Sistem Birokrasi Perlu Dibenahi

Detail Diterbitkan pada Senin, Oktober 21 2013 15:03 Dibaca: 2893
img4bcff06a05be9Indeks persepsi korupsi Indonesia masih jelek karena pelayanan publik di hampir semua sektor masih buruk.
SEJAK awal, mengakhiri budaya korupsi di semua bidang merupakan jargon yang diusung pemerintahan SBY-Boediono. Salah satu upaya yang dilakukan ialah membenahi sistem birokrasi yang karutmarut dan berpotensi melanggengkan budaya korupsi. Sesuai dengan arahan lembaga eksekutif, langkah-langkah pembenahan telah dilakukan kementerian-kementerian terkait selama beberapa tahun terakhir, termasuk di antaranya di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB).
Sebagai ujung tombak pembenahan birokrasi, Kementerian PAN dan RB sejak tahun lalu mencanangkan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (ZIWBK) di kementerian-kementerian dan lembaga negara. Hingga saat ini, sudah 11 kementerian yang turut mencanangkan ZI WBK di lingkungan masing-masing. Menurut Menteri PAN dan RB Azwar Abubakar, ZI WBK merupakan salah satu upaya bersama instansi dan kementerian untuk membebaskan Indonesia dari budaya korupsi.
Dengan mencanangkan zona integritas, kementerian dan lembaga dipacu untuk ‘membersihkan’ sistem birokrasi mereka dari potensi korupsi. “Setiap aparat dan pegawai negeri akan diukur dan dievaluasi kinerjanya. Tujuannya untuk monitoring. Pencanangan ini merupakan langkah konkret dari pemerintah untuk menjadikan Indonesia bebas korupsi,” ujar Azwar di Jakarta, beberapa waktu lalu. Dengan pencanangan ZI WBK, Azwar optimistis Indonesia bisa mengalahkan indeks persepsi korupsi (IPK) Malaysia dan Thailand.
Indonesia saat ini berada di peringkat 100 dengan nilai 3,2, sedangkan Malaysia berada di peringkat 60 (4,3) dan Thailand di posisi 80 (3,4). “Target kita hingga akhir tahun naik menjadi 3,5 dan 2014 saya patok menjadi 5,“ kata Azwar. Bukan hanya itu. Untuk memastikan pegawai negeri sipil (PNS) yang masuk ke kementerian berkualitas, Kementerian PAN dan RB terus menggalakkan pengawasan seleksi CPNS. Hal itu dilakukan untuk memberantas praktik percaloan yang marak terjadi.
“Reformasi dalam seleksi CPNS merupakan langkah pencegahan yang harus dilakukan secara sistematis. Adanya percaloan dan seleksi yang tidak benar kerap menjadi penyebab utama timbulnya praktik korupsi,“ jelas Azwar. Dikatakan Azwar, reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi tidak bisa instan. Negara besar seperti Australia dan Korea Selatan saja membutuhkan 20 tahun untuk memberlakukan zona integritas dan bebas korupsi. “Tapi upaya-upaya tersebut harus terus-menerus dilakukan untuk menutup peluang terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme,“ tegasnya.
Pencegahan korupsi
Langkah serupa juga dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini, KPK tengah melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi dengan memotret proses pelayanan publik di 33 provinsi. Hal itu sesuai dengan wewenang KPK yang termaktub dalam UndangUndang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, pelayanan publik merupakan salah satu indikator untuk menetapkan atau membuat ranking indeks persepsi korupsi.
Dalam hal ini, KPK mengobservasi proses pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, serta perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). “Mengapa ini dilakukan? Karena tiga hal tersebut rawan korupsi dan perlu dicegah sedini mungkin demi menyelamatkan uang negara. Indeks persepsi korupsi Indonesia masih jelek karena pelayanan publik di hampir semua sektor masih buruk,“ katanya. Transparansi anggaran juga menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mencegah potensi korupsi.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada 2010, informasi terkait kinerja dan anggaran kementerian dan lembaga negara kian mudah diakses publik. Meski demikian, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam, transparansi anggaran yang dijalankan pemerintah masih `semu'. Kebanyakan data anggaran yang dipublikasikan, baik di lembaga pusat maupun daerah, merupakan data yang telah dibahas dan disepakati.
“Transparansinya hanya di hilir. Padahal transparansi itu seharusnya sejak awal, mulai dari perencanaan anggaran. Mafia anggaran itu biasanya ada pada saat proses itu. Dengan begitu, publik bisa ikut berpartisipasi mengawasi,” ujar Arif. Lebih jauh, Arif menyayangkan kewenangan KIP yang terbatas. Dalam kasus ‘rekening gendut’ Polri pada 2011 lalu, misalnya. Polri menolak membuka informasi terkait kasus tersebut meskipun dalam sidangnya KIP memutuskan bahwa data tersebut harus dibuka ke publik.
Ke depan, Arif berharap reformasi birokrasi juga harus meliputi upaya membenahi transparansi informasi. Transparansi, kata Arif, bisa menjadi alat yang tepat dalam membangun sistem pemerintahan dan birokrasi yang antikorupsi. “Dengan transparan maka pelayanan publik akan semakin akuntabel. Potensi korupsi akan bisa diminimalisasi dan selanjutnya akan berimbas positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” tandasnya.
Sumber: Media Indonesia, 21 Oktober 2013
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1457-sistem-birokrasi-perlu-dibenahi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar