Total Tayangan Halaman

Senin, 09 Januari 2017

KPK Tak Perlu Ikuti Aturan

KPK Tak Perlu Ikuti Aturan

Detail Diterbitkan pada Rabu, Juli 16 2014 09:10 Dibaca: 1659

Twitter

img4b26fb2f9879fJAKARTA (Suara Karya): Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang baru saja disahkan mendapat reaksi beragam dari masyarakat.

UU tersebut dinilai mengganggu kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan institusi penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait dengan itu, Ketua Kaukus Anti Korupsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) I Wayan Sudirta mempertanyakan niat DPR dalam me-revisi UU MD3 yang dianggap melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan penegak hukum.

"Saya tidak habis pikir. DPR kok kerap membuat undang-undang yang justru bertentangan dengan keinginan rakyat. Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK misalnya, itu kan keinginan rakyat, tetapi mengapa justru dihambat oleh DPR melalui UU MD3. Ini aneh menurut saya," ujar Wayan kepada Suara Karya di Jakarta, Selasa (15/7).

Menurut dia, KPK sebagai lembaga yang paling dipercaya rakyat dalam pemberantasan korupsi sebaiknya tidak perlu mengikuti aturan yang tertuang dalam UU MD3 dalam menyeret anggota DPR yang terlibat kasus korupsi.

"Sebab, UU KPK yang selama ini berlaku sudah memadai dan itu cukup efektif dalam memberantas korupsi, khususnya yang melibatkan anggota DPR. Terbukti sudah banyak anggota DPR yang terbukti melakukan korupsi," ujarnya menambahkan. Dalam UU MD3, Pasal 245 ayat (1), menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Dalam ayat (2) disebutkan, persetujuan tertulis diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari. Namun ada pengecualian pada ayat (3), yaitu plhak kepolisian, kejaksaan dan KPK tidak perlu meminta izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.

Menurut Wayan, aturan itu bertentangan dengan asas equality before the law. Sebab, katanya, hal itu sama artinya membuat pengecualian dalam penegakan hukum. Padahal, ujar dia, penyelenggara negara tidak hanya anggota DPR.

Karena itu, Wayan mendukung upaya sejumlah pihak untuk mengajukan judicial review (uji materi) terhadap UU tersebut. Posisi DPD, kata dia, sejak awal mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Bila perlu, DPD mendatangi KPK untuk memberikan dukungan moril agar lembaga itu tetap menjalankan UU yang selama ini berlaku.

"Karerianya, saya pikir KPK tetap saja menjalankan kerja-kerjanya sesuai dengan tugas dan kewenangannya sebagaimana diperintah oleh UU KPK. Artinya, dalam memanggil dan memeriksa anggota DPR, KPK tidak perlu meminta izin Mahkamah Kehormatan Dewan," katanya.

Namun, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Tantowi Yahya, justru membantah bahwa pengesahan revisi UU MD3 itu bagiari dari pelemahan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. "Upaya pemberantasan korupsi, perlawanan korupsi, apa pun bentuknya, itu tetap jadi komitmen tertinggi dari kami-kami ini di DPR," ujar Tantowi.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu mengaku, UU MD3 bukan suatu halangan bagi KPK. KPK harus tetap diperkuat, akan tetapi lembaga-lembaga penegak hukum lain juga mesti diperkuat, seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung.

Pada 8 Juli 2014 lalu, DPR mengesahkan revisi UU MD3. Pengesahan itu diwarnai aksi walk out dari PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan PKB. Aksi itu dilakukan karena sejumlah poin dalam UU MD3 yang disahkan tidak signifikan dan justru berdampak negatif ke depan. (Sugandi)

Sumber : Suara Karya, 16 Juli 2014

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1974-kpk-tak-perlu-ikuti-aturan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar