Total Tayangan Halaman

Selasa, 10 Januari 2017

KPK Tagih Kewajiban 32 Provinsi

KPK Tagih Kewajiban 32 Provinsi

Detail Diterbitkan pada Senin, Februari 15 2016 10:40 Dibaca: 761

Twitter

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menagih kewajiban pembayaran Izin Usaha Pertambangan pada 32 provinsi terkait dengan belum optimalnya pemerintah daerah melakukan kewajibannya di sektor pertambangan sejak dimulainya Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam (GN-SDA).

Ketua GN-SDA KPK Dian Patria mengungkapkan KPK berencana mengundang 32 gubernur, tiga menteri dan eselon satu terkait dengan koordinasi dan supervisi di sektor pertambangan yang diduga terdapat indikasi korupsi pada Senin, 15 Februari 2016. Hal itu, sambungnya, berkaitan dengan Gerakan Nasional Kedaulatan Energi.

Sejak 5 tahun terakhir, KPK memfokuskan pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam, di antaranya adalah kehutanan, perkebunan, pertambangan, serta kelautan.

Pada 2014, KPK melakukan koordinasi dan supervisi atas pertambangan mineral dan batu bara di pelbagai provinsi di Indonesia, dan menemukan pelbagai persoalan dari tidak adanya transparansi, ketiadaan jaminan pasca tambang hingga kerusakan lingkungan.

“Untuk daerah, khususnya kelanjutan penyelesaian IUP pada 32 provinsi. Menagih kewajiban-kewajiban pending [tertunda] pada IUP,” kata Dian kepada Bisnis di Jakarta, pekan lalu.

Dia menuturkan KPK tetap melakukan pemantauan bersama masyarakat dan media terkait dengan tindak lanjut sesudah pencabutan sejumlah IUP bermasalah. Dian memaparkan kewajiban itu tak hanya soal pencabutan izin bermasalah, namun juga kewajiban pembayaran macam royalti dan reklamasi.

Pada tahun lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam keterangan resminya telah mencabut 161 izin usaha pertambangan seluruh Indonesia terkait dengan tidak dimilikinya status CNC hasil koordinasi dan supervisi oleh KPK. Dalam pengumumannya, pencabutan izin itu berdasarkan tindak lanjut KPK tahap II per 10 September 2015.

Kementerian ESDM memaparkan pelbagai IUP yang telah di cabut yakni batu bara, emas, timah, nikel, pasir besi, mangan, tembaga dan pasir laut. IUP itu juga terletak di pelbagai wilayah macam Kalimantan Barat, Lampung Timur, Pasaman Barat, Kolaka, Bungo, Halmahera Timur, Toli-Toli, Sigi dan Tanggamus. Luas wilayah pertambangan mencakup 1.000 hektare hingga 1 juta hektare.

Terkait dengan pertemuan dengan 32 gubernur itu, Dian menegaskan koordinasi dan supervisi yang dilakukan KPK menyasar lebih spesifik macam minyak dan gas bumi, mineral dan batu bara, Energi Baru Terbarukan (EBT) serta listrik. “Ini terkait dengan Gerakan Nasional Mewujudkan Kedaulatan Energi, melalui koordinasi dan supervisi energi sektor migas, minerba, EBT dan listrik,” katanya.

SULIT MENGAWASI
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan mengungkapkan ketika perekonomian Indonesia masih ditopang industri ekstraktif dengan kuat, maka lingkungan hidup dan sumber daya alam terus dieksploitasi. Di sisi lain Inisiatif Satu Peta (One Map) -tujuannya terdapat data yang akurat soal wilayah baik yang dijadikan untuk usaha maupun untuk masyarakat- juga sampai sekarang belum tuntas.

“Makin sulit publik menilai bagaimana kontrol atas izin-izin usaha yang telah ada dan yang akan diterbitkan,” kata Abetnego dalam keterangan resminya.

Dia menuturkan upaya masyarakat sipil untuk mendapatkan informasi soal kehutanan justru mendapatkan tantangan dari kementerian yang terkait, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Diketahui, data semacam Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK), Rencana Kerja Usaha Tahunan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUTPHHK), Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI), dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) belum bisa diperoleh publik secara terbuka.

Selain itu, Abetenego juga menyoroti tentang penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di sejumlah daerah. Hal itu berkaitan dengan dampak pembangunan berisiko tinggi.

“Penurunan daya dukung ini sendiri merupakan salah satu dampak dari adanya pembangunan berisiko tinggi seperti pertambangan, alih fungsi kawasan hutan dan rawa gambut,” tuturnya.

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebelumnya mengatakan KPK dapat melakukan sinergi antara penyidik, baik Kejagung maupun Mabes Polri terkait dengan penegakan hukum IUP ilegal.

Tak hanya itu, paparnya, namun juga pada penyidik pada KLHK. Dia menuturkan KPK dapat bekerja sama dengan Kejagung maupun Polri terkait dengan dugaan korupsi yang ada di dalam sektor pertambangan tersebut. Menurutnya, setelah pencabutan IUP, harus ada tindak lanjut dari lembaga terkait dengan upaya pemulihan lingkungan maupun dari masalah kerugian negara.

Sumber: Bisnis Indonesia, 15 Februari 2016

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/3245-kpk-tagih-kewajiban-32-provinsi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar