Detail Diterbitkan pada Rabu, Maret 23 2016 00:00 Dibaca: 1069
JAKARTA - Sebanyak 17 pasangan kepala daerah yang baru dilantik di Jawa Tengah "disekolahkan" di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (22/3). Mereka dibekali berbagai informasi soal tata kelola anggaran, pengadaan barang, hingga cara membangun transparansi pemerintahan.
Sebuah ikhtiar agar tak lagi ada kepala daerah terjerat kasus korupsi. Bisakah upaya ini berhasil menghapus, setidaknya menekan potensi korupsi yang dilakukan kepala daerah?
Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo cepat-cepat masuk ke Gedung KPK, Selasa pagi. Ia agak terlambat tiba di gedung anti rasuah itu. Sebagian besar bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota yang mengikuti pelatihan dan komitmen pencegahan terintegrasi itu sudah terlebih dahulu tiba, termasuk Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dan Ketua DPRD Rukma Setiabudi.
"Saya baru sekali ikut pelatihan (integritas) di KPK. Kalau di Solo, sudah dua kali kami undang KPK," tutur Rudy yang sebelum menjadi Wali Kota Solo menjadi wakil wali kota berpasangan dengan Wali Kota Solo selama 2005-2012, Joko Widodo.
Bagi Rudy, begitu Hadi Rudyatmo biasa dipanggil, pencegahan korupsi dengan membangun sistem dan kultur kejujuran dan melayani masyarakat itu merupakan langkah efektif menekan korupsi di daerah. Pelatihan pencegahan korupsi terintegrasi yang digelar KPK sangat penting untuk memberi pemahaman anti korupsi bagi kepala daerah, terutama kepala daerah yang baru kali pertama menjabat.
Sebagian kepala daerah yang hadir merupakan pejabat petahana, seperti Rudy, Kepala Daerah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dan Kota Magelang. Namun, banyak pula yang baru menjabat sebagai kepala daerah. Selama tiga hari mereka diberi pembekalan soal penyusunan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), cara membangun sistem pengadaan barang elektronik, mengelola anggaran pendapatan dan belanja daerah yang terbebas dari intervensi, dan soal gratifikasi pejabat negara.
Pelatihan pencegahan korupsi terintegrasi kali ini merupakan yang pertama dilakukan untuk para kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2015. KPK sedang mendorong agar kegiatan ini juga bisa diikuti seluruh kepala daerah hasil pilkada serentak sehingga diharapkan bisa membangun sistem pencegahan anti korupsi yang lebih baik.
Ini karena selain mengikuti pelatihan, para kepala daerah itu juga dituntut menandatangani tujuh poin komitmen. Di antaranya, komitmen membangun sistem integritas, mendirikan unit layanan pengadaan dan menggunakan katalog elektronik, penganggaran elektronik, pelayanan terpadu satu pintu, dan penguatan aparat pengawasan internal pemerintah.
"Untuk gubernur dan bupati/wali kota lainnya, KPK sedang pendekatan ke Kementerian Dalam Negeri agar juga bisa dilakukan hal yang sama," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Selain pendekatan formal itu, Agus juga berharap Gubernur Jateng Ganjar Pranowo bisa mempromosikan kegiatan itu secara getok tular ke provinsi tetangga. Dengan begitu, mereka juga bisa mengambil inisiatif untuk turut mengikuti induksi mengenai tata kelola pemerintahan yang baik dan berintegritas.
"Ini diawali kegalauan teman-teman, OTT (operasi tangkap tangan) membuat geger, kalau mau melakukan sesuatu, takut. Sewaktu saya (baru) jadi gubernur, saya bertanya ke KPK, kalau mau benar-benar mencegah korupsi, apa yang harus dilakukan. Pertama, membangun sistem, kedua memberi contoh," kata Ganjar.
Kasus di Jateng
Kekhawatiran soal korupsi di kalangan kepala daerah bukan merupakan persoalan baru lagi. Sejak 2004 hingga Januari 2016, KPK sudah menangani kasus korupsi 49 bupati dan wali kota serta 17 gubernur. Sementara itu, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat, dalam kurun waktu 2004-2015, ada 357 kepala daerah yang pernah atau sedang berkuasa tersangkut perkara dengan 80 persen di antaranya merupakan kasus korupsi.
Apalagi sudah beberapa kepala daerah di Jateng yang dijerat KPK karena korupsi, seperti mantan Wali Kota Semarang Soemarmo Hadi Saputro, mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro, mantan Bupati Brebes Indra Kusuma, dan mantan Wali Kota Tegal Ikmal Jaya.
Ganjar berharap, lewat induksi pengetahuan pencegahan korupsi itu, kepala daerah bisa mengubah perilaku dengan memberi contoh dan membangun sistem, sekaligus mengendalikannya. Dengan begitu, kepala daerah bisa terhindar dari jeratan hukum lantaran korupsi. "Virus ini yang ditebarkan ke kabupaten dan kota lainnya sehingga akan bekerja aman, nyaman, bisa tidur nyenyak. Pensiun tidak berpikiran bakal berurusan dengan aparat penegak hukum," kata Ganjar.
Selain itu, Ganjar juga menilai banyak hal praktis yang penting diketahui kepala daerah soal pemerintahan berintegritas. Ia menceritakan, saat awal menjabat gubernur, ia sempat bingung membedakan apa yang bisa dikategorikan gratifikasi dan apa yang tidak. Suatu ketika, ia menerima pemberian buah-buahan yang lalu dilaporkannya sebagai gratifikasi. Belakangan, ia mengetahui ada batasan yang jelas dari KPK soal definisi gratifikasi, yakni untuk makanan berharga di atas Rp 250.000, sedangkan barang lebih dari Rp 1 juta.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menilai, kegiatan induksi itu memang sebaiknya dilakukan tidak hanya bagi kepala daerah di Jateng, tetapi juga daerah lain di Indonesia. Menurut dia, informasi-informasi itu penting karena tidak semua kepala daerah terpilih mempunyai pengalaman dan kompetensi soal birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik.
"Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana membuat sistem bekerja optimal lewat monitoring, evaluasi, dan penegakan hukum yang tegas jika terjadi manipulasi atau penyimpangan," kata Titi.
Menanggapi hal itu, Ganjar mengaku membangun kanal-kanal yang bisa digunakan rakyat untuk melaporkan kinerja kepala daerah sehingga ia juga bisa ikut memonitor. Kalau begitu, mari kita tunggu implementasinya. (ANTONY LEE)
Kompas, 23 Maret 2016
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/3339-agar-tidak-tertangkap-tangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar