Total Tayangan Halaman

Senin, 09 Januari 2017

KPK: Tak Ciptakan Efek Jera

KPK: Tak Ciptakan Efek Jera

Detail Diterbitkan pada Jumat, September 19 2014 10:40 Dibaca: 1727

Twitter

ilustrasi : gedung kpkJAKARTA (Suara Karya): Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kecewa dengan rencana pemberian pembebasan bersyarat (PB) kepada terpidana perkara percobaan penyuapan terhadap pimpinan KPK, Anggodo Widjojo.

Namun, lembaga antikorupsi tersebut tidak bisa berbuat apa-apa meskipun sudah mengirimkan surat rekomendasi pembatalan pemberian pembebasan bersyarat tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).

Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara KPK Johan Budi SP di kantornya, Kamis (18/9). "Rekomendasi KPK itu tidak ada artinya buat Kementerian Hukum dan HAM," kata Johan.

Johan menjelaskan, KPK hanya dimintai rekomendasi, namun kewenangan untuk memberikan pembebasan bersyarat tetaplah berada di tangan kementerian yang dipimpin Amir Syamsuddin yang juga kader Partai Demokrat.
Alasan KPK menolak memberikan rekomendasi kepada Anggodo Widjojo dan Syuhada Tasman, karena mereka bukan pelaku tindak pidana korupsi yang diajak bekerja sama dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, pemberian pembebasan bersyarat tersebut telah mencederai rasa keadilan masyarakat serta tidak sesuai dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Kalau diberi pembebasan  bersyarat  akan jadi tidak tercapai tujuan  itu," kata Johan.

Sebelumnya, Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, mengajukan rekomendasi pembebasan bersyarat atas nama Anggodo Widjojo kepada KPK. Alasannya, Anggodo dinilai telah mernenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat karena sudah menjalani dua pertiga masa hukumannya.

Menurut Johan, Anggodo tidak bisa menyandarkan upayanya pada Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakat. Sebab, pemberian hukuman kepada Anggodo sudah berkekuatan hukum tetap sebelum PP tersebut berlaku.

"Intinya, kedua orang itu bukan justice collaborator dan sebagai pelaku utama dalam sangkaan itu, sehingga KPK tidak memberikan pembebasan bersyarat," kata Johan.

Selain pembebasan bersyarat, Johan mengatakan bahwa KPK ju tidak memberikan rekomendasi untuk pemberian remisi 29 bulan terhadap Anggodo. Karena, menurut Johan, itu tidak sejalan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Ini mencederai rasa keadilan masyarakat dan tak sejalan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana upaya pemberantasan tindak pidana korupsi itu output-nya adalah munculnya efek jera. Ini tidak menggarnbarkan efek jera," kata Johan.

Pada pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tipikor Jakarta, Anggodo dijatuhi vonis pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 150 juta yang bisa diganti dengan kurungan selama tiga bulan. Pada November 2010, Pengadilan Tinggi Jakarta memutus menolak banding Anggodo dan memperberat hukumannya menjadi penjara selama lima tahun. Pada tingkat kasasi Majelis Kasasi yang diketuai Hakim Agung Artidjo Alkostar juga menolak kasasi Anggodo. Dalam amar putusannya, majelis kasasi juga memutus memperberat hukuman Anggodo menjadi 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider lima bulan kurungan.

Sementara itu, pimpinan DPR mengharapkan KPK tetap menjadi lembaga yang kuat dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Karena itu, menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, anggota DPR, baik yang akan berakhir maupun yang baru mulai masa jabatannya beberapa bulan mendatang, tidak melakukan pelemahan terhadap lembaga pemberantas korupsi itu.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut menegaskan bahwa lembaganya mendukung keinginan penguatan KPK sebagaimana disampaikan banyak kalangan masyarakat.

"Karenanya, upaya pelemahan KPK tidak dilakukan parlemen sekarang maupun yang akan datang," kata Pramono usai menerima sejumlah aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), change.org, dan sebagainya, di gedung DPR RI.

Dalam kesempatan itu, aktivis antikorupsi yang diwakili Emerson Yuntho dari ICW dan Arif Aziz dari change, org menyerahkan petisi berisi 21.000 tanda tangan yang meminta untuk menarik sementara pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP, karena ada isu-isu pelemahan KPK dan perjuangan antikorupsi.

Emerson menilai, kedua RUU itu terindikasi mengurangi kewenangan KPK dalam konteks penyelidikan dan dipangkasnya beberapa kewenangan KPK melalui kedua RUU tersebut.

"Juga ada kesan, kedua RUU itu tidak menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi kejahatan biasa-biasa saja," ujar Emerson.

Pramono menegaskan, dengan kewenangan KPK yang kuat, maka gerakan perlawanan terhadap korupsi bisa ditangani lebih baik. Apalagi, kata dia, bila UU asset recovery dibentuk, maka akan makin memperkuat gerakan antikorupsi di Indonesia ke depannya.

Menurut Pramono, upaya pelemahan KPK bisa dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya tercermin adanya keinginan untuk mengubah UU KPK yang selama ini berlaku.

"Tetapi yakinlah, upaya ini pasti akan dilawan oleh masyarakat," ujarnya.

Terhadap panitia khusus (Pansus) yang sedang menangani pembahasan kedua RUU ini, Pramono mengatakan, karena waktunya tinggal beberapa hari, maka kemungkinan tidak bisa diselesaikan.

"Menjelang akhir bulan September ini, kemungkian menjadi agenda pembahasan. Tetapi, saya yakin nggak ada," katanya. (Sugandi/Nefan K)

Sumber: Suara Karya, 19 September 2014

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2183-kpk-tak-ciptakan-efek-jera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar