tiga) tahun dihitung setelah selesai menjalani pidana pokoknya.
Biaya Perkara : Rp2.500,-

Deskripsi Kasus

2015
Dewie Yasin Limpo (Anggota Komisi VII DPR RI periode 2014 sampai 2019) dari partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang ruang lingkup kerja Komisi VII adalah bidang Energi dengan mitra kerja diantaranya Kementerian Energi dan Suber Daya Mineral (ESDM) serta Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tugas keseharian Dewie dibantu 7 orang staf diantaranya Bambang Wahyuhadi dan Rinelda Bandaso alias Ine (Staf Administrasi dan Asisten Pribadi Dewie).

Akhir Maret 2015, Ine menyampaikan kepada Dewie mengenai keinginan Irenius Adii (Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai Provinsi Papua) untuk bertemu dengan Dewie untuk membahas rencana pembangunan Pembangkit Listrik di Kabupaten Deiyai yang sedang diupayakan mendapat anggaran dari Pemerintah Pusat. 30 Maret 2015, sebelum Rapat Kerja (Raker) antara Komisi VII dengan Menteri ESDM, Dewie bersama Bambang dan Ine bertemu dengan Irenius di ruangan kerja Dewie di Kantor DPR RI. Dalam pertemuan tersebut, Dewie bersedia membantu agar Kabupaten Deiyai mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Setelah Raker, Dewie memperkenalkan Irenius kepada Sudirman Said (Menteri ESDM) dan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, yaitu Rida Mulyana. Dalam pertemuan tersebut, Irenius meminta kepada Sudirman bahwa Kabupaten Deiyai sangat membutuhkan listrik, dan Sudirman menjawab agar Irenius memasukan proposal ke Kementerian ESDM. Setelah pertemuan tersebut, Dewie meminta kepada Irenius agar mempersiapkan dana pengawalan anggaran.

Awal April 2015, Dewie melalui Ine menelpon Irenius dan meminta Irenius untuk menemui Abdul Farid (Deputi Direktur Perencana PLN) provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyampaikan proposal pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai. 12 April 2015, Irenius menemui Abdul dan memberikan proposal tersebut dan mereka juga membahas proses pembangunan jaringan distribusi PLN di Kabupaten Deiyai, sehingga akhir April 2015 PLN melakukan survei. Mei 2015, Irenius datang ke Jakarta menemui Ine untuk menyerahkan laporan survei, dan Ine menyerahkan laporan tersebut kepada Dewie.

16 Juni 2015, Dewie menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sofyan Basir (Direktur Utama PLN) di Komisi VII DPR RI, dalam kesempatan tersebut Dewie menyerahkan langsung Laporan Hasil Survei Rencana Pembangunan Jaringan Distribusi dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Kabupaten Deiyai kepada Sofyan. Juli 2015, Dewie menanyakan ke Ine mengenai dana pengawalan untuk pengurusan anggaran pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai. Selanjutnya, Ine menanyakan kepada Irenius hal tersebut, namun Irenius menyampaikan dananya belum siap.

17 September 2015, saat jeda Raker Komisi VII DPR RI dengan Kementerian ESDM, Dewie meminta Ine menanyakan kepada Rida terkait proposal dari Kabupaten Deiyai. Selanjutnya, Ine menemui Rida, namun Rida mengarahkan Ine untuk bertemu Erick Ta'dung (Staf Setditjen EBTKE). Erick menyampaikan kepada Ine bahwa tidak ada anggaran pembangunan listrik untuk daerah Kabupaten Deiyai. Selanjutnya, Ine kembali menemui Rida dan Rida menyampaikan agar memperbaiki proposal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM dan menyerahkan langsung ke Kementerian ESDM. 28 September 2015, di sekitar Plaza Senayan Jakarta Selatan, Irenius bertemu dengan Dewie, Bambang, dan Ine yang menyampaikan bahwa Dewie meminta kepada Irenius untuk menyiapkan dana pengawalan sebesar 10% dari nilai anggaran yang diajukan oleh Kabupaten Deiyai.

Selanjutnya, 11 Oktober 2015, Irenius datang ke Jakarta dan bertemu Ine dengan menyampaikan bahwa sudah ada pengusaha yang akan menyediakan dana pengawalan dengan syarat ada jaminan pengusaha tersebut akan menjadi pelaksana pekerjaannya. 13 Oktober 2015, Ine dan Irenius memperoleh informasi bahwa proyek pembangkit listrik hanya dianggarkan melalui APBN dengan proses pengadaan secara lelang di Kementerian. Selanjutnya, Irenius meminta Ine agar mengupayakan melalui dana Tugas Pembantuan (TP) diharapkan pelelangan dapat dilakukan ditingkat Kabupaten agar bisa menjamin pengusaha yang menyediakan dana pengawalan sebagai pelaksana pekerjaan. Besoknya, Ine mendapat informasi dari Bambang bahwa Dewie akan membicarakan dengan Anggota Badan Anggaran (Banggar) Komisi VII DPR RI sekaligus menyampaikan adanya penganggaran melalui Dana Aspirasi sebesar Rp50 Miliar dan Ine menyampaikan kepada Irenius hal tersebut.

15 Oktober 2015, Ine menghubungi Dewie dengan menyatakan bahwa Irenius sudah siap terkait dana pengawalan, namun Irenius mengatakan bahwa Setiady Jusuf (Pengusaha) yang akan menyediakan dana pengawalan anggaran tersebut ingin bertemu dengan Dewie. 18 Oktober 2015, di salah satu restoran di Pondok Indah Mall Jakarta Selatan, Dewie, Bambang bersama dengan Ine bertemu dengan Irenius, Setiady, dan Stefanus Harry Jusuf, dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa Dewie akan menerima dana pengawalan sebesar 7% dari anggaran yang diusulkan. 19 Oktober 2015, di sebuah Cafe di Plaza Senayan Jakarta Selatan, Ine bertemu dengan Irenius, Setiady, Stefanus, dan Jemmie Dephiyanto Pathibang. Dalam pertemuan tersebut, Ine menjelaskan bahwa Dewie sudah menyampaikan proposalnya ke Banggar DPR RI. Setelah mendengar hal tersebut, Setiady sepakat untuk segera menyerahkan setengah dana pengawalan sebesar Rp1,7 Miliar dalam bentuk Dollar Singapura.

20 Oktober 2015, Ine dihubungi Irenius bahwa dana pengawalan akan diserahkan di Mal Kelapa Gading Jakarta Utara dan Ine memberitahukan hal tersebut kepada Bambang dan kemudian Bambang menyuruh Ine untuk mengurus uang tersebut. Selanjutnya, di Resto Baji Pamai di Mal Kelapa Gading Jakarta Utara, Ine melakukan pertemuan dengan Irenius, Setiady, Stefanus, dan Jemmie. Dalam pertemuan tersebut, Ine menerima uang dari Setiady sebesar SGD177.700. Selanjutnya, dibuat surat pernyataan sebagai jaminan yang isinya uang akan dikembalikan apabila Setiady tidak menjadi pelaksana pekerjaan yang ditandatangani oleh Ine mewakili Dewie dan Jemmie mewakili Setiady serta ditandatangani juga oleh Irenius sebagai saksi. Beberapa saat setelah penyerahan uang tersebut, Ine serta Irenius dan Setiady ditangkap oleh Petugas KPK

DESSY ARIYATI EDWIN


DESSY ARIYATI EDWIN

DETAIL

Jenis Kelamin

Perempuan

Pendidikan

SMA

Profesi

Ibu Rumah Tangga

Institusi

-

Waktu Kejadian Perkara

2015-2016

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Kesatu:
Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Kedua:
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Tuntutan

Pidana Penjara : 5 (lima) tahun dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp200.000.000,- subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri
No: 42/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST.

Mengadili:
Pidana Penjara : 4 (empat) tahun dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp200.000.000,- subsidair 2 (dua) bulan kurungan;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Deskripsi Kasus

2015
Sejak pertengahan tahun 2015, Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini alias Uwi mengenal Damayanti Wisnu Putranti (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau DPR RI) periode 2014 sampai 2019 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Setelah perkenalan tersebut, Dessy dan Uwi dipercaya oleh Damayanti untuk ikut mendampingi dalam kegiatannya sebagai anggota DPR RI.

Agustus 2015, Damayanti bersama dengan beberapa anggota Komisi V DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Maluku berkenalan dengan Amran Hi Mustary (Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional atau BPJN) IX Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dalam kunjungan kerja tersebut, Amran mempresentasikan program-program yang akan diusulkan oleh BPJN IX di wilayah Maluku dan Maluku Utara ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2016 Kementerian PUPR dan memperkenalkan Abdul Khoir (Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama) beserta rekan lainnya.

September sampai dengan Oktober 2015, Damayanti dengan didampingi oleh Dessy dan Uwi mengadakan beberapa kali pertemuan di salah satu hotel Jakarta dengan Budi Supriyanto (Anggota Komisi V DPR RI), Fathan, Alamuddin Dimyati Rois, Amran, Abdul, dan Jayadi Windu Arminta (Komisaris PT Windhu Tunggal Utama) serta staf BPJN IX yang membahas mengenai kegiatan proyek “program aspirasi” anggota Komisi V DPR RI. Dalam beberapa kali pertemuan tersebut, disepakati bahwa Abdul adalah rekanan yang akan mengerjakan “program aspirasi” milik Damayanti, yaitu pekerjaan pelebaran Jalan Tehoru-Laimu senilai Rp41 Miliar dan “program aspirasi” milik Budi, yaitu pekerjaan rekonstruksi jalan Werinama-Laimu senilai Rp50 Miliar. Selain itu juga disepakati uang yang akan diberikan oleh Abdul kepada Damayanti dan Budi masing-masing sebesar 6% dari nilai “program aspirasi”, sedangkan untuk Dessy dan Uwi yang akan mengurus perjanjian tersebut akan diberikan uang masing-masing sebesar 1%. Pada pertemuan tersebut, Dessy dengan sepengetahuan Damayanti juga meminta sejumlah uang kepada Abdul untuk keperluan Damayanti dalam kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jawa Tengah yang kemudian juga disanggupi oleh Abdul. 30 Oktober 2015, Damayanti memperoleh penjelasan bahwa usulan “program aspirasi” milik Damayanti telah disetujui oleh Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) dan Pimpinan Komisi V DPR RI.

20 November 2015, Damayanti memerintahkan Dessy menghubungi Abdul untuk menanyakan pembayaran uang dari “program aspirasi” milik Damayanti yang akan diserahkan melalui Dessy dan Uwi. 25 November 2015, Abdul memerintahkan Erwantoro (Staf PT Windhu Tunggal Utama) untuk menyiapkan uang sejumlah Rp3,28 Miliar untuk ditukarkan dalam mata uang Dollar Singapura sejumlah SGD328.000. Selanjutnya, Abdul menyerahkan uang tersebut kepada Dessy, Uwi dan Damayanti di sebuah restoran Jakarta Selatan yang kemudian dibagi-bagi dengan perincian bagian untuk Damayanti sejumlah SGD245.700, sedangkan bagian untuk Dessy dan Uwi masing-masing sejumlah SGD41.150.

26 November 2015 di Kantor Kementerian PUPR, Erwantoro atas perintah dari Abdul memberikan uang untuk keperluan Damayanti dalam rangka Pilkada di Jawa Tengah dalam bentuk mata uang Dollar Amerika Serikat yang setara dengan sejumlah Rp1 Miliar kepada Damayanti melalui Dessy. Selanjutnya, sebagian uang tersebut oleh Damayanti bersama Dessy dan Uwi diserahkan kepada Hendrar Prihadi (Calon Walikota Semarang) melalui Farkhan Hilmie sejumlah Rp300 Juta, serta kepada Widya Kandi Susanti dan Gus Hilmi (Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Kendal) masing-masing sejumlah Rp150 Juta untuk keperluan kampanye Pilkada, sedangkan sisanya sejumlah Rp400 Juta dibagikan kepada Dessy dan Uwi masing-masing sejumlah Rp100 Juta dan untuk Damayanti sejumlah Rp200 Juta.

Desember 2015, Dessy bersama Damayanti dan Uwi mengajak Abdul ke Solo untuk dipertemukan dengan Budi. Dalam pertemuan tersebut, Damayanti mengatakan kepada Budi bahwa Abdul yang akan mengerjakan “program aspirasi” milik Budi, selain itu Damayanti meminta Abdul menyerahkan uang milik Budi melalui dirinya.

2016
Pada awal Januari 2016, Dessy dan Uwi beberapa kali menghubungi Abdul mengenai pemberian uang milik Budi, Selanjutnya Abdul memerintahkan Erwantoro menyiapkan uang sejumlah Rp4 Miliar yang ditukarkan dalam bentuk mata uang Dollar Singapura sejumlah SGD404.000. 7 Januari 2016, di sekitar Blok M Jakarta Selatan, Dessy dan Uwi mengadakan pertemuan dengan Abdul, Jayadi, dan Erwantoro. Dalam pertemuan tersebut, Abdul menyerahkan kepada Dessy dan Uwi uang sejumlah SGD 404.000 yang merupakan uang perjanjian “program aspirasi” milik Budi. Selanjutnya Dessy melaporkan hal tersebut kepada Damayanti.

8 Januari 2016, Damayanti menyatakan bahwa hasil uang tersebut di bagi-bagikan dengan perincian uang Budi sejumlah SGD305.000, sedangkan sisanya sejumlah SGD99.000 dibagi tiga dengan masing-masing sejumlah SGD33.000 untuk Damayanti, Dessy, dan Uwi. 11 Januari 2016, bertempat di salah satu restoran di Tebet Jakarta Selatan, Uwi menyerahkan uang Budi sebesar SGD305.000 yang dimasukan kedalam kantong plastik hijau kepada Budi. 13 Januari 2016 sekitar pukul 02.00 WIB di Tebet Jakarta Selatan, Uwi menyerahkan uang bagian Damayanti sejumlah SGD33.000 melalui Leny Mulyani dan Sahyo Samsudin alias Ayong sebagai orang suruhan Damayanti. Sekitar pukul 13.00 WIB Dessy menjemput Uwi di Jalan Tebet Barat Dalam IX Nomor 28 Jakarta Selatan. Selanjutnya, Uwi menyerahkan uang bagian Dessy sejumlah SGD33.000 di dalam mobil Honda HRV. Pada malam harinya, Damayanti, Uwi, Dessy, dan Abdul beserta barang bukti uang yang diterimanya diamankan oleh Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

DANDUNG PAMULARNO


DANDUNG PAMULARNO

DETAIL

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Pendidikan

S-2

Profesi

Senior Manajer Pemasaran PT. Brantas Abipraya (Persero)

Institusi

Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Waktu Kejadian Perkara

2016

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Kesatu:
Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Kedua:
Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 53 ayat (1) KUHPidana jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Tuntutan

Pidana Penjara : 3 (tiga) tahun, 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp150.000.000,- subsidair 4 (empat) bulan kurungan;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri
No: 51/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST.

Mengadili:
Pidana Penjara : 2 (dua) tahun, 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp100.000.000,- subsidair 2 (dua) bulan kurungan;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Deskripsi Kasus

2016
15 Maret 2016, Sudung Situmorang (Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta) mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan untuk melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan penggunaan keuangan perusahaan yang dilakukan oleh Sudi Wantoko (Direktur Keuangan dan Human Capital PT. Brantas Abipraya) yang merugikan keuangan negara dalam hal ini PT Brantas Abipraya (Persero) sebesar Rp7,1 Miliar.

18 Maret 2016, Tomo Sitepu (Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jakarta) memanggil beberapa staf PT Brantas Abipraya (Persero), yaitu Tumpang Muhammad (Senior Manajer Bidang Keuangan), Joko Widyantoro (Manajer Keuangan Kantor Pusat), Suhartono (Kepala Satuan Pengawas Internal), dan Lalita Pawar (Staf Departemen Keuangan) untuk meminta keterangan terkait dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pengunaan keuangan PT Brantas Abipraya (Persero) yang dilakukan oleh Sudi dengan cara mengirimkan surat permintaan keterangan.

21 Maret 2016, Sudi menerima laporan dari Joko, Lalita, dan Tumpang di ruang kerja Sudi, yang menyampaikan serta menunjukan surat permintaan keterangan dari Kejaksaan Tinggi Jakarta yang mencantumkan nama Sudi sebagai orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Setelah membaca surat permintaan keterangan tersebut, Sudi mempunyai pemikirian bahwa penanganan perkara penyimpangan dalam penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya (Persero) telah masuk dalam tahap penyidikan dan Sudi sebagai tersangkanya. Oleh karena itu, Sudi meminta Dandung Pamularno (Senior Manajer Pemasaran PT. Brantas Abipraya) untuk ikut membantu dalam menghentikan penyidikan tersebut. Selanjutnya, Dandung mencari informasi mengenai Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta adalah Sudung yang kenal dekat dengan Marudut.

22 Maret 2016 di sekitar Pindok Indah Jakarta, Dandung, Khairiansyah, Joko, dan Marudut melakukan pertemuan yang membahas mengenai Sudung agar menghentikan penyidikan terhadap penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya (Persero). Atas permintaan tersebut, Marudut akan segera membicarakannya dengan Sudung. Selanjutnya, Sudi memerintahkan Joko untuk mengikuti perkembangannya.

23 Maret 2016 sekitar pukul 09.00 WIB, Marudut menemui Sudung di Kantor Kejaksaan Tinggi Jakarta yang membahas mengenai permintaan Marudut kepada Sudung untuk menghentikan penyelidikan penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya (Persero). Atas permintaan tersebut, Sudung memerintahkan Marudut untuk membicarakan dengan Tomo. Selanjutnya, Marudut menemui Tomo di ruang kerjanya. Marudut meminta agar penyidikan perkara tersebut dihentikan atau diturunkan menjadi penyelidikan. Atas permintaan tersebut, Tomo menyetujui untuk menghentikan penyidikan dengan syarat bahwa Sudi memberikan sejumlah uang dan permintaan tersebut disanggupi oleh Marudut. Hasil pertemuan tersebut, disampaikan oleh Marudut kepada Dandung di sebuah hotel di Kuningan Jakarta Selatan. Selanjutnya, Dandung menemui Sudi di Kantor PT Brantas Abipraya (Persero) dan meminta uang sejumlah Rp2,5 Miliar untuk diberikan kepada Tomo dan Sudung. Atas permintaan tersebut, Sudi menyetujuinya dan memerintahkan Dandung untuk mengambil uang dari Kas PT Brantas Abipraya (Persero).

24 Maret 2016 sekitar pukul 10.00 WIB, Dandung menemui Marudut di salah satu hotel Jakarta Timur yang membahas mengenai Sudi telah menyetujui akan memberikan uang sejumlah Rp2,5 Miliar kepada Tomo dan Sudung untuk menghentikan penyidikan.

28 Maret 2016 sampai dengan tanggal 30 Maret 2016, Joko mengambil uang dari Kas PT Brantas Abipraya (Persero) sejumlah Rp2,5 Miliar dengan cara mengeluarkan voucher pengeluaran Kas PT Brantas Abipraya (Persero) sejumlah Rp5 Miliar untuk membiayai proyek Wisma Atlet di Kemayoran dan Proyek Rumah Susun di Makassar, sehingga seolah-olah pengeluaran uang tersebut untuk pembiayaan proyek, padahal sejumlah Rp2,5 Miliar untuk diberikan kepada Tomo dan Sudung. Selanjutnya, Dandung menghubungi Marudut dan menginformasikan bahwa uang sejumlah Rp2,5 Miliar akan disiapkan tanggal 31 Maret 2016 dan menyerahkan uang tersebut di Hotel Best Western Premier The Hive Jakarta Timur yang akan diberikan kepada Tomo dan Sudung.

31 Maret 2016, Dandung menerima uang sejumlah Rp2,5 Miliar dalam bentuk Dollar Amerika Serikat sejumlah USD186.035 dari Joko melalui Gunawan. Selanjutnya, Dandung menyisihkan sejumlah USD37.200 yang setara dengan sejumlah Rp500 Juta disimpan di laci meja kerja Dandung sebagai persediaan untuk membiayai makan dan golf dengan Sudung, sedangkan selebihnya, yaitu sejumlah USD148.835 yang setara dengan sejumlah Rp200 Juta dibungkus dengan plastik hitam dan diserahkan kepada Marudut di Hotel Best Western Premier The Hive Jakarta Timur untuk diberikan kepada Tomo dan Sudung. Selanjutnya, Marudut menghubungi Sudung dan Tomo untuk bertemu dan memberikan uang tersebut. Sudung dan Tomo mempersilahkan Marudut untuk datang ke Kantor Kejaksaan Tinggi Jakarta untuk memberikan uang sejumlah USD148.835 kepada Sudung dan Tomo. Namun dalam perjalanan menuju ke Kantor Kejaksaan Tinggi Jakarta, Marudut ditangkap dan uang sejumlah USD148.835 disita oleh Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

DAMAYANTI WISNU PUTRANTI


DAMAYANTI WISNU PUTRANTI

DETAIL

Jenis Kelamin

Perempuan

Pendidikan

S-2

Profesi

Anggota DPR RI periode 2014-2019

Institusi

DPR RI

Waktu Kejadian Perkara

2015-2016

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Kesatu:
Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Kedua:
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Tuntutan

Pidana Penjara : 6 (enam) tahun dikurangi masa tahanan;Denda : Rp500.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan kurungan;Pidana Tambahan: Pencabutan Hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 (lima) tahun sejak selesai
menjalani pidana pokoknya.Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri
No: 40/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST.

Mengadili:
Pidana Penjara : 5 (lima) tahun, 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp500.000.000,- subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Deskripsi Kasus

2015
Pada bulan Agustus 2015, Damayanti Wisnu Putranti bersama-sama anggota komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) diantaranya, yaitu Fary Djemi Francis, Michael Watimenna, Yudi Widiana Adia, dan Mohammad Toha memiliki ruang lingkup tugas dibidang infrastruktur dan perhubungan yang salah satu mitra kerjanya adalah Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), melakukan kunjungan kerja di Maluku dan bertemu dengan Amran Hi Mustary mempresentasikan program-program yang akan diusulkan oleh Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2016 Kementerian PUPR.

Pada bulan September 2015 di salah satu hotel Jakarta Pusat dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi V DPR RI dengan Kementerian PUPR. Dalam kesempatan tersebut, Amran bertemu dengan Damayanti dan mengatakan agar proyek aspirasi Damayanti untuk di kerjakan di Maluku yang mana Amran merupakan Kepala BPJN IX di Maluku.

Pada bulan Oktober 2015 di salah satu hotel Jakarta Selatan, Damayanti mengajak temannya, yaitu Dessy Ariyati Edwin, dan Julia Prasetyarini alias Uwi untuk bertemu dengan Budi Supriyanto, Amran, Fathan, dan Alamuddin Dimyati Rois serta beberapa staf BPJN IX yang membahas mengenai program pembangunan berupa kegiatan pelebaran Jalan Tehoru-Laimu dan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu di Provinsi Maluku. Dalam pertemuan tersebut, Amran menyampaikan adanya uang sebesar 6% dari nilai besaran program pembangunan yang akan diberikan kepada masing-masing anggota Komisi V DPR RI, namun Damayanti menyatakan keberatan karena berdasarkan pengalaman anggota DPR RI sebelumnya untuk wilayah Papua mendapatkan uang sebesar 7%, tetapi Amran mengatakan bahwa di wilayah Maluku tidak sebesar tersebut. Selanjutnya, Damayanti, Budi, Fathan, dan Alamuddin menyatakan kesiapannya untuk menjadikan beberapa kegiatan program pembangunan BPJN IX sebagai usulan program aspirasi Komisi V DPR RI yang akan diupayakan masuk dalan Rancangan APBN Tahun Anggaran 2016. Menindaklanjuti hal tersebut, Budi meminta tolong kepada Damayanti untuk meminta bantuan kepada Dessy dan Uwi mengurus pemberian uang dari rekanan.

Pada akhir Oktober 2015, Dessy dan Uwi dipertemukan oleh Amran kepada Abdul Khoir (Direktur PT Windhu Tunggal Utama), Jayadi Windu Arminta (Komisaris PT Windhu Tunggal Utama) dan beberapa rekanan lainnya yang membahas bahwa Damayanti memiliki proyek program aspirasi, yaitu kegiatan pelebaran Jalan Tehoru-Laimu, dengan nilai kegiatan sebesar Rp41 Miliar dan proyek program aspirasi milik Budi, yaitu kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu dengan nilai kegiatan sebesar Rp50 Miliar. Amran menyampaikan bahwa yang akan mengerjakan adalah Abdul dan menegaskan kembali kepada Damayanti bahwa nanti akan mendapatkan uang sebesar 6%. Selanjutnya, Damayanti menyetujui hal tersebut, serta menyampaikan bahwa untuk urusan terkait hal tersebut, agar berkoordinasi dengan Dessy dan Uwi. Terkait hal tersebut, Dessy dan Uwi mendapatkan uang masing-masing sebesar 1%, sehingga total uang dari Abdul untuk Damayanti bersama dengan Dessy dan Uwi, yaitu sebesar 8% dari nilai proyek program aspirasi Damayanti. Atas penyampaian Damayanti tersebut, Abdul menyanggupinya. Selanjutnya, untuk besaran uang milik Budi disepakati sama dengan uang Damayanti, yaitu sebesar 8% dari nilai proyek program aspirasi yang diusulkan Budi, serta disepakati pembayaran uangnya diselesaikan melalui Damayanti. Terkait hal tersebut, Damayanti meminta Dessy dan Uwi yang mengurus pembayaran uang proyek program aspirasi milik Budi.

Selanjutnya, Dessy dengan sepengetahuan Damayanti juga meminta sejumlah uang kepada Abdul untuk keperluan Damayanti dalam kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jawa Tengah yang kemudian disanggupi oleh Abdul. 30 Oktober 2015, Damayanti memperoleh penjelasan bahwa usulan proyek program aspirasi milik Damayanti telah disetujui oleh Kementerian PUPR dan Pimpinan Komisi V DPR RI. Pada tanggal 20 November 2015, Damayanti memerintahkan Dessy menghubungi Abdul untuk menanyakan pembayaran uang dari proyek program aspirasi milik Damayanti yang akan diserahkan melalui Dessy.

25 November 2015, Abdul memerintahkan Erwantoro (staf PT Windhu Tunggal Utama) menyiapkan uang sejumlah Rp3,28 Miliar untuk ditukarkan dalam mata uang Dollar Singapura sejumlah SGD328.000. Selanjutnya, Abdul menyerahkan uang tersebut kepada Damayanti, Dessy, dan Uwi di salah satu restoran Kebayoran Baru Jakarta Selatan, yang kemudian dibagi-bagi dengan perincian bagian untuk Damayanti sejumlah SGD245.700 sedangkan bagian untuk Dessy dan Uwi masing-masing sejumlah SGD41.150. 26 November 2015 dalam rangka memenuhi permintaan uang dari Damayanti untuk keperluan Pilkada di Jawa Tengah, Abdul menyuruh Erwantoro untuk memberikan uang dalam bentuk mata uang Dollar Amerika Serikat yang setara dengan sejumlah Rp1 Miliar kepada Damayanti melalui Dessy di Kantor Kementerian PUPR. Selanjutnya, uang tersebut oleh Damayanti diserahkan kepada Hendrar Prihadi (Calon Walikota Semarang) melalui Farkhan Hilmie sejumlah Rp300 Juta serta kepada Widya Kandi Susanti dan Gus Hilmi (Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Kendal) masing-masing sejumlah Rp150 Juta untuk keperluan kampanye Pilkada dan sisanya sejumlah Rp400 Juta dibagikan kepada Dessy dan Uwi masing-masing sejumlah Rp100 Juta, sedangkan untuk Damayanti sejumlah Rp200 Juta.

2016
Pada awal bulan Januari 2016, Dessy dan Uwi yang telah dipercaya oleh Damayanti untuk mengurus komitmen uang proyek program aspirasi milik Budi, beberapa kali menghubungi Abdul untuk menanyakan kapan penyerahan uang milik Budi. Selanjutnya, Abdul memerintahkan Erwantoro menyiapkan uang sejumlah Rp4 Miliar untuk ditukarkan dalam bentuk mata uang Dollar Singapura sejumlah SGD404.000. 7 Januari 2016, bertempat di Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Dessy bersama Uwi mengadakan pertemuan dengan Abdul, Jayadi, dan Erwantoro. Dalam pertemuan tersebut Abdul menyerahkan kepada Uwi uang sejumlah SGD404.000 yang merupakan uang dari proyek program aspirasi milik Budi.

8 Januari 2016, Damayanti menyatakan bahwa hasil uang tersebut di bagi-bagikan dengan perincian uang Budi sejumlah SGD305.000, sedangkan sisanya sejumlah SGD99.000 dibagi tiga dengan masing-masing sejumlah SGD33.000 untuk Damayanti, Dessy, dan Uwi. 11 Januari 2016, bertempat di salah satu restoran Tebet Jakarta Selatan, Uwi menyerahkan uang Budi sebesar SGD305.000 yang dimasukan kedalam kantong plastik warna hijau kepada Budi. 13 Januari 2016 sekitar pukul 02.00 WIB di Tebet Jakarta Selatan, Uwi menyerahkan uang bagian Damayanti sejumlah SGD33.000 melalui Leny Mulyani dan Sahyo Samsudin alias Ayong sebagai orang suruhan Damayanti. Sekitar pukul 13.00 WIB Dessy menjemput Uwi di Jalan Tebet Barat Dalam IX Nomor 28 Jakarta Selatan. Selanjutnya, Uwi menyerahkan uang bagian Dessy sejumlah SGD33.000 di dalam mobil Honda HRV. Pada malam harinya, Damayanti, Uwi, Dessy, dan Abdul beserta barang bukti uang yang diterimanya diamankan oleh Petugas KPK.

Jejak Kasus ARIESMAN WIDJAJA


ARIESMAN WIDJAJA

DETAIL

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Pendidikan

S-1

Profesi

Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk

Institusi

Swasta

Waktu Kejadian Perkara

2016

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Kesatu:
Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kedua:
Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Tuntutan

Pidana Penjara : 4 (empat) tahun dikurangi masa tahanan;Denda : Rp250.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan kurungan;Biaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri
No: 50/Pid.SUS/Tpk/2016/PN.JKT.PST.

Mengadili:
Pidana Penjara : 3 (tiga) tahun dikurangi masa tahanan;
Denda : Rp200.000.000,- subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Deskripsi Kasus

2010
Pada tahun 2010, Fauzi Bowo menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) Jakarta menerbitkan Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi terhadap beberapa perusahaan, yaitu PT Kapuk Naga Indah, PT Muara Wisesa Samudra, PT Jaladri Kartika Pakci.

2014
Menindaklanjuti Persetujuan Prinsip Reklamasi tersebut, pada tanggal 18 Maret 2014 Basuki Tjahaja Purnama yang menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta melakukan rapat di ruang kerja Wakil Gubernur DKI Jakarta, dengan dihadiri oleh Ariesman Widjaja (Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk) dan Liem David Halim membahas mengenai kewajiban tambahan yang akan dikenakan kepada penerima Persetujuan Prinsip Reklamasi Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) yang akan diperhitungkan sebagai kewajiban tambahan atas pemberian Persetujuan Prinsip dan Izin Pelaksanaan Reklamasi yang besarnya akan diperhitungkan sesuai kebijakan yang akan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta. Bahwa PT Kapuk Naga Indah yang merupakan anak perusahaan Agung Sedayu Group bersama-sama PT. Muara Wisesa Samudra, PT Agung Dinamika Perkasa dan PT Jaladri Kartika Pakci yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Agung Podomoro Land Tbk memerlukan adanya Peraturan Daerah tentang RTRKSP sebagai dasar hukum, yaitu untuk dapat mendirikan bangunan pada tanah reklamasi tersebut.

2015
Pada sekitar awal Desember 2015, dilakukan pembahasan mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRKSP oleh Tim dari Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta bersama dengan pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada pertengahan bulan Desember 2015 bertempat di taman Golf Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta, dengan dihadiri Mohamad Taufik (Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta merangkap Ketua Balegda DPRD DKI Jakarta), Mohamad Sanusi (Anggota Balegda DPRD DKI Jakarta), Prasetyo Edy Marsudi (Ketua DPRD DKI Jakarta), Mohamad Sangaji (Anggota Balegda DPRD DKI Jakarta) dan Selamat Nurdin (Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta) melakukan pertemuan dengan Sugianto Kusuma alias Aguan (pendiri Agung Sedayu Group) dan Ariesman yang membahas mengenai percepatan pengesahan Raperda RTRKSP. Selanjutnya, Trinanda Prihantoro secara khusus ditugaskan oleh Ariesman untuk memberikan masukan dari beberapa pengembang reklamasi dan mengikuti perkembangan proses pembahasan di DPRD DKI Jakarta untuk memastikan semua hal yang disepakati.

2016
Februari 2016, di kantor Agung Sedayu Group, Ariesman melakukan pertemuan dengan Sanusi, Aguan, dan Richard Haliem Kusuma. Aguan menyampaikan kepada Sanusi agar menyelesaikan pekerjaannya terkait dengan pembahasan Raperda RTRKSP. Pada 15 Februari 2016, Balegda DRPRD Provinsi DKI Jakarta bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pembahasan Raperda RTRKSP yang dihadiri oleh Mohamad Taufik, Sanusi, Bestari Barus, Yuliadi, Tuty Kusmawati dan Saefullah membahas mengenai Tambahan Kontribusi, beberapa anggota Balegda tersebut menginginkan Tambahan Kontribusi sebesar 15% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan mengusulkan diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub). Atas laporan dan masukan dari Balegda DPRD Provinsi DKI Jakarta tersebut, Basuki T. Purnama menyetujui Tambahan Kontribusi sebesar 15% akan diatur dalam Pergub. 24 Februari 2016, Ariesman meminta Trinanda untuk menghubungi Sanusi dan mengatur pertemuan antara Ariesman dengan Sanusi di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Ariesman menanyakan kepada Sanusi mengenai perkembangan Raperda RTRKSP, dijawab oleh Sanusi masih dalam pembahasan.

Pada 3 Maret 2016, bertempat di Avenue Kemang Village Jakarta Selatan, Ariesman melakukan pertemuan dengan Sanusi yang menyatakan bahwa kontribusi tambahan sebesar 15% terlalu berat bagi perusahaannya dan menjanjikan akan memberikan uang tunai sejumlah Rp2,5 miliar kepada Sanusi terkait penyusunan Raperda RTRKSP. Pada 8 Maret 2016, bertempat di ruang kerja Gubernur DKI Jakarta, Tuty Kusmawati menyerahkan 2 lembar dokumen terkait Raperda RTRKSP kepada Basuki T. Purnama, namun beliau menolak dengan memerintahkan Saefullah menyerahkan catatan singkat (disposisi) tersebut kepada Mohamad Taufik.

Pada 11 Maret 2016 pukul 21.05 WIB, Sanusi menghubungi Trinanda melalui telepon dan memberitahukan bahwa Mohamad Taufik, Basuki T. Purnama, dan Saefullah sudah melakukan pembahasan mengenai besaran nilai kontribusi dan tambahan kontribusi yang seolah-olah sudah diperoleh kesepakatan bahwa nilai kontribusi tetap 5% dalam bentuk tanah, sedangkan tambahan kontribusi adalah 15% dari NJOP kontribusi yang 5%, bukan dari NJOP keseluruhan tanah yang dijual. Pada 16 Maret 2016 pukul 13.09 WIB, Sanusi menghubungi Trinanda Prihantoro melalui telepon menanyakan terkait uang yang sebelumnya sudah dijanjikan oleh Ariesman.

Pada 28 Maret 2016, Sanusi memerintahkan Gerry Prastia selaku staf pribadinya untuk meminta uang kepada Ariesman melalui Trinanda. Menanggapi permintaan tersebut, Trinanda menyampaikan ke Ariesman terlebih dahulu. Pada pukul 16.35 WIB, Ariesman menghubungi Gerry melalui telepon dengan maksud bertemu di Kawasan Central Jakarta Barat. Setelah mengetahui kedatangan Gerry, Ariesman meminta Berlian Kurniawati memanggil Trinanda untuk menyerahkan uang tunai sejumlah Rp1 miliar yang telah dimasukkan dalam tas laptop hitam kepada Gerry untuk diberikan kepada Sanusi. Selanjutnya Gerry bertemu Sanusi di SPBU Pertamina Jalan Panjang Jakarta untuk menyerahkan uang tersebut di dalam mobil Sanusi.

Pada 30 Maret 2016, bertempat di Kantor DPRD DKI Jakarta, Sanusi kembali memerintahkan Gerry untuk meminta uang lagi kepada Ariesman melalui Trinanda, namun belum ada konfirmasi dari Ariesman terkait hal tersebut. Pada 31 Maret 2016 pukul 09.47 WIB, Sanusi mengingatkan Gerry untuk menanyakan kembali kepada Trinanda tentang permintaan uang tersebut. Gerry mengirim Short Message Service (SMS) kepada Trinanda terkait uang tersebut. Trinanda kembali menyampaikan permintaan uang Sanusi kepada Ariesman. Mengetahui hal tersebut Ariesman menyetujui serta memerintahkan Berlian Kurniawati dan Catherine Lidya untuk mempersiapkan uang tunai Rp1 miliar dan diserahkan kepada Trinanda. Setelah Gerry sampai di Kawasan Central Park Jakarta Barat dengan membawa satu tas ransel warna hitam, kemudian Trinanda menemui Gerry di Cafe Kopi Luwak yang berada di lantai dasar. Pada pertemuan tersebut Trinanda menanyakan kepada Gerry mengenai perkembangan, pembahasan, dan pengesahan draft Raperda RTRKSP, namun Gerry tidak mengetahuinya. Kemudian, Trinanda bersama Gerry menuju ruang rapat di lantai 46 APL Tower dengan menyerahkan uang tunai Rp1 Miliar yang dimasukkan ke dalam tas ransel warna hitam kepada Gerry untuk diberikan kepada Sanusi.

Gerry menemui Sanusi di FX Mall Senayan Jakarta Selatan yang datang menggunakan mobil Jaguar warna hitam. Gerry masuk melalui pintu belakang sebelah kiri mobil dengan menyerahkan satu ransel hitam berisi uang Rp1 miliar. Ketika mobil Jaguar tersebut keluar dari area FX Mall senayan, lebih tepatnya di depan pintu masuk menuju Hotel Atlet Century, petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan mobil Jaguar yang dikendarai Sanusi dan menangkap beliau beserta satu tas ransel hitam berisi uang Rp1 Miliar yang terdiri dari masing-masing uang kertas pecahan Rp100 ribu sebanyak 10 ribu lembar untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Beberapa saat kemudian sekitar pukul 19.00 WIB Trinanda Prihantoro juga ditangkap petugas KPK, sedangkan keesokan harinya pada tanggal 1 April 2016, Ariesman Widjaja menyerahkan diri ke Kantor KPK.

Jejaj Kasus ABDUL KHOIR


ABDUL KHOIR

DETAIL

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Pendidikan

S-1

Profesi

Direktur Utama PT Whindu Tunggal Utama

Institusi

Swasta

Waktu Kejadian Perkara

2015-2016

Waktu Inkracht

2016

Area korupsi

Jakarta

Jenis TPK

Penyuapan

Dakwaan

Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHPidana

Tuntutan

Pidana Penjara : 2 (dua) tahun, 6 (enam) bulan dikurangi masa tahananDenda : Rp200.000.000,- subsidair 5 (lima) bulan kurunganBiaya Perkara : Rp10.000,-

Putusan

Pengadilan Negeri
No: 32/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST.

Mengadili:
Pidana Penjara : 4 (empat) tahun dikurangi masa tahanan
Denda : Rp200.000.000,- subsidair 5 (lima) bulan kurungan
Biaya Perkara : Rp10.000,-

Pengadilan Tinggi
No: 48/PID.SUS-TPK/2016/PT.DKI.

Mengadili:
Pidana Penjara : 2 (dua) tahun, 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan
Denda : Rp200.000.000,- subsidair 5 (lima) bulan kurungan
Biaya Perkara : Rp7.500,-
Biaya Tingkat Banding : Rp2.500,-

Deskripsi Kasus

2015
Pada bulan Juli 2015 sampai dengan bulan Januari 2016, Abdul Khoir (Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama) bersama dengan So Kok Seng alias Aseng (Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa ) dan Hong Arta John Alfred (Direktur PT Sharleen Raya) memberikan uang yang seluruhnya berjumlah Rp21,28 Miliar, SGD1.675, dan USD72.727 kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu kepada Amran Hi Mustary (Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional IX Maluku dan Maluku utara), serta beberapa anggota Komisi V DPR RI, yaitu Andi Taufan Tiro, Musa Zainuddin, Damayanti Wisnu Putranti, dan Budi Supriyanto. Berikut kejadian perkara penyuapan kepada masing-masing pejabat pemerintah tersebut:

1. Pemberian Uang Kepada Amran Hi Mustary
Pada tanggal 12 Juli 2015 di sekitar Mall Atrium Senen, Jakarta Pusat. Abdul bersama dengan Hong bertemu dengan Amran, Herry dan Imran S. Djumadil. Dalam pertemuan tersebut Amran meminta sejumlah uang, yaitu Rp8 miliar kepada Abdul dan Hong dengan menjanjikan memberikan proyek kepada mereka pada tahun 2016.

Pada tanggal 13 Juli 2015, Abdul bersama Erwanto menyerahkan uang kepada Amran melalui Herry di parkiran gedung Arcadia Plaza Senayan Jakarta sejumlah Rp8 miliar, dengan perincian dari Abdul Rp4,5 miliar dan dari Hong Rp3,5 miliar dengan maksud agar Amran memberikan proyek Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Tahun Anggaran 2016. Dari uang tersebut, sejumlah Rp7 Miliar diserahkan kepada Amran, sedangkan sisanya sejumlah Rp1 Miliar dipergunakan oleh Herry.

Pada akhir Juli 2015 di Hotel Ambhara Jakarta Selatan, Abdul kembali memberikan uang sejumlah Rp2 Miliar secara bertahap kepada Amran. Pemberian tersebut dilakukan atas permintaan Amran dengan alasan untuk mengganti uang pemberian Abdul sebelumnya yang diambil oleh Herry sejumlah Rp1 Miliar dan selebihnya untuk menutupi kekurangan biaya suksesi Amran sebagai Kepala BPJN IX. Masih pada akhir Juli, Abdul mendapatkan informasi dari Amran bahwa akan ada proyek dari program aspirasi DPR RI. Mengupayakan agar proyek program tersebut dapat disalurkan pada pembangunan atau rekonstruksi jalan di Maluku, sehingga Abdul dimintai Amran untuk memberikan uang sejumlah Rp3 Miliar dan juga memberikan uang kepada anggota komisi V DPR RI atas sepengetahuan Amran. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Abdul meminta uang kepada Aseng, Henock Setiawan alias Rino, Charles Fransz alias Carlos dan Hong. Kemudian mereka tersebut mengirimkan uang melalui rekening milik Erwantoro masing-masing sejumlah Rp500 juta dan Carlos sejumlah Rp600 juta, serta Abdul menambahkan sejumlah Rp500 juta, sehingga seluruhnya berjumlah Rp2,6 Miliar.

Selanjutnya, pada tanggal 22 Agustus 2015 di rumah Imran, Abdul menyerahkan uang sejumlah Rp 2,6 Miliar dalam satuan dollar Amerika Serikat kepada Amran malalui Imran, dengan maksud agar program aspirasi anggota DPR RI tersebut disalurkan dalam bentuk proyek pembangunan jalan di Maluku dan Amran dapat menunjuk PT Windhu Tunggal Utama, PT Cahaya Mas Perkasa, PT Sharleen sebagai pelaksananya. Pada bulan Agustus 2015, anggota Komisi V DPR RI akan melakukan kunjungan kerja di Maluku Tengah. Sehingga, Abdul dimintai sejumlah uang oleh Amran sejumlah Rp455 juta untuk diberikan kepada Komisi V DPR RI yang di hadiri oleh Mohamad Toha. Tujuan pemberian uang tersebut agar program aspirasi DPR RI disalurkan dalam bentuk proyek pembangunan atau rekonstruksi jalan di Maluku dan Amran dapat menunjuk PT Windhu Tunggal Utama sebagai pemenang lelangnya.

Setelah melewati beberapa kali pembahasan, pada 28 Oktober 2015 Pimpinan Komisi V DPR RI dan Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyetujui program dan rencana kerja Kementerian PUPR termasuk di dalamnya proyek-proyek yang merupakan usulan atau aspirasi anggota Komisi V DPR-RI di daerah Maluku dan Maluku Utara.

Pada bulan November 2015, Abdul beberapa kali melakukan pertemuan dengan Imran dan Amran dengan menyanggupi pengerjaan dari program DPR tersebut dan Abdul juga bersedia memberikan uang kepada Amran dan anggota Komisi V DPR RI yang mengusulkan proyek tersebut sebesar 7%-8% dari nilai proyek dengan kompensasi agar menyepakati PT Windhu Tunggal Utama sebagai pelaksananya. Sebagai kesepakatan yang sudah direncanakan, Abdul diperkenalkan oleh Amran dengan beberapa anggota komisi V DPR RI, yaitu Andi dan Damayanti, sehingga menyetujui proyek dari program aspirasinya akan dikerjakan oleh Abdul, setelah itu ia juga beberapa kali memberikan sejumlah uang kepada Amran.

2. Pemberian Uang Kepada Andi Taufan Tiro
Pada pertengahan Oktober 2015, Abdul bersama dengan Imran dan Amran melakukan pertemuan dengan Andi di Kantor Komisi V DPR RI. Andi menyampaikan bahwa dirinya memiliki proyek yang berasal dari program aspirasi dengan sejumlah uang Rp170 Miliar dari nilai total proyek sejumlah Rp100 Miliar yang akan disalurkan dalam bentuk pembangunan jalan dan pelelangannya dilakukan oleh Quraish Lutfi (Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional I atau Satker PJN I) Maluku Utara. Abdul menyanggupi proyek-proyek tersebut dan sanggup memberikan uang jika ia menjadi pelaksananya. Pada tanggal 28 Oktober 2015, Andi dan pimpinan Komisi V DPR RI menyetujui APBN TA 2016 yang didalamnya juga terdapat proyek dari program aspirasi Andi, diantaranya proyek Pembangunan Ruas Jalan Wayabula-Sofi senilai Rp30 Miliar dan Peningkatan Ruang Jalan Wayaluba-Sofi senilai Rp70 Miliar.

Pada awal November 2015, Abdul bersama dengan Quraish dan Imran kembali menemui Andi menyampaikan bahwa proyek pembangunan ruas jalan Wayabula-Sofi senilai Rp30 Miliar dan peningkatan ruang jalan Wayabula-Sofi senilai Rp70 Miliar sudah disetujui dan akan dilelang oleh Quraish. Selanjutnya, Abdul meminta kepada Andi agar proyek tersebut dapat dikerjakan oleh Abdul, dan bersedia memberikan uang kepada Andi sebesar 7% dari nilai proyek sejumlah Rp7 Miliar. Atas permintaan Abdul tersebut, Andi menyetujuinya. 9 November 2015, Abdul dihubungi Imran dan diminta menyerahkan uang kepada Andi untuk proyek Pembangunan Ruas Jalan Wayabula-Sofi sejumlah Rp2,8 Miliar, namun Abdul hanya menyanggupi Rp2 Miliar. Selanjutnya, Abdul memerintahkan Erwantoro menyerahkan uang Rp2 Miliar kepada Andi melalui Jailani dengan bertemu di sekitar Blok M Jakarta Selatan. Abdul juga memerintahkan Erwantoro untuk menukarkan uang sejumlah Rp2 Miliar dalam satuan Dollar Singapura menjadi SGD206.718. Pada tanggal 10 November 2015, Abdul bersama Imran menyerahkan uang sejumlah SGD206.718 kepada Andi di ruang kerjanya, yaitu di gedung DPR RI. Setelah diserahkan, Andi mengatakan bahwa sisanya nanti dikabarkan lagi.

12 November 2015, Abdul memerintahkan Erwantoro menyerahkan uang sejumlah Rp200 Juta dan Rp2 Miliar dalam satuan Dollar Singapura setara SGD205.128 yang dibungkus dalam paper bag kepada Andi melalui Jailani di tempat parkir PT Windhu Tunggal Utama. Selanjutnya, Jailani menyerahkan kepada Andi senilai Rp1,9 Miliar sedangkan sisanya senilai Rp300 Juta dipergunakan oleh Jailani dan Quraish, masing-masing senilai Rp150 Juta di komplek perumahan DPR RI Kalibata. Pada akhir November 2015, Abdul dihubungi Imran dan diminta untuk melunasi sisanya kepada Andi sejumlah Rp800 Juta, namun Abdul menyanggupi Rp500 Juta. Imran meminta nomer rekening Abdul untuk dipergunakan sarana menerima uang dari Hengky Polisar dan Budi Liem sejumlah Rp1 Miliar yang juga akan diberikan kepada Andi.

Pada tanggal 1 Desember 2015, Abdul diberitahu Imran bahwa Budi dan Hengky telah mengirimkan uang sejumlah Rp1 Miliar ke rekening Erwantoro. Abdul memerintahkan Erwantoro untuk mencairkan uang dengan menambah sejumlah uang dari Abdul sejumlah Rp500 Juta, sehingga seluruhnya berjumlah Rp1,5 Miliar. Selanjutnya, Abdul memerintahkan Yayat Hidayat untuk menyerahkan uang tersebut kepada Imran.Menindaklanjuti tersebut, Yayat bertemu dengan Imran di Mall Kalibata dan mereka langsung menuju untuk bertemu dengan Andi di sekitar Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan dengan menyerahkan uang sejumlah Rp1,5 Miliar kepada Andi.

3. Pemberian Uang kepada Musa Zainuddin
Agustus 2015, bersamaan dengan acara kunjungan kerja komisi V DPR RI di Masohi Maluku Tengah, Abdul diperkenalkan oleh Amran kepada Mohammad Toha. Pada bulan September 2015, Abdul melakukan pertemuan dengan Toha dan Musa di Senayan City Jakarta yang membahas mengenai proyek aspirasi Toha dialihkan kepada Musa senilai kurang lebih Rp250 Miliar.

Pada awal bulan November 2015, Abdul diberitahu oleh Jailani bahwa pemberian uang untuk proyek program aspirasi usulan Musa, diberikan melalui Jailani. Untuk itu Abdul melakukan pertemuan dengan Aseng, Hong dan Jailani di Hotel Golden Boutique Jakarta. Dalam memberikan uang kepada Musa, maka dilakukan melalui Abdul dengan menggunakan rekening Erwantoro. Pada tanggal 9 dan 16 November 2015, Aseng mengirimkan uang sejumlah Rp4,48 Miliar kepada Abdul melalui rekening Erwantoro yang akan diberikan kepada Musa sebagai pembayaran uang atas proyek Pembangunan Jalan Taniwel-Saleman.

Pada tanggal 16 November 2015, Abdul dihubungi oleh Jailani untuk segera memberikan uang kepada Musa dengan bertahap, yaitu tahap pertama, Abdul memerintahkan Erwantoro untuk memberikan uang kepada Jailani sejumlah Rp2,8 Miliar dan SGD103.509 yang dikemas dalam tas ransel warna hitam di parkiran Blok M Square Jakarta Selatan. Tahap kedua, pada tanggal 17 November 2015, Erwantoro atas perintah Abdul memberikan uang Rp2 Miliar dan SGD103.509 yang dikemas dalam tas ransel hitam kepada Jailani di parkiran kantor PT Windhu Tunggal Utama Jakarta Selatan. Tahap ketiga, pada tanggal 28 Desember 2015, Erwantoro atas perintah Abdul menukarkan uang Rp1,2 Miliar dalam satuan Dollar Singapura menjadi sejumlah SGD121.088 yang dikemas dalam amplop cokelat dan diserahkan kepada Jailani di sekitar Mall Senayan City.

Pada tanggal 28 Desember 2015 di komplek perumahan DPR RI Kalibata Jakarta Selatan, Jailani menyerahkan sebagian uang pemberian Abdul tersebut, yaitu sejumlah Rp3,8 Miliar dan SGD328.377 kepada Musa, sedangkan sejumlah Rp1 Miliar dipergunakan untuk Jailani dan Rino masing-masing sejumlah Rp500 juta.

4. Pemberian Uang kepada Damayanti Wisnu Putranti
September 2015 di Hotel sekitar Jakarta Selatan, Abdul bersama dengan Jayadi Windhu Arminta (Komisaris PT Windhu Tunggal Utama) melakukan pertemuan dengan Damayanti, Julia Prasetyarini alias Uwi, Dessy Ariyati Edwin, dan Amran yang membahas mengenai proyek dari program aspirasi Damayanti di Maluku Tahun Anggaran 2016. Abdul menyatakan bersedia untuk mengerjakan proyek tersebut dan memberikan uang sebesar 8% dari nilai proyek. Selanjutnya, pada beberapa kali pertemuan, program aspirasi usulan Damayanti telah dinyatakan lulus evaluasi oleh kementerian PUPR senilai Rp41 Miliar dan Abdul menyetujui akan mengerjakan proyek tersebut dan bersedia memberikan uang kepada Damayanti sebesar 8% dari nilai proyek, yaitu sejumlah Rp3,28 Miliar yang akan diberikan sebelum proses lelang.

20 November 2015, Abdul dihubungi Dessy untuk segera memberikan uang untuk proyek program aspirasi usulan Damayanti. Menindaklanjuti permintaan tersebut, Abdul meminjam uang Aseng sejumlah Rp1,5 Miliar dan meminjam kepada Hong sejumlah Rp1 Miliar. 25 November 2015, Abdul memerintahkan Erwantoro untuk menyiapkan uang sejumlah Rp3,28 Miliar dan ditukarkan dalam satuan Dollar Singapura sejumlah SGD328.000. Selanjutnya Abdul menyerahkan uang tersebut kepada Damayanti melalui Dessy di sebuah restoran Jakarta Selatan, kemudian dibawa dan disimpan oleh Uwi. Keesokan harinya di parkiran Kementerian PUPR, Uwi dan Dessy menyerahkan uang sejumlah SGD328.000 kepada Damayanti, dari pemberian itu Damayanti memberikan sebagian dari uang tersebut kepada Uwi dan Dessy masing-masing sejumlah SGD40.000. Masih ditanggal yang sama, Abdul memerintahkan Erwantoro untuk menukarkan uang sejumlah Rp1 Miliar yang ditukarkan dalam satuan Dollar Amerika Serikat sejumlah USD72.727 yang dimasukan dalam amplop coklat dan diberikan kepada Damayanti melalui Dessy di kantor Kementerian PUPR Jakarta Selatan. Damayanti memerintahkan Uwi untuk menyimpan dan menukarkan uang tersebut dalam satuan rupiah.

5 Desember 2015, Damayanti memberikan sebagian dari uang tersebut, yaitu sejumlah Rp300 Juta kepada Hendrar Prihadi (Calon Walikota Semarang) yang diusung oleh PDIP dan juga sejumlah Rp300 Juta diberikan kepada Widya Kandi Susanti dan Mohamad Hilmi (Pasangan Calon Kepala Daerah Kendal) yang diusung PDIP dan PKB, sedangkan sisanya sejumlah Rp400 Juta, dipergunakan oleh Damayanti sejumlah Rp200 Juta dan diberikan kepada Dessy dan Uwi masing-masing sejumlah Rp100 Juta.

5. Pemberian Uang kepada Budi Priyanto
Oktober 2015, Abdul melakukan pertemuan di hotel sekitar Jakarta Selatan dengan Amran, Damayanti, Dessy, Uwi yang membahas mengenai daftar dan kode proyek di Maluku dan Maluku Utara yang mana memperkenalkan Abdul sebagai rekanan Amran yang akan mengerjakan Proyek-proyek tersebut. Proyek yang bersumber dari program aspirasi Damayanti, yaitu proyek Pelebaran Jalan Tehoru-Laimu senilai Rp41 Miliar dan proyek program aspirasi Budi, yaitu proyek Rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu senilai Rp50 Miliar. Selanjutnya, Abdul menyatakan keinginannya untuk mengerjakan proyek-proyek tersebut. Setelah bernegosiasi dengan Damayanti, Abdul menyetujui dan akan memberikan uang sebesar 8% dari nilai proyek. Selanjutnya Damayanti menyampaikan kepada Budi bahwa Abdul bersedia memberikan uang sebesar 6% dari nilai proyek Budi. Pada pertengahan Desember 2015, Abdul beberapa kali dihubungi oleh Dessy dan Uwi yang meminta agar segera memberikan uang kepada Budi melalui Dessy dan Uwi.

7 Januari 2016, Abdul bersama dengan Jayadi dan Erwantoro memberikan uang sejumlah SGD404.000 kepada Dessy dan Uwi di sekitar Pasaraya Melawai Jakarta Selatan. Mengetahui hal tersebut, Damayanti memerintahkan kepada Uwi untuk menyerahkan kepada Budi sebesar 6% dari Rp50 Miliar atau setara dengan SGD305.000. 11 Januari 2016 pukul 18.00 WIB di sebuah restoran Jakarta Selatan, Uwi menyerahkan sejumlah SGD305.000 yang dibungkus dalam kantong plastik kepada Budi. Sedangkan sisa uang sejumlah SGD99.000 dipergunakan oleh Damayanti, Dessy, dan Uwi masing-masing sejumlah SGD33.000.

Bahwa rangkaian pemberian uang kepada Amra, Andi, Musa, Damayanti, dan Budi tersebut dilakukan oleh Abdul dengan mengingat wewenang dam kekuasaan yang melekat pada jabatan Amran (Kepala BPJN IX) Maluku dan Maluku Utara, serta wewenang dan kekuasaan Andi, Musa, Damayanti, dan Budi, yaitu sebagai anggota komisi V DPR RI yang berwenang mengusulkan proyek-proyek pembangunan atau rekonstruksi jalan kepada Kementerian PUPR serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program aspirasi DPR RI.