Korupsi Membuat Indonesia Terempas
Detail Diterbitkan pada Rabu, September 16 2015 09:00 Dibaca: 5388
Mengenai dampak korupsi terhadap perekonomian, ada dua teori besar yang kerap diperdebatkan: sebagai pelumas roda pembangunan (grease the wheels hypothesis/GWH) atau sebagai pasir/penghambat roda pembangunan (sand the wheels hypothesis/SWH). Dunia cenderung menyetujui teori SWH karena negara-negara maju umumnya memiliki tingkat korupsi yang rendah.
Lantas, mengapa di Indonesia, terutama pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, pemberantasan korupsi dinilai telah menghambat pembangunan? Apakah berarti Indonesia merupakan salah satu negara di mana grease the wheels hypothesis berlaku?
Jika melihat data pertumbuhan ekonomi sejak Orde Baru hingga Reformasi, akan ditemukan sejumlah hal menarik. Pada era Orde Baru yang dipimpin Soeharto, pemerintahan dinilai cenderung diktator, sentralistik, dan koruptif. Tidak ada transparansi anggaran, tidak terdengar pula upaya pemberantasan korupsi secara serius. Tak ada lembaga independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.
Namun, faktanya, pada era itu Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah, yakni 9,9 persen pada 1981. Pertumbuhan relatif tinggi juga terjadi tahun 1990-an. Pada 1994, misalnya, pertumbuhan mencapai 7,3 persen, lalu melonjak menjadi 8,4 persen (1995), dan kemudian 7,8 persen (1996). Indonesia pun digadang-gadang sebagai salah satu macan Asia.
Krisis moneter pun membuka borok korupsi dan mengempaskan gelembung perekonomian. Setelah krisis, Indonesia memasuki era Reformasi. Semangatnya adalah membangun de-mokrasi dan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
Di tengah dahsyatnya perang melawan korupsi pada era Reformasi, bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia? Ternyata Indonesia tidak bisa lagi menyamai pencapaian Orde Baru. Selama era Reformasi, pertumbuhan ekonomi cuma berkisar 4-6 persen, dengan pertumbuhan terbaik pada 2011 sebesar 6,49 persen.
Kendati demikian, hingga akhir kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014, pemberantasan korupsi tidak pernah dituding sebagai biang keladi atau bahkan tidak dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah.
Situasi berubah pada era kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. KPK yang sedang ganas-ganasnya menghancurkan . korupsi justru terkesan dilemahkan. Aksi-aksi KPK memang tidak memberikan manfaat secara langsung terhadap perekonomian. Namun, pemberantasan korupsi oleh KPK menjadi fondasi kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke depan sebab yang diberantas oleh KPK adalah esensi korupsi, yakni korupsi politik.
Arnold Heidenheimer dan Michael Johnston (ed) dalam buku Political Corruption: Concept & Contexts menggambarkan korupsi politik sebagai korupsi yang dilakukan aktor-aktor politik di eksekutif ataupun, legislatif dengan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok politik.
Di Indonesia, korupsi politik berkaitan dengan patronage democracy, yakni hubungan antara orang yang memegang jabatan politik dengan orang yang memiliki kekayaan dan kepentingan bisnis. Pelaku bisnis memberikan dana kepada pejabat publik agar menggunakan wewenang dan pengaruh untuk menguntungkan pelaku bisnis. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, korupsi politik jadi sumber dari segala korupsi.
Dampak pemberantasan korupsi politik tentu berbeda dengan korupsi birokrasi yang sebenarnya merupakan turunan dari korupsi politik. Pada korupsi birokrasi, manfaatnya terhadap perekonomian mungkin bisa dirasakan langsung. Namun, tidak bertahan lama jika korupsi politiknya atau orang-orang kuat di baliknya tidak ikut diberangus.
Pada kasus dwelling time (masa tunggu bongkar muat) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, misalnya, manfaatnya tentu bisa dirasakan langsung oleh eksportir/importir karena tak lagi harus membayar pungli.
Penyidikan kasus dwelling time tersebut sangat diapresiasi Presiden Jokowi sebab manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat dan perekonomian. Bahkan, tim satuan tugas (satgas) yang menangani kasus dwelling time diminta pula untuk memberantas korupsi di sektor-sektor ekonomi lainnya.
Kondisi itu memperlihatkan pemerintah lebih menyukai pemberantasan korupsi yang diarahkan pada titik-titik yang menghambat perekonomian sehingga dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Saat peringatan HUT Adhyaksa di Kejaksaan Agung, Juli lalu, Presiden Jokowi mengatakan, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum sejatinya harus mendukung pembangunan.
Sikap pemerintah yang terkesan lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi ketimbang pemberantasan korupsi yang tegas dan tanpa kompromi tentu bisa dipahami. Maklurn, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2015 hanya 4,67 persen secara tahunan.
Korupsi, dalam satu momentum, mungkin saja bisa menjadi pelumas roda pembangunan. Namun, dipastikan tidak bertahan lama. Negara yang membiarkan korupsi merajalela selamanya tidak akan makmur.
Berbagai penelitian menunjukkan, dalam jangka menengah panjang, korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian. Hasil kajian organisasi nonpemerintah (NGO) global menunjukkan, semakin parah tingkat korupsi di suatu negara, semakin tinggi ketimpangan pendapatan di negara itu.
Hal itu sejalan dengan pandangan Vito Tanzi, ekonom dari Universitas Harvard, yang menyatakan bahwa korupsi menurunkan kemampuan pemerintah mencegah dan mengendalikan kegagalan pasar.
Penelitian D Treisman bertajuk "The Causes of Corruption: A Cross National Study" dalam Journal of Public Economics (2000) menemukan bukti ada hubungan terbalik antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin rendah kinerja ekonomi negara itu.
Terbukti, negara maju, seperti Denmark, Selandia Baru, Singapura, dan Swiss, dikenal zero corruption. Sebaliknya, negara miskin, seperti Sudan, Afganistan, Korea Utara, dan Somalia, tingkat korupsinya tertinggi.
Indonesia memang pernah mencatat pertumbuhan tinggi saat korupsi merajalela pada era Orde Baru. Akan tetapi, ingat, korupsi pulalah yang membuat negeri ini terempas begitu dalam saat krisis 1998.
Sumber: Kompas, 16 September 2015
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2951-korupsi-membuat-indonesia-terempas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar