
Detail Diterbitkan pada Rabu, November 26 2014 13:00 Dibaca: 1466
Korupsi di sektor minerba masih merajalela. Advokasi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan sekitar 400 usaha pertambangan bermasalah semisal tidak membayar pajak dan ironisnya sebagian besar dimiliki korporasi asing. Kejahatan masif di sektor mineral dan batu bara ( minerba) itu diungkapkan komisioner KPK Busyro Muqoddas dalam kesempatan seminar bertema Peta korupsi dan pengawalan pemerintah baru bersama mayarakat sipil, di Jakarta, kemarin.
“Korupsi tidak bisa dilepaskan dari kajian di sektor minerba, dan sumber daya alam. Banyak koorporasi yang memperoleh keuntungan besar, tetapi tidak mau membayar pajak,“ ujar Busyro. Akibat ulah tidak taat hukum itu, negara rugi sebesar Rp22 triliun setiap tahunnya.
Ia menegaskan dari advokasi yang dilakukan KPK ada sekitar 100 hingga 400 usaha tambang yang bermasalah yang sebagian besar dimiliki koorporasi asing. “Ini kemudian memicu Ditjen Pajak untuk mengetatkan aturan dan memasang target pemasukan yang diberlakukan pada korporasi¬korporasi di sektor minerba untuk memungut pajak sebesar Rp16,7 triliun pada 2014,“ ungkapnya.
Menurut Busyro, hal itu terjadi karena di sektor pengelolaan sumber daya alam terjadi 'pembocoran' karena korupsi yang tidak membayar pajak dan disfungsionalitas peraturan. Ditambahkan Busyro, penyim pangan pada pengelolaan sumber daya alam punya relasi dengan dunia politik. Banyak elite partai politik yang terlibat di dalamnya.
Partai politik menempatkan kadernya sebagai ATM, sumber pendanaan dengan cara menempatkan kepala daerah yang juga terpilihnya berdasarkan money politics.Kepala-kepala daerah inilah yang bermain dengan korporasi karena berwenang mengeluarkan surat izin operasional.
Sebelumnya, KPK telah merekomendasikan mencabut 121 izin per tambangan yang tumpang-tindih di kawasan hutan di Sumatra Selatan, Jambi, dan Bangka Belitung. “Ada 121 izin perusahaan yang diketahui terjadi tumpang-tindih dan itu seharusnya di dilakukan pencabutan berdasarkan rekomendasi dari pihak KPK,“ kata Manajer Hutan dan Perkebunan Walhi, Zenzi Suhadi, dalam satu kesempatan di Jakarta.
Dalam perkembangannya hanya delapan izin yang dicabut. Hal itu menunjukkan kepala daerah tidak serius menata izin pertambangan.Untuk Sumatra Selatan, Jambi, serta Bangka Belitung, perkembangan pencabutan izin bagi korporasi yang melanggar hukum sangat lamban.
Untuk itu, pemerintah perlu membenahi kepastian izin tambang yakni perusahaan yang sudah dicabut izinnya harus dilarang lagi beroperasi, tetapi mereka tetap melaksanakan kewajiban masing-masing. Rekening Kotor Pada kesempatan yang sama, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Muhammad Yusuf yang juga menjadi pembicara mengatakan untuk meminimalkan money politics bisa dilakukan melalui mendesain kembali UU Pemilu, misalnya mewajibkan setiap calon anggota legislatif mempunyai rekening khusus.
“Transaksi berdasarkan data perbankan. Dari sana terlihat transparansi dana kampanye dan menunjukan realitas belanja kampanye sesungguhnya,“ ujarnya.
Dalam analisis yang dilakukan PPATK, semua rekening partai politik `bagus'. Namun, berdasarkan catatan PPATK periode 2002-2014, jumlah transaksi minimal cash yang dilakukan oleh seorang kader bisa mencapai Rp200 triliun.
“Ini masif, ada uang begerak, tapi tidak terdaftar dan rentan ada tiga hal, yakni penyuapan, gratifikasi, dan pemerasan,“ tegasnya.Atas dasar alasan tersebut, PPATK mendorong agar semua transaksi di rekening khusus calon legislatif, jika bertransaksi tunai, tak boleh lebih dari Rp500 juta. “Ringkasnya Rp50 juta ke atas harus dilakukan dengan trasnfer sehingga bukti transfer tersebut bisa terekam,“ cetusnya. (P-2)
Sumber: Media Indonesia, 26 November 2014
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2358-korupsi-minerba-masif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar