
Detail Diterbitkan pada Senin, Januari 20 2014 15:15 Dibaca: 1958
img4ebceee35e041
April mendatang, genderang pesta demokrasi mulai ditabuh. Rakyat akan memilih wakilnya di DPR dalam pemilihan umum legislatif 2014. Namun bertumpuknya kasus korupsi yang melibatkan politikus membuat pemilih pesimistis pemilu membawa perubahan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas mengakuipuncak korupsi sudah menjalar ke jantung proses demokrasi, seperti pemilihan kepala daerah. "Korupsi harus dibaca sebagai produk politik yang berasal dari proses politik," kata Busyro kepada Tempo di kantornya, pekan lalu.
Berikut petikan wawancara Busyro dengan wartawan Bunga Manggiasih dan Muhamad Rizki:
Apa efek persidangan tersangka kasus korupsi menjelang Pemilu 2014?
Secara konkret bisa dilihat dari 12 pemilihan gubernur terakhir. Angka golput menunjukkan rata-rata 44 persen, sering kali lebih tinggi ketimbang persentase suara pasangan pemenangnya. Artinya, masyarakat memberi sinyal kepada politikus. Pemilih membaca proses politik yang mengandalkan politik uang dan bentuk-bentuk nepotisme lain.
Tapi warga negara yang golput bukan cuma karena korupsi saja?
Mana rakyat yang tidak tahu bahwa korupsi terjadi? Lihatlah tanda-tanda langit yang turun ke bumi. Puncak korupsi di Indonesia itu masuk ke wilayah yang secara langsung berkaitan dengan proses demokrasi. Contohnya, korupsi menyangkut pemilihan kepala daerah. Salah satu pasangan calon mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, lalu terjadi kasus Akil Mochtar.
Bagaimana hubungan antara pemilihan gubernur dan pemilu?
Ketika pemilih membaca politik uang dalam pilkada, dampaknya bagi kepala daerah yang menang tidak mendapat legitimasi. Ada beban psikologis-politis yang membuat komunikasi politik tidak efektif. Kalau ditarik ke pusat, politikus yang melibatkan diri dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, suka tidak suka, harus membaca fenomena yang ada.
Apa yang terjadi dengan maraknya kasus korupsi pemilihan kepala daerah?
Kajian kami menunjukkan ada korelasi antara konflik horizontal di satu daerah dan distribusi ekonomi yang tak adil dan tidak berimbang. Kebijakan itu di-abuse. Lalu elite politik dan birokrasi di satu daerah memperoleh akses ekonomi, sementara sebagian besar masyarakat tidak bisa mengaksesnya. Masyarakat tak bisa dipandang sebelah mata dalam melakukan pencandraan fenomena politik ini.
Pemicu konflik horizontal dan ketimpangan distribusi ekonomi seperti apa?
Tata kelola pemerintah daerah sama sekali tidak adil. Dari pusat sampai bawah, aparat penegak hukum bermasalah yang mengalami demoralisasi sehingga mengidap mentalitas kumuh, sehingga proses bisnisnya juga kumuh. Misalnya kasus korupsi simulator dengan terdakwa Djoko Susilo itu karena kekumuhan Polri. Kasus SKK Migas karena bisnisnya kumuh.
KPK sudah mengantisipasi politik kumuh ini?
Korupsi harus dibaca sebagai produk politik yang berasal dari proses politik, termasuk pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden. Kasus Akil menunjukkan bahwa hal itu proses busuk. Kalau orang Jawa bilang, jenes. Kayak septic tank, bikin gatal, bau, busuk. Pak Pandu (Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja) sering terjun ke daerah. KPK mencermati pemilihan kepala daerah yang mendekati proses clean and clear, yang tidak mengandalkan politik uang.
Bisakah KPK membongkar kasus politik lebih besar, terutama terkait dengan pemilu?
Sekarang mulai tampak setelah ada kasus pemilihan bupati di Lebak, Banten, dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Nama-nama yang sensitif dari partai tertentu juga diperiksa. Artinya, dalam pemilu, partai yang memperjuangkan kemenangan di pilkada banyak menggunakan praktek kumuh tersebut. Kalau daerah bisa dikuasai oleh partai tertentu, logika ekonomi politik mereka bisa menghitung. Ada gubernur inkumben di sana sebagai pemegang anggaran pusat dan daerah. Dana bantuan sosial bisa disalahgunakan.
Tahun ini apakah bakal makin banyak politikus yang dijerat KPK?
Kasus korupsi dengan tersangka Ketua MK Akil Mochtar adalah warning yang sangat mudah ditelan politikus. Kalau mau menyelamatkan diri, keluarga, dan partainya, belajar dari kasus di depan mata itu. Mereka pasti pengen selamat, tapi jangan menipu. Biasa hidup borjuis, tiba-tiba teriak berantas korupsi, itu lari dari kenyataan. Sama saja dengan Demokrat yang beriklan, "Katakan tidak pada korupsi," tapi kena kasus.
Bagaimana seharusnya pendidikan politik untuk masyarakat?
Masyarakat sudah sekarat secara ekonomi. Masa masih mau dibohongi terus dengan politik uang? Di Yogyakarta, ada pengajian yang didatangi calon legislator. Mereka memberi duit Rp 10-50 ribu. Enggak cuma di Yogyakarta, tapi di mana-mana. Sok manusiawi, umrah dibagi-bagi. Katanya bukan money politics, hanya sekadar sedekah dan mahar. Agama dibawa-bawa.
Apakah ada peran pemerintahan sekarang dalam kasus korupsi yang marak?
Korupsi bertumpuk di era kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono salah satunya akibat kebijakan kapling politik di kementerian untuk partai tertentu. "You saya kasih menteri ini, menteri itu." Menteri karena orang partai akan ditekan elite partai agar kewenangan yang melekat pada menteri didesain agar menguntungkan partainya.
Idealnya kriteria calon presiden dan wakilnya dalam Pemilu 2014?
Secara pribadi saya berpendapat, pemenang pemilihan presiden perlu diletakkan dalam pakta integritas. Satu saja isinya: berjanji pada rakyat akan membentuk kabinet dengan kriteria para menteri sepenuhnya bukan dari unsur partai pemenang. Ini bukan anti-partai, justru menyelamatkan partai. Koruptor itu borjuis dan greedy (serakah). Rp 200 juta sudah dibawa pulang dari gaji dan pendapatan, kok, masih nyolong. Itu namanya sakit jiwa.
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1641-indonesia-penuh-politik-kumuh
Sumber: Koran Tempo, 20 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar