Remisi Lemahkan Pemberantasan Korupsi

Detail Diterbitkan pada Rabu, Maret 25 2015 10:00 Dibaca: 1381

JAKARTA, KOMPAS — Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana koruptor yang tak berstatus justice collaborator (pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum) dinilai akan melemahkan pemberantasan korupsi. Praktik itu dikhawatirkan bisa mengurangi efek jera dan melukai rasa keadilan masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Pelaksana Tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi dan anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, dalam diskusi Polemik Pemberian Remisi untuk Koruptor, Selasa (24/3), di Jakarta.
Seperti diberitakan, remisi untuk koruptor kembali menjadi polemik seiring rencana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H Laoly untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk koruptor. PP tersebut mengatur hanya narapidana tindak pidana korupsi yang berstatus justice collaborator (JC) yang berhak mendapat remisi atau pembebasan bersyarat. Menkumham berkeinginan agar narapidana korupsi, meski tidak berstatus JC, juga berhak mendapatkan remisi seperti narapidana tindak pidana lainnya.
Menurut Johan Budi, rencana pemberian hak remisi yang sama kepada koruptor merupakan kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Sebab, korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga sewajarnya hak koruptor dibedakan dengan narapidana kejahatan lain. "Tujuan pemberantasan korupsi juga bukan hanya pengembalian uang negara, melainkan juga bagaimana menciptakan efek jera," kata Johan.
Emerson mengatakan, pemberian remisi kepada koruptor tak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Hasil riset ICW, sepanjang 2014 terdapat 629 kasus korupsi dengan tersangka 1.328 orang. Total kerugian keuangan negara selama 2014 mencapai Rp 5,29 triliun. Vonis penjara untuk pelaku kasus korupsi pada 2014 paling banyak antara 1 tahun dan 1,5 tahun.
Menurut Emerson, jika koruptor juga mendapatkan remisi, hukuman yang dijalani bisa hanya beberapa bulan. Hal tersebut tidak sebanding dengan kejahatan pelaku yang mencuri uang negara.
KPK panggil Alex Noerdin
Di Jakarta, KPK mengusut kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang, dan Gedung Serba Guna Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Kemarin, KPK menjadwalkan memeriksa Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin sebagai saksi dalam penyidikan kasus tersebut untuk tersangka Rizal Abdullah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemprov Sumsel.
Namun, Alex mangkir dari panggilan pemeriksaan KPK tersebut. Hingga Selasa malam, tidak ada pemberitahuan dari Alex atas ketidakhadirannya di KPK. "Hari ini yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan tanpa ada keterangan," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha.
Penyidik akan menjadwalkan kembali pemeriksaan Alex sebagai saksi. "Penyidik segera melayangkan panggilan kedua terhadap yang bersangkutan," kata Priharsa. Apabila Alex kembali mangkir, KPK akan memanggil paksa Alex pada panggilan ketiga.
Di Palembang, Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Sumsel M Zaki Aslam mengatakan, saat ini Gubernur Sumsel sedang dinas ke Jerman sebagai wakil Indonesia untuk menghadiri pertemuan tentang pengurangan emisi bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (faj/bil/ire)
Sumber: Kompas, 25 Maret 2015
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2579-remisi-lemahkan-pemberantasan-korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar