Total Tayangan Halaman

Senin, 09 Januari 2017

Pidana Mati Bersifat Khusus

Pidana Mati Bersifat Khusus

Detail Diterbitkan pada Senin, Juni 08 2015 16:25 Dibaca: 1786

Twitter

Pemerintah siap untuk memulai pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana bersama DPR. RUU itu menggunakan pendekatan baru dalam pemidanaan, antara lain dengan mengatur bahwa pidana mati bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wicipto Setiadi, Sabtu (6/6), menuturkan, kini pemerintah tinggal menunggu jadwal pembahasan RUU KUHP yang ditentukan oleh DPR.

"Surat presiden mengenai pembahasan RUU KUHP sudah turun Jumat (5/6). Bersama surat itu, pemerintah menyerahkan draf untuk tiga RUU, yaitu Rancangan KUHP, RUU Merek, dan RUU Paten," ujar Wicipto.

Komisi III DPR bersama pemerintah pada 2015 ini memprioritaskan pembahasan rancangan KUHP, RUU Merek, RUU Paten, dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, dari empat RUU itu pemerintah baru mengirimkan tiga RUU. RUU KKR masih dibahas pemerintah.

Pembinaan

Di dalam naskah akademis dan draf revisi KUHP, pemerintah banyak mengadopsi konsep restorative justice. Tidak semua tindak pidana diancam dengan hukuman penjara badan, tetapi ada pula hukuman pengawasan dan hukuman kerja sosial.

"Prinsip pemidanaan bukan untuk pembalasan, melainkan pembinaan. Orang yang melakukan tindak pidana tapi kelakuannya berubah ketika di dalam (penjara) perlu dihargai," kata Wicipto.

Di dalam pasal naskah akedemis RUU KUHP disebutkan, pidana pokok terdiri dari pidana penjara (paling lama 15 tahun, kecuali ada pemberatan dapat dijatuhkan 20 tahun penjara berturut dan paling singkat satu hari), pidana tutupan, pidana pengawasan (untuk tindak pidana dengan pidana penjara tujuh tahun), pidana denda (paling sedikit Rp 100.000, sedangkan pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori dari rentang kategori I Rp 10 juta sampai kategori VI Rp 15 miliar), serta pidana kerja sosial.

Khusus untuk pidana seumur hidup, apabila yang bersangkutan sudah menjalani masa pidana setidaknya 17 tahun penjara dan berkelakuan baik, RUU tersebut mengatur terpidana dapat diberikan pembebasan bersyarat.

Sementara itu, pidana kerja sosial bisa dijatuhkan untuk menggantikan pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda yang tidak lebih dari denda kategori I. Namun, dalam pelaksanaannya pidana kerja sosial itu tidak boleh dikomersialkan dan dijatuhkan paling singkat tujuh jam dan paling lama 240 jam untuk terdakwa yang berusia di atas 18 tahun dan 120 jam untuk terdakwa yang berusia kurang dari 18 tahun.

Percobaan

Rancangan KUHP masih mempertahankan pidana mati sebagai pidana pokok, tetapi bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi ditolak presiden. Namun, pelaksanaannya tetap dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun. Apabila selama masa percobaan terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM.

Selain itu, jika grasi terpidana mati telah ditolak tetapi eksekusi belum juga dilakukan setelah 10 tahun, pidana itu dapat diubah menjadi pidana seumur hidup melalui keputusan presiden.

Anggota Komisi III dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menyatakan, ketentuan mengenai hukuman mati dalam Rancangan KUHP merupakan jalan tengah. Hukuman mati tetap dipertahankan tetapi eksekusinya tidak lagi mudah dilakukan. Faktor penghapusnya pun tak lagi satu, yaitu grasi dari presiden.

Kajian

Komisi Pemberantasan Korupsi siap memberikan masukan terhadap revisi RUU KUHP dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana jika diminta pemerintah dan DPR.

"Waktu Pak Amir Syamsuddin menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011-2014), kami memang diminta memberikan masukan, tetapi belum tuntas waktu itu," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi SP.

Menurut Johan, KPK telah membuat kajian terkait delik korupsi di RUU KUHP. Hasil kajian itu dibukukan dalam bentuk anotasi delik korupsi dan delik lain yang berkaitan dengan delik korupsi di RUU KUHP.

Menurut Johan, langkah itu dilakukan karena KPK berkepentingan agar tindak pidana korupsi jangan dianggap sebagai tindak pidana umum. "Jangan sampai korupsi disamakan dengan tindak pidana umum. Korupsi ini tetap kejahatan luar biasa yang salah satu unsurnya adalah merugikan keuangan dan perekonomian negara," katanya.

Secara terpisah, Plt Wakil Ketua KPK lainnya Indriyanto Seno Adji mengatakan, kekhususan harus tetap berlaku bagi KPK seandainya delik-delik korupsi pada UU Tindak Pidana Korupsi diintegrasikan ke KUHP. "Penyelidik dan penyidik KPK tetap berwenang melakukan penyelidikan korupsi atas delik-delik korupsi di KUHP. Delik-delik korupsi yang akan diintegrasikan ke KUHP harus dianggap sebagai delik khusus," katanya.

Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Agus Santoso mengatakan, tindak pidana pencucian uang juga perlu diatur tersendiri seperti sekarang di UU No 8/2010. Ini karena TPPU tergolong tindak pidana khusus yang terus berkembang.

Sumber: Kompas, 8 Juni 2015


https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2717-pidana-mati-bersifat-khusus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar