Total Tayangan Halaman

Selasa, 26 Desember 2017

Diskusi Akhir GAKI

Diskusi Akhir Tahun Gerakan Anti Korupsi Indonesia. " Semakin Banyak Korupsi. Buat KPK, Prestasi atau Kegagalan?
Pembicara :
1. Prof Dr Andi Sofyan SH MH (Ketua Dewan Pakar GAKI)
2. Prof Dr H Marwan Mas, SH, MH (Tokoh Anti Korupsi/Univ Bosowa)
3. Busman Muin SH (Divisi Bag Hukum GAKI)

Moderator : Muhammad Basran
(Juru Bicara GAKI)

Acara di Gedung IPTEKS UNHAS dekat Danau Unhas

Pada 31 Desember 2017, pukul 14.00 WITA.

3 Pembicara : 750.000 = 2.250.000
Moderator : 750.000
Konsumsi : 150 @ 30.000 =4.500.000.
Persiapan dan Komunikasi: 1.000.000
Sewa Gedung : 1.500.000
Kebersihan : 500.000

Total Rp 10.500.000

Senin, 25 Desember 2017

Angin Malam 13 Tahun Lalu

Hembusan angin malam waktu itu menusuk tulang. Dengan lesu bercampur sedih. Dengan amarah bercampur sesal, kuantar ia kembali pada orangtuanya.  Itu pintanya.

Tak lagi ia tahan mengecap nasi berlauk garam. Tidur hanya beralas kain pada papan. Itupun tanpa cahaya. 13 tahun lalu, ia meminta itu. Meninggalkanku pada kesendirian. Di sepedamotor itu terakhir kali aku melihatnya dari kaca spion.

"Berfikirlah dua kali ne." Ine aku memanggilnya untuk sebutan ibu.

"Tidak, aku sudah tidak tahan hidup denganmu," jawabnya.

" Aku berjanji akan membahagiakanmu. Aku akan bekerja keras," kataku padanya. Tapi ia tak bergeming. Tekadnya sudah bulat berpisah denganku.

" Tidak.... aku tak mau lagi. Mengertilah padaku. Aku tak tahan hidup melarat."

Segala bujuk rayu dan janji manis sudah kusampaikan. Namun, kesetiaannya tak lagi di dapat, ditambah orangtuanya tak lagi mengucapkan sepatah dua patah kata padaku saat menyambutnya di depan rumah. Bantingan pintu adalah isyarat menyuruhku agar cepat pergi.

Aku mencintainya. Setahun sebelumnya dia juga begitu. Tapi akhir-akhir ini kesetiaannya semakin berkurang, semenjak kakaknya sering bertandang ke rumah kami.

Aku pulang bersama angin malam yang mendinginkan hati. Membuatku menangis sendiri dari perjalanan pulang hingga di rumah meratapi kegagalan bahtera rumah tangga kami.

***

Pagi hari aku berinisiatif menjemputnya kembali. Aku berupaya merayunya. Tapi dalam perjalanan aku terhambat oleh guncangan besar yang membuatku terjatuh saat mengendarai roda dua.

"Allahu Akbar.... Lailahaillallah Muhammadarrasulullah," ucapku berulang-ulang saat terjatuh dan masih merasakan getaran dahsyat waktu itu. Aku terluka parah

Meski bumi tak lagi berguncang, tetap saja aku sulit melanjutkan perjalanan.

"Air naik, air naik," orang-orang berlarian. Aku berfikir ini adalah air bah. Tapi jarak tempatku saat itu sangat jauh dari laut. Namun dalam fikiranku adalah Ine. Rumahnya sangat dekat dengan laut.

Aku bergegas kembali melanjutkan perjalanan menahan rasa sakit. Tapi nyatanya, air berkubik-kubik menghentikanku. Tampak dari kejauhan, tak mungkin bisa kutembus. Hanya deru angin dan langit yang mulai menghitam kurasa dan kutatap. Aku tak pernah lagi berjumpa dengan Ine sejak 13 tahun lalu.

(Fiqih P, Sei Rampah 25122017)

Cerpen dibuat dalam memperingati Tsunami 26 Desember 2004. Angin Malam 13 Tahun Lalu

Selasa, 05 Desember 2017

TOPAN-RI

A.Maksud
Maksud di Bentuknya Perkumpulan Lembaga Swadaya Masyarakat ” Team Operasional Penyelamatan Asset Negara Republik Indonesia ” yang selanjutnya disingkat dengan Singkatan Resmi “TOPAN-RI ” adalah :

Pertama, Turut serta berperan Aktif mengisi Cita -Cita dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan Mengakkan Hak Asasi Manusia (HAM) sesuai dengan Pancasila Dan UUD 1945 yang tertuang pada pasal 27,28,dan 30, menuju terciptanya masyarakat sejahtera adil dan makmur. Kedua, Mengamalkan dan melaksanakan penghayatan Pancasila dan UUD 1945 . Ketiga, Meningkatkan Prestasi dan produktifitas kinerja sekaligus berperan aktif dalam menuju suksesi pembangunan di segala Bidang.

Keempat, Meningkatkan hubungan sesama warga, sebagsa dan setanah air, mengacu pada pencapaian optimalisasi sarana dan prasarana dalam kehidupan berwawasan lingkungan. Kelima, Menghimpun warga masyarakat,bangsa dan negara yang berkeadilan, bersatu dan berkesejahteraan sosial dan menjunjung tinggi supremasi hukum,dalam semangat pancasila dan UUD 1945. Ke Enam, Mempertahankan Kedaulatan dan eksitensi serta tegaknya NKRI berdasarkan UUD 1945.- Ke Tujuh, Mewujudkan Pemerintahan yang jujur, Demokratis, efesien ,Efektif, bersih serta bebas dari korupsi kolusi dan Nepotisme (KKN).

Kedelapan, Memberikan keserasian hubungan antara adat budaya yang saling hormat didalam perwujudan konsekkwensi kesetian sesama, sebangsa dan setanah air Republik Indonesia. kesembilan, Meningkatkan dan menjunjung tinggi sportifitas dan supremasi Hukum dalam arti seluas-luasnya dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia seutuhnya. Ke Sepuluh, Menghimpun sikap saling percaya yang mengacu pada jalinan kerjasama dengan perbaikan, perjuangan, menselaraskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesebelas, Memotivasi dan emndorong kegiatan dalam kondisi aktif dan komunikatif dengan ketentuan melepaskan kepentingan pribadi menjadi visi organisasi.

kedua Belas, Membentuk kader-kader bangsa yang memiliki jiwa arif dan bijaksana , jujur dan bertanggung jawab. ke Tiga Belas, Memantapkan hubungan kemitrausahaan guna mendukung perkembangan organisasi kelembagaan sesuai dengan falsafah pancasila dan Undang-undang dasar 1945. Ke Empat Belas, Menjalin hubungan kerja dengan pemerintah dan swasta guna memakmurkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

B.Tujuan
Tujuan di Bentuknya Perkumpulan Lembaga Swadaya Masyarakat ” Team Operasional Penyelamatan Asset Negara Republik Indonesia ” yang selanjutnya disingkat dengan Singkatan Resmi “TOPAN-RI ” adalah :
Pertama, Bertindak Secara Pro Aktif didalam kegiatan pengantisipasian /pencegahan dan Penyelamatan Asset Negara Republik Indonesia dari tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan berbentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, Menegakkan keadilan serta menyalurkan aspirasi masyarakat yang sekaligus dapat memberikan dampak positif terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara , serta mengajukan hak gugat dan hak jawab kepada Lembaga Peradilan.

Ketiga, Membina kader-kader bangsa secara profesional dalam mengkondisikan dan memotivasi kinerja , berdisiplin kebersamaan dan kemampuan mengkristalisasasikan diri dalam Visi dan Misi organisasi sekaligus menghimpun kekuatan persatuan dan kesatuan bangsa yang arif, bersih, dan berwibawa serta bertanggung jawab. Keempat, Menciptakan rasa kesetian,komitmen dan konsisten memelihara amanah dalam menselaraskan visi pribadi dengan lingkungan dan organisasi serta memperkokoh rasa kebersamaan dan solidaritas kelompok organisasi yang mendasari semua langkah-langkah usaha dengan niat yang bersih dan manifetasi ke imanan.

Kelima, Menciptakan pendidikan Formal dan non Formal guna terciptanya kader-kader bangsa yang handal dan memiliki sumber daya manusia (SDM) seutuhnya disegala bidang. Ke Enam, Mengajukan hak gugat sesuai hasil temuan kepada Badan Peradilan di seluruh Indonesia berdasrkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber : TOPAN-RI Aceh

Iklan

Jumat, 01 Desember 2017

Bahasa, Sumpah Pemuda dan Agnes Monica

Bahasa, Sumpah Pemuda dan Agnes Monica

– Esai ini pertama kali tayang di laman Yahoo! Indonesia pada 28 Oktober 2013. Saya unggah sebagai dokumentasi karena naskahnya sudah tidak bisa lagi diakses di laman tersebut.

Di hari Sumpah Pemuda [atau yang lebih tepatnya “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”], saya membaca kicauan Agnes Monica di twitter: “Supaya kalian tau exactly what i said in the press conference. Banyak bgt justru yg the opposite of what i said.”

Bukan niat saya untuk menyebut Agnes tak setia dengan pernyataan “kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean bahasa Indonesia”. Kicauan Agnes itu justru dengan telak mengingatkan saya pada satu fakta penting: para pembicara di Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II menggunakan bahasa Belanda. Semua keputusan [istilah resminya waktu itu “poetoesan”] juga ditulis dalam bahasa Belanda.

Pidato Mohammad Yamin di Kongres Pemuda I [nama resminya “Het eerste Indonesische Jeugdcongres”, sekali lagi namanya pun dalam bahasa Belanda], yang dengan cemerlang membela bahasa Melayu sebagai satu-satunya kemungkinan bahasa nasional di masa datang, toh juga disampaikan dengan bahasa Belanda yang sangat bagus.

Biarlah M. Tabrani, Ketua Kongres Pemuda I yang tak hadir dalam Kongres Pemuda II, menjelaskan duduk perkaranya [saya menggunakan terjemahan Daniel Dhakidae di buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru karena Thabrani lagi-lagi menggunakan bahasa Belanda]:

“Kita berpikir dan berbicara dalam bahasa Belanda, sementara dengan berapi-api menawarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan kita. Ini kelihatannya seperti sebuah paradoks, akan tetapi memang benar. … Praktis saja dan tidak perlu berspekulasi yang tak berfaedah! Apakah bahasa Belanda bukan suatu senjata tajam untuk kita dan siap dipakai? Asalkan kita mengoperasikannya dengan baik. Dalam pandangan kami, itulah senjata yang baik, bukan saja untuk melawan kaum sana [penjajah Belanda], tapi juga untuk mendukung kaum sini [rakyat Hindia Belanda yang terjajah].”

Ada tiga hal menarik dari argumen pragmatisme ala Thabrani itu. Pertama, bahasa Belanda sebagai senjata. Kedua, bahasa Belanda sebagai alat berpikir dan berbicara [Sukarno pun pernah mengakui bahwa bahasa Belanda adalah bahasa yang dipakainya untuk berpikir]. Ketiga, bahasa Belanda sebagai alat untuk menjangkau “kaum sana” dan “kaum sini”, baik untuk melawan ataupun untuk mendukung.

Dalam Kongres Pemuda itu, yang belakangan di masa kini kerap diledek sebagai kongres para alay, dinas intelijen Belanda bidang politik [Politieke Inlichtingen Dienst atau PID] mengirim banyak intelijen untuk menyusup ke dalam kongres itu, baik intelijen kulit putih maupun kulit coklat [bahkan para alay pun dianggap berbahaya oleh rezim kolonial masa itu].

Untuk mengakalinya, panitia kongres mengatur orang-orang yang secara khusus ditugaskan untuk ngobrol ngalor ngidul dengan para pejabat Belanda dan semua yang dicurigai sebagai bagian intelijen. Tujuannya: agar mereka kehilngan konsentrasi untuk mengawasi jalannya pembicaraan kongres.

Masih menurut Thabrani: “Mereka menunaikan tugasnya dengan baik dan rapi sekali sebab omong-omong secara santai, penuh lawakan yang lucu-lucu, … semua di dalam bahasa Belanda yang baik dan sopan, walau pun penuh humor. Hasilnya kongres lancar dengan selamat dari awal sampai akhir.”

Senjata made in Belanda itu, en toch , memang sudah digunakan dengan sebaik-baiknya, setidaknya untuk melancarkan jalannya kongres dari gangguan eksternal.

Sementara soal bahasa Belanda sebagai “alat berpikir” juga menarik untuk dicermati agar kita bisa memahami konteks historisnya.

Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda II 1928, sempat berbicara dalam bahasa Melayu. Tapi bahasa Melayu-nya tidak memuaskan dan membuat banyak peserta susah mengerti. Soegondo akhirnya kembali ke habitus anak-anak muda itu: berbicara dalam bahasa Belanda.

Inilah yang dimaksud bahasa Belanda sebagai “alat berpikir”.

Anak-anak muda itu terbiasa menulis, berbicara dan mengungkapkan gagasan-gagasan abstrak dalam bahasa Belanda. Proses kognisi yang mereka alami hampir sepenuhnya berlangsung dalam bahasa Belanda. Sehingga butuh waktu untuk benar-benar fasih dan mulus mengungkapkan gagasan-gagasan yang rumit, asing dan aneh itu ke dalam bahasa Melayu, Jawa atau Sunda.

Inilah yang terjadi dengan Tirtoadisoerjo, orang yang menerbitkan surat kabar legendaris Medan Prijaji. Dia butuh waktu tak sebentar untuk berpikir apakah harus menulis dalam bahasa Melayu atau tidak. Itu terbantu karena Tirto tak selesai sekolah kedokteran dan tak sempat melanjutkan kuliah. Dunia akademik yang semua proses kognitifnya dilakukan dalam bahasa Belanda pun mulai menjauh dari kehidupannya. Transisi dari alam pikiran bahasa Belanda ke alam pikiran bahasa Melayu [pasar] jadi lebih mudah dilakukan.

Tentu saja banyak di masa itu sudah banyak yang terbiasa menulis dalam bahasa Melayu atau bahasa Jawa atau Sunda. Tirtoadisoerjo, seperti yang sudah saya sebutkan, adalah salah satu contoh yang terkemuka dan menonjol. Dia pantas disebut, salah satunya dan terutama, karena dia berlatar belakang Jawa yang fasih Belanda namun juga lama tinggal di daerah Priangan yang berbahasa Sunda. Bahasa Melayu Pasar – yang jadi cikal bakal bahasa Indonesia-  akhirnya yang menjadi ujung dari perjalanan multi-lingualnya itu.

Sementara poin terakhir, tentang bahasa Belanda sebagai alat menjangkau “kaum sana” dan “kaum sini”,  perlu ditempatkan dalam konteks bahasa sebagai “modal”.

Sejak awal, pemerintah kolonial sadar bahwa tak semua urusan bisa mereka kerjakan sendiri. Mau tak mau harus memanfaatkan rakyat terjajah. Sekolah dan pengajaran bahasa Belanda akhirnya menjadi prasyarat untuk memastikan tenaga-tenaga yang siap pakai guna mengurus segala perkara birokrasi kolonial.

Hanya saja, bahasa Belanda tak pernah menjadi [karena memang tak diniatkan] bahasa komunikasi semua orang. Tak seperti bahasa Inggris di semua jajahan Inggris atau bahasa Prancis di negara-negara jajahan di Afrika, bahasa Belanda diajarkan tapi juga dibatasi perluasannya. Mereka merancangnya sebagai bahasa kaum elit, sehingga bumiputera yang bisa menguasainya pun tetap menjadi elit yang dibayangkan akan tetap berjarak dengan jelata kebanyakan.

Dari situlah kutipan macam Thabrani itu muncul. Daniel Dhakidae dengan bagus sekali menganalisis situasi ini guna menjelaskan kompleksitas posisi para pemuda nasionalis itu. Dengan caranya sendiri, tulis Daniel, “Thabrani mengemukakan keterpisahan kaum cendekiawan itu dari dua sumbernya sekaligus, dari para penguasa Belanda [kaum sana] dan dari rakyatnya sendiri [kaum sini] yang pasti tidak paham bahasa yang dipakai kaum cendekiawan ini.”

Dengan itulah, datang atau tidak ke Kongres Pemuda I dan II, para penubuh gerakan nasionalis itu memang sukar menghindar dari cap “elit” itu tadi. Studi Sartono Kartodirdjo atau Akira Nagazumi tentang elit di Hindia Belanda dengan bagus menjelaskan proses kemunculan elit-elit baru ini dalam narasi besar nasionalisme.

Tan Malaka mungkin salah satu elit itu yang pernah mencoba dengan gigih menerabas batas-batas “elitisme” itu dengan turun langsung ke jantung rakyat jelata dengan bekerja di perkebunan di Sumatera Timur maupun di tengah romusha di Bayah, Banten. Pedihnya, Tan Malaka yang selalu bergerak di bawah itu, justru kalah dan mati di era kemerdekaan karena kurang kuatnya  akar yang dia tancapkan di kalangan massa karena terlalu lamanya dibuang, diasingkan dan berkelana di banyak negara.

Kemenangan bahasa Melayu [yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia] sebagai bahasa nasional dalam banyak hal memperpendek jarak antara elit dengan jelata ini. Bahasa Belanda kemudian pelan-pelan menghilang sebagai cara komunikasi, digantikan oleh bahasa Indonesia dengan kelenturannya dalam beradaptasi.

Kini, pada perayaan 85 tahun Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia, Agnes Monica dengan santainya, dan memang pantas untuk santai karena bukan dosa, Agnes ringan saja berkicau: “Supaya kalian tau exactly what i said in the press conference. Banyak bgt justru yg the opposite of what i said.”

Barangkali sudah tak ada lagi ketegangan “kaum sana” dan “kaum sini” atau setidaknya ketegangan itu sudah mengendur dengan drastis. Tapi tak berarti tidak ada lagi “pusat kekuasaan” yang harus diperebutkan. Dalam hal Agnes-Agnes dari generasi abad-21 ini, “pusat” itu masih ada, nun di luar sana.

Agnes merumuskannya dalam istilah “go-internasional”, mungkin dengan intensi hasrat yang sama dengan generasi Thabrani, dkk., dulu saat membayangkan “nasionalisme”.

51 buku sastra anak yg sudah menjadi klasik

51 buku sastra anak yg sudah menjadi klasik (lengkap dg ilustrasinya) bisa dibaca gratis di Library of Congress https://t.co/dGR2SQPDoI

‘Sandera-Sandera Itu Tipu-Tipu’


‘Sandera-Sandera Itu Tipu-Tipu’

Masyarakat asli Kimbeli dan Banti, Tembagapura, Mimika, Papua dievakuasi ke Gedung Emeneme, Timika, Papua.

     

Pertengahan November lalu publik dikejutkan oleh pernyataan aparat polisi soal situasi penyanderaan di lokasi pertambangan ilegal di Tembagapura, Mimika, Papua. Jumlah sandera mencapai seribuan, menurut klaim polisi. Yang disandera adalah warga pendatang dan tempatan. Penyandera adalah kelompok separatis Papua Merdeka. Pemberitaannya, pada saat itu, akhirnya bergantung dari pernyataan polisi dan pernyataan kelompok separatis. Sukarnya akses ke Mimika membuat peristiwa tersebut masih kelabu. Wartawan Republika Mas Alamil Huda di Timika dan Fitriyan Zamzami berkesempatan menggali kejadian itu, sejak pekan lalu. Berikut tulisannya.

REPUBLIKA.CO.ID, MIMIKA -- Di kaki pegunungan Jayawijaya, Papua, ada sebuah danau. Wanagon dia punya nama. Airnya dahulu jernih, bersumber dari lelehan salju di puncak gunung.

Bagi suku Amungme yang bermukim di sekitar lokasi itu, Wanagon juga semacam tempat keramat. Danau ini adalah titik berkumpulnya arwah para leluhur. Arwah-arwah tersebut nantinya membalas kebaikan alam dengan membawa kelestarian dan keberkahan bagi warga Amungme melalui aliran sungai-sungai besar, salah satunya Aijkwa.

Sungai-sungai besar itu kemudian bercabang lagi menjadi sejumlah kali. Di Distrik Tembagapura, membelah Kampung Utikini, Kampung Kimbely, dan Kampung Banti, Aijkwa bercabang menjadi Kali Kabur yang mengular sepanjang lima kilometer.

Sudah sejak lama, yang mengalir dari Wanagon bukan lagi air jernih. Ini karena limbah bekas pengayakan bebatuan di pertambangan PT Freeport Indonesia di Grasberg menimbun danau tersebut. Wanagon kini jadi salah satu danau paling kritis di Indonesia.

Residu pertambangan yang menimbun itu kemudian ikut mengalir ke sungai-sungai di bawahnya. Termasuk ke Kali Kabur yang bentangan awalnya bermula dari Mile 37 dari pusat pertambangan di Tembagapura hingga Banti.

Masyarakat Mimika menamai wilayah Utikini-Kimbely-Banti dengan sebutan ‘Atas’. Ini berkaitan dengan kondisi geografis dua daerah tersebut. Dua kampung itu membelah bukit-bukit dan dataran tinggi. Ketika warga berpelesiran ke tengah Kota Mimika, mereka disebut sedang ‘turun ke Bawah’.

Terlepas posisi itu, Utikini-Kimbely-Banti bukan wilayah yang sepi betul, terlebih di tepian Kali Kabur. Limbah tambang dari PT Freeport yang masih mengandung sekutip emas mengundang penambang ilegal ke lokasi tersebut tak lama selepas Reformasi pada 1998.

Demam emas dari limbah tambang itu membuat warga dari luar Papua memepaki tepian sungai dan kali di Mimika, termasuk Kali Kabur. Mereka mendulang emas dari kali yang airnya kini kerap tak lebih dari satu meter. Kegiatan ilegal itu, meski berkali-kali sempat ditertibkan, akhirnya menciptakan ekosistem tersendiri. 

Banyak warga pendatang tak hanya mendulang emas. Beberapa lainnya berjualan. Mereka berdagang bahan makanan dan bahan pokok lainnya guna kebutuhan pendulang.

Tempat dagangan atau kios-kios ini berdiri di sepanjang jalan di Kampung Banti dan Kimbely di tepi Kali Kabur. Berjejeran dengan tenda-tenda sederhana para pendulang.

Kegiatan mendulang tersebut juga akhirnya dicontoh warga lokal. Etty Waker (29 tahun) seorang warga Kimbely, salah satunya. Lelaki suku Amungme itu menuturkan, ia biasa mencari emas bersebelahan dengan warga pendatang dari Sulawesi dan Jawa di Kali Kabur.

Menurut dia, selama ini jarang ada perselisihan di antara mereka. “Kita ini masyarakat biasa-biasa saja. Kita ini mereka punya saudara,” kata Etty saat ditemui Republika di Mimika, pekan lalu.

Hal serupa disampaikan Obaja Lawame (30 tahun). Ketika ditanyai soal hubungan mereka dengan pendatang, ia lekas menyela. “Tidak-tidak, mereka tinggal dengan kita. Mereka kita punya saudara,” katanya di Gedung Graha Eme Neme Yauware, Mimika.

Lelaki yang juga tokoh masyarakat di Kimbely ini mengatakan, selama beberapa tahun terakhir sejak para pendatang ke kampung halamannya, kehidupan bermasyarakat di antara mereka terjalin cukup baik. Mereka saling mengisi kebutuhan satu sama lain.

Ketua Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) di Mimika, Imam Pradjono, menuturkan, ada 90 warga suku Jawa yang mencari nafkah di dua kampung tersebut. Sebagian besar pendulang, beberapa lainnya berjualan.

“Kita bukan orang baru di sana, sudah cukup lama. Ada yang satu tahun, ada yang lebih dari lima tahun. Mereka ini bersahabat, keluarga kita yang pendatang dengan masyarakat putra daerah yang di Banti dan Kimbely itu keluarga, berbaur. Dengan orang Toraja dan sebagainya juga,” kata dia kepada Republika di Mimika.

Hingga kemudian terjadi insiden pada 21 Oktober 2017. Aparat kepolisian yang sedang berpatroli ditembaki saat melintas di Bukit Sanger, Kampung Utikini. Dua anggota Brimob terluka. Penembakan kembali terjadi keesokan harinya di lokasi yang sama. Kali ini, baku tembak mengakibatkan anggota Brimob Yon B Mimika bernama Briptu Berry Permana Putra kemudian gugur. Empat anggota Brimob yang mengevakuasi Briptu Berry juga menjadi korban luka.

Pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengklaim sebagai dalang penembakan tersebut. Bukan itu saja, mereka juga menjanjikan akan meningkatkan penyerangan di wilayah Tembagapura dengan dalih merongrong keberadaan PT Freeport serta sebagai upaya pembebasan Papua dari NKRI.

Sayap militer OPM tersebut sudah sejak lama beroperasi di pegunungan tengah Papua. Pada 2014-2015, serangan-serangan kian terkonsentrasi di wilayah pedalaman sekitar areal tambang PT Freeport. Kepolisian melansir, selain sejumlah pasukan tewas dari kedua sisi, sebanyak 32 senjata api juga dirampas kelompok bersenjata dari pihak kepolisian pada periode itu.

Komandan Operasi TPNPB-OPM III Timika, Hendrik Wanmang, menyatakan dalam pernyataan resmi, mereka telah menyepakati pada 21 Oktober 2017 untuk membalas perlakuan aparat keamanan Indonesia atas warga Papua. Wanmang jadi salah satu yang menandatangani kesepakatan itu.

Bersamaan itu pula, Imam Pradjono mengklaim, ia kerap mendapat laporan via telepon dari warga Jawa yang berada di Banti dan Kimbely bahwa mereka disatroni kelompok bersenjata. “Kemudian orang Jawa ada yang sempat kena pukul, dompet dirampas, uang diambil, HP diambil dengan tujuan agar tidak bisa komunikasi dengan dunia luar,” ujar Imam.

Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom tak menampik ada perampasan telepon genggam. Menurut dia, tentara-tentara TPNPB-OPM menyita sementara telepon genggam itu agar para pendulang emas tak menghubungi kepolisian soal keberadaan pasukan mereka. 

Terlebih, mereka mendengar kabar bahwa pendulang dari luar disusupi aparat keamanan. “Kami kumpulkan semua HP dan harta sementara saja,” ujarnya kepada Republika via sambungan telepon.

Bagaimanapun, situasi terus memanas. Muncul isu adanya pemerkosaan terhadap seorang perempuan warga pendatang. Pada Sabtu (4/11) hingga Ahad (5/11), terjadi pembakaran terhadap kios-kios warga yang berada di seputaran asrama Polsek Tembagapura di Mile 68.

Tenda-tenda rumah darurat para pendulang emas di pinggiran Kali Kabur, juga dibakar. Polsek Tembagapura, sekira 500 meter dari Utikini-Kimbely-Banti ditembaki. Bendera Bintang Kejora berkibar di salah satu bukit di Banti.

Suasana mencekam di Tembagapura dan sekitar lokasi tambang. Saling buru antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata lalu menjadikan akses utama menuju Utikini-Kimbely-Banti tertutup. Bahan makanan tidak bisa masuk. Warga tempatan tak berani keluar.

Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar menyatakan, pada 11 November 2017, Utikini-Kimbely-Banti telah dikuasai kelompok bersenjata. Sekitar 1.300 warga, menurut kepolisian, disandera kelompok bersenjata yang berkekuatan sekitar 100 petempur dibekali 35 senjata api. Namun, benarkah ada penyanderaan saat itu? 

 

Tentara mengevakuasi warga pendatang dari Kampung Kimbely ke Timika, Jumat (17/11). (Jeremias Rahadat/Antara)

‘Mereka Kita Amankan’

Raut-raut wajah menampakkan ketegangan dan kelelahan begitu turun dari bus. Sejumlah 344 jiwa, mulai dewasa, perempuan, hingga anak-anak kala itu diangkut dengan 10 bus milik PT Freeport Indonesia dari Kampung Banti dan Kimbely.

Ratusan warga yang dievakuasi Satgas Terpadu TNI-Polri pada Jumat (17/11) itu nyaris seluruhnya pendatang. Mereka gabungan dari banyak suku, mulai Jawa, Toraja, hingga Batak dan beberapa lainnya. Hanya seorang pria dan delapan anak-anak asli Papua dalam rombongan itu.

Tak sampai sepekan di Timika, pusat Kota Mimika, mereka langsung dipulangkan ke daerah masing-masing. Kepolisian dan TNI mengklaim, ratusan warga pendatang itu dibebaskan dari penyanderaan oleh kelompok kriminal bersenjata alias KKB.

Namun, ada versi lain yang didapat Republika dari warga tempatan. “Sandera-sandera itu tipu-tipu,” kata Soli Alom kepada Republika di Graha Eme Neme Yauware, Timika, akhir pekan lalu. Lelaki 28 tahun itu terus mengunyah buah pinang dan kapur sirih sepanjang berbicara dengan Republika.

Soli mengernyitkan dahi mengingat-ingat, warga pendatang yang sebagian berdagang bahan makanan dengan mendirikan kios-kios di tepian jalanan kampung terus menerima ancaman sejak pertengahan bulan lalu. Beberapa melaporkan ada perampasan bahan makanan, uang, hingga telepon genggam. “Mereka takut terus lari ke kita (warga lokal). Mereka juga kita punya saudara,” kata Soli.

Tak jauh dari Soli berdiri, Obaja Lawame ikut menimpali. Warga Kimbely ini menyebut, krisis di Kimbely-Banti dimulai dari kontak senjata aparat TNI-Polri dengan kelompok bersenjata sejak 8 Oktober.

Praktis sejak saat itu, menurut dia, akses utama menuju kampung di sana terblokir. Pedagang tidak bisa mendapat bahan makanan dari “bawah”, sebutan untuk Distrik Timika, dan warga terisolasi tidak bisa ke mana-mana.

Warga bertahan dengan makanan yang tersisa. Pada 22 Oktober, lelaki yang ditokohkan di Kimbely ini mendapat kabar ada anggota Brimob bernama Briptu Berry Permana Putra gugur tertembak.

Sejak saat itulah, menurut dia, keadaan kian tak aman dan semua warga pendatang diajak untuk tinggal bersama warga lokal demi alasan keamanan. “Kita kumpulkan jadi satu tempat, tapi bukan disandera. Kita kasihan mereka, makanya kita amankan di kita punya rumah sambil kita tunggu jalan buka,” ujar Obaja.

Dia mengatakan, situasi itu terus terjadi hingga beberapa pekan selanjutnya. Persediaan makanan kian menipis sehingga mereka harus bertahan berpekan-pekan dalam keterbatasan.

Obaja juga mengiyakan kelompok bersenjata merampas barang dagangan masyarakat di kios, uang, hingga emas hasil pendulangan yang belum dijual. Sebagian warga pendatang, menurut dia, tinggal di daerah yang kerap disebut Longsoran di tepi Kali Kabur. Sementara perkampungan warga tempatan agak masuk ke dataran yang lebih tinggi.

“Orang-orang ini, mereka punya tempat jualan itu, jualan itu di pinggir jalan. Jadi orang OPM naik turun itu selalu ganggu-ganggu. Mereka naik turun ada orang kios dipukul, ditodong, jadi mereka (pendatang) takut. Jadi 300 berapa orang itu kita tampung di rumah kita di dalam,” kata Obaja lebih lanjut.

Ketua majelis gereja di Kimbely, Natanbagai (35 tahun) menekankan, yang terjadi adalah warga asli di Kimbely-Banti ikut mengamankan para pendatang dari gangguan kelompok bersenjata. Selama beberapa pekan dalam situasi yang tidak kondusif, menurut dia, para pendatang bisa merasa cukup aman.

Situasi jadi pelik saat kios-kios warga yang berada di seputaran asrama Polsek di Mile 68, Tembagapura, dibakar. Beberapa kios yang sudah tak berpenghuni dibakar pada Ahad (5/11) dini hari. “Kalau tidak bawa ini semua bahaya, (persediaan) makanan habis. Masyarakat minta turun karena ada kontak senjata dan bahan makanan habis,” ujar Natanbagai.

Kisah lain pula muncul dari sisi para pendatang. Salah satunya, Desi Rante Tampang (33). Wanita asal Toraja, Sulawesi Selatan, itu mengklaim telah berjualan kelontong di areal pendulangan emas sejak 2014. "Puji syukur kepada Tuhan karena kami sudah berada di tempat yang aman sehingga tidak lagi ketakutan dan terintimidasi," kata Desi setelah dievakuasi pada Jumat (17/11) seperti dilansir Antara.

Ia mengatakan, selama sebulan di “Atas”, kelompok bersenjata senantiasa berpatroli dari rumah ke rumah dengan membawa senjata api dan senjata tajam. Ibu tiga anak itu menuturkan, wajah para anggota kelompok bersenjata tak bisa dikenali karena dilumuri cat hitam.

"Bila malam tiba kami semua dikumpulkan di satu rumah dan bila siang kami kembali ke rumah masing- masing. Bila mereka datang, kami langsung masuk ke dalam ruangan atau kamar karena takut," kata Desi.

Versi Polda Papua, tak hanya intimidasi, warga pendatang juga mendapatkan pelecehan seksual. Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Mustofa Kamal menuturkan, warga yang mengalami pelecehan seksual oleh KKB di area Longsoran sebanyak lima perempuan atas nama EK, T, HY, D, dan L. Sementara korban kekerasan seksual di kampung Kimbely atas nama R, MM, LL, S, RK, I, dan ML.

Data warga yang dianiaya dan ditodong dengan senjata api sebanyak 19 orang. Warga yang dirampas telepon genggamnya sebanyak 74 orang dengan jumlah barang bukti 200 unit telepon.

Total uang yang dirampas kelompok bersenjata senilai Rp 107,5 juta. Jumlah paling kecil yang dirampas senilai Rp 500 ribu milik pendatang berinisial P, dan yang paling besar Rp 30 juta miik pendatang berinisial B. Sedangkan total emas yang dirampas seberat 254,4 gram. Yang paling ringan, milik YP seberat 5,4 gram, dan paling banyak milik YM seberat 100 gram.

Situasi yang lebih kompleks disampaikan Ketua Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) di Mimika, Imam Pradjono. Dalam tamsil, ia mengatakan, ada sentimen tertentu juga di warga lokal Kimbely dan Banti.

Sejumlah saksi mata juga mengatakan, simpatisan Papua merdeka tak sekadar 20-an orang seperti yang diklaim kepolisian. Jumlahnya ratusan dan sebagian berbaur dengan warga lokal.

“Orang-orang yang di seberang sana, yang sehati, tapi berseberangan pandangan itu menyandera orang kita,” ujar dia kepada Republika. Menurut dia, nyaris sebulan penuh warga pendatang tak boleh bekerja. Tak boleh keluar dari perimeter yang ditetapkan kelompok bersenjata di Kimbely-Banti.

Komandan Operasi TPNPB-OPM III Timika, Hendrik Wanmang mengklaim, yang mereka lakukan hanyalah menjaga agar warga Kimbely-Banti tak masuk dalam wilayah tempur dengan TNI-Polri. Pihak TPNPB-OPM juga menyatakan, kios-kios yang disatroni juga milik mereka yang terindikasi bekerja sama dengan TNI-Polri. Menurut mereka, tak ada pemerkosaan.

Bagaimanapun, pada Jumat (17/11), pihak TNI-Polri merasa cukup. Operasi penyerbuan digelar. Operasi yang kemudian memunculkan versi berbeda pula.

Para tentara anggota operasi penyerbuan ke Kimbely-Banti saat menerima penghargaan, Ahad (19/11). (dok. Puspen TNI)

Misteri Dua Jenazah di Bukit Kimbely

Pernak-pernik khas suku-suku di pegunungan Papua menggantung di leher Kamaniel Waker. Mulai dari taring babi hutan hingga tas rajut kecil menghiasi dada pria berumur 49 tahun itu. Ia ditemui Republika ketika tengah mengordinasi para pengungsi di Graha Eme Neme Yauware, Distrik Timika, Mimika, pekan lalu.

Tangannya liat dan berotot sewarna kayu jati, genggamannya keras saat bersalaman. Sorot matanya yang tajam, jenggot lebat di wajah, memunculkan kesan tegas. Namun, ketika diajak berbinjang, keramahannya muncul. Ia beberapa kali tertawa di sela-sela pembicaraan.

 “Kalau mereka lapar, saya lapar. Kalau mereka mati, saya mati.” Kamaniel mengingat bagaimana ia harus terus mengulangi kata-kata itu di hadapan saudara-saudara satu sukunya yang telah menggabungkan diri dengan TPNPB-OPM. 

Ada keponakannya dan sepupu di antara mereka. Ayub Waker yang disebut memimpin para petempur TPNPB-OPM di Mimika, kata Kamaniel, adalah pamannya.

Sambil pasang badan, Kamaniel mengatakan, ia harus dibunuh dulu sebelum para pendatang beretnis  Jawa, Toraja, Buton, Bugis, dan Batak, yang ia lindungi di Kampung Kimbely dan Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, dihabisi kelompok bersenjata. 

“Lebih saya mati sama kamu orang, dari pada sama orang lain,” kata Kamaniel kepada kelompok bersenjata. Ia berupaya meyakinkan petempur-petempur TPNPB-OPM, para pendulang emas ilegal tersebut warga biasa. “Mereka kamu orang punya masyarakat, tentara (Indonesia) punya masyarakat.”

Baku buru antara TNI-Polri dengan kelompok bersenjata TPNPB-OPM telah membuatnya dalam posisi sulit sejak pertangahan Oktober lalu. Sebagai kepala suku umum yang melingkupi suku-suku di Mimika, ia wajib melindungi puaknya. 

Kamaniel juga merasa berkewajiban melindungi warga pendatang pendulang emas di Kali Kabur yang belakangan kerap diganggu kelompok bersenjata. 

Ia meyakini, perang semestinya hanya antara para petempur dari kedua sisi. Warga sipil tak boleh diganggu. Kamaniel mengklaim sempat dicap pengkhianat oleh anggota kelompok bersenjata terkait sikap itu. “Dia orang tembak saya empat kali,” kata Kamaniel kepada Republika.

Kemudian datang pagi hari itu. Pada Jumat (17/11), pukul 07.00 WIT, pasukan TNI memasuki desanya saat anggota TPNPB-OPM yang berjaga-jaga di pintu masuk menuju Utikini dan di dalam Kimbely-Banti mundur ke pos-pos mereka di bukit-bukit yang mengitari kampung. 

“Mereka (TNI) kasih tahu masyarakat tidak boleh lari dan harus pasang Merah-Putih,” kata Kamaniel. Pukul 08.00 WIT, kata Kamaniel, sekitar 300 warga pendatang diminta keluar dari rumah-rumah di Kimbely. Warga lokal juga dikumpulkan di lapangan kampung. 

Sementara itu, serangan dilancarkan. Kamaniel bersaksi, tentara melepaskan tembakan dengan senjata api ke arah gunung-gunung hingga sekitar pukul 09.00 WIT. “Mereka juga tembak bom pakai meriam,” kata Kamaniel.

Ketakutan, warga kampung tetap di posisi mereka hingga serangan selesai. Aparat kemudian menguasai lokasi sekitar pukul 11.00 WIT. Sebanyak 335 warga non-Papua di Kimbely-Banti beserta satu pria dan delapan anak Papua lalu dievakuasi berjalan kaki keluar kampung dan dijemput menggunakan sejumlah bus di Polsek Tembagapura.

Versi resmi dari Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/Cendrawasih, sekira lima hari sebelum evakuasi 13 personel Kopassus dan 10 personel Kostrad sudah mengintai lokasi. Hadir juga Peleton Intai Tempur Kostrad bersama Batalyon Infanteri 754/Eme Neme Kangasi yang masing-masing berkekuatan 10 personel.

Mereka mengendap dan memantau pergerakan kelompok bersenjata yang disebut membaur dengan warga lokal. Pada Jumat (17/11) pagi, saat anggota kelompok bersenjata naik ke pos masing-masing di bukit, tentara merangsek masuk ke Kimbely dan Banti sembari menghalau kelompok bersenjata dengan tembakan-tembakan.

Sehari setelah evakuasi, aparat kemudian melakukan penyisiran. Dua jenazah di temukan di gunung-gunung yang ditembaki sehari sebelumnya. “Ada dua orang mati ditembak pakai bom,” kata seorang warga Kimbely, Soli Alom (28 tahun), kepada Republika di Timika, pekan lalu.

Pihak Kodam XVII/Cendrawasih mengklaim keduanya anggota kelompok kriminal bersenjata. "Satu orang menggunakan kaos loreng TNI celana hitam sampai lutut, pakai sepatu boot, dan ikat kepala Bintang Kejora. Yang satu lagi, celana selutut tanpa baju, sepatu boot karet, noken Bintang Kejora," tutur Kepala Penerangan Kodam XVII/Cendrawasih Letnan Kolonel Infantri M Aidi.

Sedangkan Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom berkeras, keduanya adalah warga sipil. “Kami mengklarifikasi bahwa mereka adalah warga sipil yang berada di Kimbely.  Itu adalah pelanggaran HAM dan Indonesia harus bertanggungjawab,” ujar Sambom dalam pernyataan resmi, pekan lalu.

Menurut Kamaniel, kenyataannya berada di tengah-tengah. Salah satu yang tewas, seingat Kamaniel, adalah Ilame Waker. Ia berusia sekitar 20 tahun. “Dia bapak ade (paman) punya anak,” kata Kamaniel. Menurutnya, Ilame memang petempur TPNPB-OPM. “Dia pegang senjata.”

Lain halnya dengan korban lainnya, Berina Waker yang seumuran dengan Ilame. Seperti Ilame, Berina juga sepupu Kamaniel. Ia menuturkan, Berina sedianya seorang pendulang emas yang kerap bekerja bersisian dengan para pendatang. 

Saat krisis di Kimbely-Banti, Berina beberapa kali naik ke bukit-bukit menemui saudara-saudara anggota kelompok bersenjata. Saat terjadi penyerangan dan evakuasi warga oleh TNI, Berina kebetulan berada di lokasi yang jadi sasaran tembak. “Dia tidak bisa turun.”

Pihak TNI mengklaim, kedua jenazah kemudian diserahkan ke suku mereka untuk dibakar sesuai adat tempatan. Sedangkan menurut Kamaniel, bukan karena ritual jenazah mereka dibakar. “Kulit sudah terkupas semua, tulangnya kelihatan,” kata Kamaniel merujuk kondisi jenazah. 

Selepas penemuan jenazah itu, perburuan kelompok bersenjata masih terus dilakukan. Suara-suara tembakan masih kerap terdengar dari Kimbely dan Banti. Tak mau ambil resiko, Kamaniel merayu sekitar 800-an warganya turun mengungsi ke Timika, pusat kota Mimika. 

”Babi sama kebun kita tinggal semua,” ujarnya. Meski begitu, ada sebagian yang tak hendak turun dengan dalih menjaga ternak.

Sebagian mengungsi di Graha Eme Neme Yauware, lainnya di ke Kampung Damai di Distrik Kwamki Narama. Mereka menempati Gereja GKII wilayah II Pegunungan Tengah Papua Jemaat Anugerah.

Kamaniel mengatakan, sebagian pengungsi yang tidak memiliki keluarga di Timika akan direlokasi ke lahan di Mile 32, Distrik Kuala Kencana. Situasi di atas yang tak menentu membuat Kamaniel merasa perlu adan tempat baru untuk penghidupan yang lebih layak dan keberlanjutan pendidikan anak-anak Banti, Kimbely, dan sekitarnya.

Namun tak semua warga suku membagi keinginan itu. Belum sepekan, pengungsi sudah merindukan dataran tinggi yang lebih sejuk. “Saya su (sudah) tidak kuat panas di sini,” kata Agustina, seorang warga Kimbely kepada Republika di halaman Gedung Eme Neme Yauware pekan lalu.

Kehidupan di Kampung Kimbely, kata perempuan Amungme berusia 40 tahun itu, adalah surga meski penuh kekurangan. Dia juga memikirkan kelanjutan pendidikan empat anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, yang  juga ikut turun ke pengungsian. 

Harapannya sederhana, agar kedamaian di kampungnya bisa dipulihkan kembali dengan cara sebaik-baiknya. “Tuhan kasih saya tempat ini (Kampung Kimbely). Tuhan yang kasih kau jaga saya punya gunung,” ujar dia. n

1965: 'Kekerasan Brutal' Perdana Militer Indonesia di Papua


dibaca normal 6 menit

Home    Politik

1 dari 4

1965: 'Kekerasan Brutal' Perdana Militer Indonesia di Papua

Reporter: Petrik Matanasi 
01 Desember 2017

Memutihkan Orang Papua?Pdt. Benny Giay: "Kami Orang Papua Lama-Lama Punah"Perayaan 1 Desember dan Kekerasan di Papua

   

tirto.id - Juli 1943, usia Marthin Indey sudah 31 tahun. Ia pemuda Papua yang jadi polisi dan pernah jadi wakil komandan jaga di kamp pembuangan Tanah Merah, Boven Digoel. Ketika orang-orang buangan itu dibawa ke Australia, Indey ikut di dalamnya. Perjalanan itu membuat Indey jadi orang yang cukup didengar oleh orang-orang Papua lain, yang bergabung dalam unit militer yang dikenal sebagai Batalyon Papua.

“Selama di Australia statusnya adalah tentara sekutu […] bersama-sama tentara sekutu di Australia, Marthin Indey dan kawan-kawan dilatih terjun payung,” catat Onnie Lumintang dkk dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare (1997:17). 

Selama jadi tentara sekutu, Indey pernah ikut pasukan payung di Kotabaru, Biak-Numfor, Wandeman, juga Admiralty. Pada 1944, pangkatnya mencapai kopral. Belakangan, menurut Rosmaida Sinaga dalam Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel(2013: 144), Indey dijadikan “salah satu pelatih anggota Batalyon Papua yang dibentuk akhir tahun 1944.”

Batalyon Papua adalah satuan militer pribumi Papua yang dibentuk Amerika Serikat dalam komando tentara sekutu untuk menghadapi Jepang dalam Perang Pasifik. Jenderal A.H. Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia Volume 1 (1963: 90) menulis bahwa Batalyon Papua beranggotakan para gerilyawan dari suku-suku Papua untuk melawan Angkatan Laut Jepang di pesisir Papua. Dalam buku lain, Sekitar perang kemerdekaan Indonesia - Volume 1 (1978:151), Nasution menyebut Batalyon Papua "berjasa besar" dalam mengusir Jepang dari Papua.

Baca juga: Jejak Orang-Orang Indonesia di Pasukan Amerika

Setelah Jepang angkat kaki dan Belanda berusaha memperkuat diri kembali untuk menjadikan lagi Indonesia sebagai daerah koloninya sebelum PD II, Batalyon Papua berusaha dipermak sebagai Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA) Belanda. Berhubung Papua dianggap milik Belanda, maka Batalyon Papua pun akhirnya dianggap bagian dari Belanda.

“Batalyon ini bagian terbesar militer Belanda di Papua, selain kontingen KNIL,” tulis P. J. Drooglever dalam Tindakan pilihan bebas!: orang Papua dan penentuan nasib sendiri (2010: 93).

Setelah 1945 ketika orang-orang dan unit militer Amerika yang membangun Batalyon Papua pulang kampung, pasukan Batalyon Papua dijadikan bagian dari KNIL. Setelah berperang melawan pihak Indonesia hingga 1949, tahun 1950 KNIL pun bubar.

Baca juga: Bubarnya Angkatan Perang Hindia Belanda: KNIL

Jan Pieter Karel van Eechoud, komandan Batalyon Papua sebelum jadi penduduk Papua, menyatakan bahwa orang-orang Batalyon jadi besar kepala dan sulit diatur. Mereka dituduh orang Belanda sebagai orang-orang gampang tergoda kemewahan serta mudah kepincut perasaan anti-Belanda.

Di antara bekas anggota Batalyon Papua yang anti-Belanda dan pro-Indonesia adalah Marthin Indey. Bersama Corinus Crey dan Silas Papaer, Indey memengaruhi anggota Batalyon untuk berontak. Rencana memberontak ini bocor karena ada salah satu anggota Batalyon yang melapor kepada otoritas Belanda. Pasukan Belanda dari Rabaul, sebuah kota di provinsi Papua Nugini, didatangkan sehingga Indey dan Papare ditahan.

Drooglever menyebut ada satu komplotan anti-Belanda dalam batalyon ini. Pada April 1947, sejumlah personel militer yang mabuk mengacaukan kota. Batalyon Papua pun akhirnya dibubarkan.

Namun, Belanda tetap butuh militer dari orang-orang Papua yang bisa dipercaya untuk menjaga keamanan di Papua. Betapapun langkah ini mengingkari kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949, yang salah satu poinnya adalah Belanda menyerahkan Papua ke Indonesia.

Seiring status politik Papua menjadi perhatian dan diserahkan lewat mekanisme internasional pada 1960-an—di mana PBB, AS, Australia, Inggris terlibat—otoritas Belanda membentuk Papoea Vrijwilligers Corps, disingkat PVK, atau Korps Relawan Papua.

Peristiwa Arfai, Manokwari

Di bawah suhu Perang Dingin, sejalan Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, yang mengatur penyerahan Indonesia lewat Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) lalu ke Indonesia pada 1 Mei 1963, pemerintah Belanda di Papua melanjutkan pembentukan PVK agar lebih solid. Pihak Belanda sejak awal telah merancang soal otonomi lebih luas dan besar bagi rakyat Papua, termasuk dengan membentuk Dewan Papua (Nieuw Guinea Raad). 

Belakangan Sukarno, sesudah datang ke Papua Barat pada Mei 1963, melarang semua aktivitas politik bumiputera Papua, termasuk unit PVK. Perlawanan anti-Indonesia mulai meletup dan berlangsung secara sporadis setelahnya.

Pasukan PVK, sebagai satu-satunya pasukan terlatih dan memegang senjata, berperan dalam eskalasi anti-Indonesia. Musababnya: selain kehadiran sejumlah pasukan parakomando (cikal bakal Kopassus) dan pejabat-pejabat Indonesia, orang Papua menilai bahwa pemerintah Jakarta tak punya niat baik untuk melakukan plebisit secara serius, malahan terus-menerus mengulur waktu. Sebaliknya, setiap tindakan perlawanan Papua dihadapi dengan intimidasi dan kekerasan. 

Baca juga: Pepera, Cara Indonesia Siasati Potensi Keok Saat Referendum Papua

John Saltford dalam riset mendetail soal keterlibatan PBB di Papua Barat pada 1960-anmencatat bahwa pihak-pihak internasional "gagal membela hak-hak asasi dan kebebasan rakyat Papua" dan "payah melawan kampanye intimidasi yang kejam dan sistematis oleh pihak Indonesia" selama tahun-tahun genting itu. 

Salah satu insiden bersenjata yang menentukan berlangsung pada 1965. Pada tahun ini, ketika Jakarta menghadapi apa yang disebut "Gerakan 30 September" dan dipakai militer sebagai dalih pembantaian massal terhadap kaum kiri Indonesia, rakyat Papua mendeklarasikan "Organisasi Papua Merdeka". Kelak, banyak pemuka Papua, termasuk yang semula pro-Indonesia, memilih eksil dari Tanah Papua.

Dan, catat Drooglever, "semangat perlawanan yang paling kuat ada di Manokwari dan pedalaman bagian Arfak." Di sinilah Permenas Awom, seorang sersan PVK, melakukan pemberontakan. 

Pada 26 Juli 1965, Awom bersama pengikutnya menembaki tiga serdadu Indonesia. Balasannya, tulis sebuah kabel diplomatik Kedubes AS di Jakarta, "Indonesia menyerang secara brutal." 

"Sehari berikutnya, para serdadu menembaki setiap orang Papua yang mereka jumpai dan banyak orang tak bersalah, yang hanya melintas di jalan, turut jadi korban."

Keterangan ini muncul dalam salah satu dari tiga puluh sembilan dokumen kabel diplomatik dari Kedubes AS di Jakarta, yang dirilis oleh Arsip Keamanan Nasional dari George Washington University, medio Oktober lalu. Insiden ini juga dikenal sebagai "Peristiwa Arfai."

Baca juga:Arsip Rahasia AS: Soeharto Tahu Pembantaian 65Arsip Rahasia AS: Para Pengusaha Indonesia Pasca 1965

Imbas dari insiden itu, pada 4 Agustus, Indonesia melancarkan Operasi Sadar, operasi kontra-pemberontakan militer Indonesia perdana di Papua. Menurut keterangan militer Indonesia, pada 1966, pemberontak menyerang secara ofensif ke sejumlah pos tentara Indonesia. Pasukan Papua mendapatkan dukungan dari penduduk setempat serta dari orang-orang Papua di PVK, kepolisian, dan PNS.

Pada April 1967, pihak Indonesia mengakui Angkatan Udara memuntahkan peluru ke Kota Manokwari, menewaskan sedikitnya 40 orang. Tindakan ini, kata mereka, sebagai respons terhadap kelompok Awom yang mendeklarasikan "Negara Papua Merdeka". Pada tahun yang sama, Johan Ariks, paitua dari Arfak berumur 75 tahun, ditangkap oleh militer Indonesia setelah melakukan perlawanan gerilya selama dua tahun di areal tersebut. Ariks meninggal di penjara pada 1969.

Rincian soal balasan tentara Indonesia dikemukakan oleh P. Szudek pada 1968. Menulis untuk Komite Bantuan Rakyat Anglo-Melanesia pro-Papua, Szudek menggambarkan: "Di Lembah Baliem selama 1966, 80 pria, beberapa di antaranya anak muda, ditembak oleh tentara Indonesia di kampung Gulunu dan seorang remaja digantung. Alasannya, orang-orang ini menolak menyebut diri sebagai 'orang Irian'. Di Distrik Sukarnapura (kini Jayapura), Manokwari, Teminabuan, sedikitnya 15 pria digantung oleh polisi militer pada 1967, termasuk seorang inspektur polisi orang Papua bernama Nico Jacadewa, dan sejumlah kepala keamanan kampung.

Di Distrik Ayamaru pada Februari 1967, tentara menembak dan mengeksekusi sejumlah orang Papua dan membakar kampung. Pada bulan yang sama, di Semenanjung Kepala Burung Papua, kampung-kampung dilempari granat dan dibom oleh AL dan AU Indonesia."

Szudek juga merekam perjalanan Menteri Luar Negeri Adam Malik ke Irian Barat pada Agustus 1966, dengan membawa rombongan wartawan asing pertama kali ke Papua. Mengutip seorang koresponden, Frank de Jong dari Belanda, Szudek menulis: Kapan pun Malik pergi, ia disambut dengan teriakan orang-orang Papua ... 'Mana Plebisit untuk kami?' Seorang polisi Papua berkata: 'Kami berhak atas Tanah Papua. Kami ingin plebisit, bukan parade!'

Peristiwa Pasca-1969

Pada akhirnya, plebisit itu digelar lewat sistem perwakilan, bukan satu orang satu suara, pada 1969. Komunitas internasional menyebut 'Act of Free Choice'; sebaliknya, orang Papua mengingatnya sebagai 'Act of No Choice.'

Menurut John Saltford, sekitar 1.022 orang dari Distrik Merauke, Wamena, Nabire, Fak Fak, Sorong, Manokwari, Biak, dan Jayapura, memilih bergabung ke Indonesia di bawah represi otoritas keamanan Indonesia. Meski ada suara yang meragukan hasil tersebut, PBB tetap mengesahkan dengan 84 suara mendukung dan 30 abstain. Pada 1973, Irian Barat ganti nama jadi Irian Jaya.

Kendati begitu, perlawanan orang Papua tak pernah berhenti.

George Junus Aditjondro dalam "Bintang Kejora di Tengah Kegelapan Malam" (2000) merangkum bahwa ada empat "tonggak sejarah terpenting dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua" usai integrasi paksa di bawah Orde Baru tersebut.

Pada 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem, putra Lukas Rumkorem (pejuang Merah Putih di Biak), mencetuskan “Proklamasi OPM” di Markas Victoria (Mavik), Jayapura. Pada 3 Desember 1974, enam PNS di Serui menyerukan “Proklamasi Sorong-Samarai”. Dan pada 14 Desember 1988, Thomas Wanggai, doktor hukum lulusan Universitas Negeri Okayama dan administrasi publik dari AS, memproklamasikan negara ”Melanesia Barat” di Stadion Mandala. Wanggai dihukum 20 tahun penjara di Cipinang dan meninggal pada Maret 1996.

Peristiwa khusus bagi Aditjondro adalah perlawanan kultural oleh Arnold Ap, antroplog-cum-dosen di Universitas Cenderawasih, yang membentuk grup musik rakyat Mambesak pada 1978. Mambesak adalah Burung Cendrawasih dalam bahasa Biak. 

Arnold Ap ditahan pada 30 November 1983 dan ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur Kota Jayapura, dalam satu skenario pelarian menuju Papua Nugini yang dirancang Kopassandha (kini Kopassus). Ia meninggal di rumah sakit Aryoko, Jayapura, pada 26 April 1984 dalam usia 38 tahun.  

Dalam kesaksian langsung Aditjondro, seorang penggiat lingkungan dan hak asasi manusia yang bekerja di Papua pada 1980-an, pemakaman Arnold Ap "diiringi sekitar 500 orang dengan berjalan kaki sejauh dua kilometer."

"Prosesi dari rumah ke kuburan laksana prosesi pemakaman Marthin Luther King. Semua yang ikut dalam prosesi sore itu bergandengan tangan memenuhi jalan dengan diiringi lagu-lagu rohani," tulis Aditjondro dalam "Kasus Arnold Ap dan Mambesak" (2002). 

Dari peristiwa-peristiwa historis ini, kata Aditjondro, "Apakah pemerintah Indonesia harus selalu menjawabnya dengan peluru?" Pertanyaannya 17 tahun lalu ini masih relevan untuk situasi Papua kini.

EBook Cornell Modern Indonesia Collection


Search Cornell

Cornell Modern
Indonesia Collection

HomeSearchBrowseAboutContactHelp

Browse by Title | Browse by Author

Abdullah, TaufikSchools and politics: the Kaum Muda movement in West Sumatra (1927-1933).(1971)
Akhmadi, HeriBreaking the chains of oppression of the Indonesian people : defense statement at his trial on charges of insulting the head of state, Bandung, June 7, 8, 9, 10, 1979(1981)
Anderson, Benedict and Richard O'Gorman, 1936Some aspects of Indonesian politics under the Japanese occupation, 1944-1945 / Benedict R. O'G. Anderson.(1961)Mythology and the tolerance of the Javanese(1965)A preliminary analysis of the October 1, 1965, coup in Indonesia [by] Benedict R. Anderson and Ruth T. McVey (with the assistance of Frederick P. Bunnell)(1971)Some aspects of Indonesian politics under the Japanese occupation, 1944-1945 / Benedict R. O'G. Anderson.(1961)
Anderson, Benedict and Kahin, AudreyInterpreting Indonesian politics : thirteen contributions to the debate edited by Benedict Anderson and Audrey Kahin(1982)
Benda, Harry J. Benda and Ruth T. McVoyThe Communist uprisings of 1926-1927 in Indonesia : key documents / edited and with an introd. by Harry J. Benda and Ruth T. McVoy. (1960)
Bone, Robert C.The dynamics of the Western New Guinea (Irian Barat) problem.(1958)
Bourchier, DavidDynamics of dissent in Indonesia : Sawito and the phantom coup (1984)
Bunnell, Frederick Philip, 1933-American Reactions to Indonesia's Role in the Belgrade Conference(1964)
Burger, D.H.Structural changes in Javanese society : the village sphere : being Part I(1957)Structural changes in Javanese society: the supra-village sphere; being Part III (1956)
Djajadiningrat, Idrus Nasir, 1920The beginnings of the Indonesian-Dutch negotiations and the Hoge Veluwe talks.(1958)
Dohrenwend, Barbara SnellSome factors related to autonomy and dependence in twelve Javanese villages.(1957)
Echols, John M.Indonesian writing in translation. Compiled and edited with an introd. by John M. Echols. (1956)Preliminary checklist of Indonesian imprints during the Japanese period (March 1942-August 1945) with annotations.(1963)Preliminary checklist of Indonesian imprints, 1945-1949, with Cornell University holdings(1965)
Federspiel, Howard M.Persatuan Islam; Islamic reform in twentieth century Indonesia(1970)Popular Indonesian literature of the Qur'an(1994)
Feith, HerbertThe Indonesian elections of 1955. (1957)The Wilopo Cabinet, 1952-1953: a turning point in post-revolutionary Indonesia.(1958)
Finch, Susan and Lev, Daniel S.Republic of Indonesia Cabinets, 1945-1965(1965)
Frederick, William H.The Putera reports; problems in Indonesian-Japanese wartime cooperation. Translated, with an introd., by William H. Frederick.(1971)
Fusayama, Takao, 1916A Japanese memoir of Sumatra, 1945-1946 : love and hatred in the liberation war(1993)
Goethals, PeteAspects of Local Government in a Sumbawan Village (1961)
Graves, Elizabeth E.The Minangkabau response to Dutch colonial rule in the nineteenth century (1981)
Harvey, Barbara Sillars, 1933Permesta : half a rebellion(1977)
Hatta, Mohammad, 1902Past and future, an address delivered upon receiving the degree of doctor honoris causa from Gadjah Mada University at Jogjakarta on November 27th, 1956.(1960)
Jenkins, DavidSuharto and his generals : Indonesian military politics, 1975-1983 (1984)
Kammen, Douglas AntonA tour of duty : changing patterns of military politics in Indonesia in the 1990s / Douglas Kammen and Siddharth Chandra.(1999)
Kell, TimThe roots of Acehnese rebellion, 1989-1992(1995)
Keuning, JohannesThe Toba Batak, formerly and now / translated by Claire Holt.(1958)
King, Dwight Y."White book" on the 1992 general election in Indonesia / Body for the Protection of the People's Political Rights Facing the 1992 General Election (BPHPR) ; translated with an introduction by Dwight Y. King. (1994)
Koentjaraningrat, 1923Some social-anthropological observations on gotong rojong practices in two villages of Central Java. Translated by Claire Holt.(1961)
Kwee, Tek HoayThe origins of the modern Chinese movement in Indonesia. Translated and edited by Lea E. Williams.(1969)
Legge, J. D. (John David), 1921Intellectuals and nationalism in Indonesia : a study of the following recruited by Sutan Sjahrir in occupation Jakarta (1988)Problems of regional autonomy in contemporary Indonesia.(1957)
Lev, Daniel S.The transition to guided democracy: Indonesian politics, 1957-1959 (1966)
Mackie, J.A.C.Problems of the Indonesian Inflation(1967)
Magenda, Burhan DjabierEast Kalimantan : the decline of a commercial aristocracy(1991)
Maryanov, GeraldDecentralization in Indonesia: legislative aspects.(1957)Decentralization in Indonesia as a political problem.(1958)
McVey, Ruth ThomasThe Calcutta Conference and the Southeast Asian uprisings.(1958)<The Soviet view of the Indonesian revolution; a study in the Russian attitude towards Asian nationalism.(1957)
Moertono, Soemarsaid, 1922State and statecraft in old Java; a study of the later Mataram period, 16th to 19th century.(1968)
Nishihara, MasashiGolkar and the Indonesian elections of 1971.(1972)
Nitisastro, Widjojo and Ismael, J. E.The government, economy, and taxes of a central Javanese village [by] Widjojo Nitisastro and J. E. Ismael. [Translated by Norbert Ward] (1959)
No authorThe Socio-economic basis of the Indonesian state : on the interpretation of paragraph 1, article 38 of the provisional Constitution of the Republic of Indonesia / [by] Mr. Wilopo and Widjojo Nitisastro ; translated by Alexander Brotherton.(1959)
Noer, DeliarAdministration of Islam in Indonesia(1978)
Pringgodigdo, Abdul Karim, raden mas, 1906The office of President in Indonesia as defined in the three constitutions, in theory and practice.(1957)
Rose, MavisIndonesia free : a political biography of Mohammad Hatta (1987)
Salim, LeonPrisoners at Kota Cane / Leon Salim ; translated by Audrey R. Kahin. (1986)
Selomardjan, SeloThe dynamics of community development in rural Central and West Java: a comparative report. (1963)
Shimer, Barbara Gifford and Guy HobbsThe Kenpeitai in Java and Sumatra : selections from The authentic history of the Kenpeitai (Nihon kenpei seishi) / by the National Federation of Kenpeitai Veterans' Associations (Zenkoku Kenyukai Rengokai Hensan Iinkai) ; translated by Barbara Gifford Shimer and Guy Hobbs ; with an introduction by Theodore Friend. (1986)
Simatupang, T. B. (Tahi Bonar), 1920Report from Banaran: experiences during the people's war [by] T. B. Simatupang. Translated by Benedict Anderson and Elizabeth Graves. With an introd. by John R. W. Smail. (1972)
Sjahrir, Sutan, 1909-1966Our struggle [by] Sutan Sjahrir. Translated with an introd. by Benedict R. O'G. Anderson.(1968)
Smail, JohnBandung in the early revolution, 1945-1946; a study in the social history of the Indonesian revolution(1964)
Soedjatmoko, 1922-1989An approach to Indonesian history : towards an open future / an address before the Seminar on Indonesian History, Gadjah Mada University, Jogjakarta, Dec. 14, 1957 [by] Soedjatmoko.(1960)Economic development as a cultural problem [by] Soedjatmoko.(1958)
Soekarno, 1901-1970Marhaen and proletarian; speech before the Indonesian Nationalist Party at the party's thirtieth anniversary at Bandung, July 3rd 1957. [Translated by Claire Holt](1960)Nationalism, Islam, and Marxism(1970)
Somers, MaryPeranakan Chinese Politics in Indonesia(1964)
SuThe provisional constitution of the Republic of Indonesia, with annotations and explanations on each article [by] R. Supomo. Translated by Garth N. Jones. (1964)
Swift, AnnThe road to Madiun : the Indonesian Communist uprising of 1948 (1989)
Tan, Mely G.The Chinese of Sukabumi: a study of social and cultural accommodation.(1963)
Tedjasukmana, Iskandar, Raden, 1915-The Political Character of the Indonesian Trade Union Movement(1958)
Teselkin, A. S. (Avenir Stepanovich), 1930Old Javanese (Kawi) / by A.S. Teselkin ; translated and edited with a preface by John M. Echols. (1972)
Thung, YvonneA guide to Indonesian serials, 1945-1965, in the Cornell University Library, by Yvonne Thung and John M. Echols. (1966)
Van Niel, RobertLiving conditions of plantation workers and peasants on Java in 1939-1940; final report. Translation by Robert Van Niel. (1956)
Van der Veur, Paul William Johan, 1921The Eurasians of Indonesia; a political-historical bibliography. Compiled by Paul W. van der Veur.(1971)
Ward, Ken, 1948The foundation of the Partai Muslimin Indonesia(1970)
Weinstein, Franklin B.Indonesia abandons confrontation; an inquiry into the functions of Indonesian foreign policy(1969)
Williams, Michael C. (Michael Charles), 1949Sickle and crescent : the Communist revolt of 1926 in Banten(1982)
Willmott, Donald EarlNational Status of the Chinese in Indonesia(1956)The national status of the Chinese in Indonesia, 1900-1958.(1961)