Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Januari 2017

Korupsi Bunuh Demokrasi

Korupsi Bunuh Demokrasi

Detail Diterbitkan pada Jumat, Mei 04 2012 10:49 Dibaca: 2219

Twitter

img4c984c53445a8Budaya kekuasaan dan penguasa yang rajin korupsi akan membuat defisit hingga membunuh demokrasi. "Jika hal ini tidak ada kesadaran mendalam dan langkah konkrit untuk memperbaiki, maka masa depan politik Indonesia suram," kata sosiolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Arie Sujito, di Yogyakarta, Kamis (3/5).

Menurut dia, jika memperhatikan kecenderungan pola politik yang berlangsung dalam lima tahun terakhir ini, jika tidak ada gebrakan atau lompatan baru maka Pemilu 2014 dan kekuasaan yang dihasilkan eksekutif dan parlemen tidak akan membawa perubahan berarti. "Hal ini terindikasi dari sistem pemilu, arah kerja parpol, serta perilaku politisi yang menghiasi panggung kekuasaan sekarang ini," katanya.

Ia mengatakan, pragmatisme politik di lingkar kekuasaan makin dianggap "hal biasa" dan bahkan makin menular ke masyarakat. "Biaya politik makin mahal, etika makin menyusut, dan kualitas kekuasaan juga murahan. Masalah yang dialami selalu berujung pada sulitnya politisi keluar dari sistem yang korup," katanya.

Arie mengatakan, betapapun sumpah serapah dan keresahan muncul, tetapi rata-rata mereka dipaksa memaklumi, bahkan menjadi bagian proses dan sistem itu. "Berapa jumlah uang APBN dan APBD untuk kegiatan pergantian kekuasaan, sayangnya tidak berimbang dengan capaian dan tidak sesuai harapan," katanya seperti dikutip Antara.

Kekuasaan di legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang korup membuat demokrasi makin mengalami defisit. "Oleh karena itulah, mereka yang masih idealis dan memiliki integritas, baik dalam pilihan politik di dalam dan lingkar luar segera menyusun peta jalan baru bagi penyelamatan negeri ini dengan membenahi demokratisasi menuju kesejahteraan," ujarnya.

Ia mengatakan, dengan demikian, momentum 2014 membutuhkan kerja ekstra keras dengan membuat grand strategi yang lebih tepat. "Waktu banyak yang terbuang hanya untuk perayaan pencitraan hampir semua politisi, dan jebakan korupsi selalu menhdang mereka. Ini masalah bangsa yang serius dan segera harus ada exit strategy, jangan sampai dead lock," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto, di Kota Semarang, Jawa Tengah, baru-baru ini, menggambarkan betapa korupsi terjadi sangat masif di Indonesia.

Menurut dia, para penjahat begitu kuat dan solid, memiliki jaringan sangat luas dengan dana tak terbatas. Maka, mau tak mau penegak hukum harus berkejaran dengan kenyataan itu.

"Pemberantasan korupsi itu seperti lari maraton, bukan sprint. Karena itu, kita harus memiliki daya tahan yang kuat," ujar Bambang.

Bambang mengilustrasikan tentang perlunya cara berpikir di luar kebiasaan, atau think out of the box dalam memberantas korupsi. Dengan begitu, dalam skema korupsi, orang dapat melihat bahwa ternyata ada bentuk segi 26 dalam sebuah segitiga besar berisi puluhan segitiga kecil serta bagaimana ternyata kambing dapat memanjat pohon, dan sebagainya.

"Hal-hal tersebut kelihatannya mustahil. Padahal, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Jangan katakan impossible, tapi i'm possible," ujarnya.

Bambang mengakui, banyak hambatan yang dihadapi penegak hukum di Indonesia, mulai dari keterbatasan personel, keterbatasan dana, keterbatasan sarana, hingga tekanan politik. Meskipun demikian, semangat untuk memberantas kejahatan, terutama korupsi, harus dijaga.

Ia menyebutkan, 78 persen pendapatan negara dari pajak berjumlah kira-kira Rp 800 triliun dari total APBN 2012 sebesar Rp 1.311 triliun.

"Bagaimana kalau 10 persen saja dari dana pajak itu jebol? Bayangkan jika satu orang seperti Gayus Tambunan bisa mendapat kekayaan Rp 75 miliar-Rp 80 miliar dari pajak yang seharusnya masuk dalam kas negara. Jika ada 10 orang saja, berapa uang negara yang hilang," katanya.

Ketika menemukan sejumlah fakta, Bambang menekankan agar penegak hukum tak segera mengambil keputusan sebelum melihatnya secara utuh. Jangan menjadikan diri sendiri terbatas, menjadi miopic egocentric, dalam mengungkap suatu kasus.

Sumber : Suara Karya, 4 Mei 2012

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/211-korupsi-bunuh-demokrasi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar