Total Tayangan Halaman

Senin, 09 Januari 2017

Demi Generasi yang Tak Kenal Korupsi

Demi Generasi yang Tak Kenal Korupsi

Detail Diterbitkan pada Rabu, November 04 2015 10:04 Dibaca: 1691

Twitter

Lewat literasi, kesadaran dan budaya anti korupsi tercipta secara beradab dan tak membosankan. Literasi pun menumbuhkan daya pikir kritis. Ini diyakini Bara Pattiraja, seorang guru dari Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, dapat membantu anak didiknya tak lagi mengenal korupsi pada masa depan.

Bara, yang juga guru SMA Suryamandala, Flores Timur, adalah salah satu dari 25 guru SMP dan SMA dari seluruh Indonesia yang mengikuti teacher supercamp yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi di Lembang, Jawa Barat, Senin (2/11) hingga Jumat mendatang. KPK mengajak guru-guru itu menulis karya sastra anti korupsi.

Teacher supercamp merupakan program KPK di bidang kampanye pencegahan korupsi yang jarang terekspos media. Kegiatan ini memang tak populer, jauh dari hiruk-pikuk kerja penindakan KPK melalui penangkapan dan penersangkaan koruptor. Namun, kerja di bidang pencegahan itu baru akan dirasakan dampaknya beberapa tahun mendatang dan dinikmati oleh generasi masa depan.

Heri Hendrayana Harris, penulis kawakan yang dikenal dengan nama pena Gol A Gong sekaligus Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat, akan menjadi mentor bagi ke-25 guru itu. Gol A Gong meyakini, literasi dapat menjadi alat kampanye yang efektif dan produktif dalam mencegah korupsi. Selain itu, biayanya juga murah.

Seperti halnya Bara, bagi Gol A Gong, literasi adalah daya hidup bagi mereka yang mau belajar. Gol A Gong mengutip perintah pertama bagi umat Islam dalam Al Quran. "Iqra. Bacalah. Tuhan memerintahkan kita membaca. Bukan berhitung. Intinya, kalau kita membaca dengan baik, kita bakal jadi pemimpin yang baik. Nah, ini yang sekarang jarang terjadi di Indonesia, tidak membaca, tetapi jadi pemimpin. Semua dengan cara instan, dengan money politics," ujarnya.

Selama lima hari di Lembang, guru-guru peserta supercamp akan mendapatkan pembekalan dan pelatihan dari para penulis, seniman, dan praktisi pendidikan, seperti Gol A Gong, Ahmad Fuadi, Pidi Baiq, Iman Sholeh, dan Beng Rahadian. Mereka akan dipaksa mengeluarkan daya kritisnya untuk menghasilkan karya sastra anti korupsi.

Sebenarnya ini pekerjaan berat KPK di tengah serbuan sinetron dan hiburan yang memunculkan idola serba instan di televisi. Di tengah serba ketidakpedulian dan kegagapan komunikasi, generasi muda lebih sering memainkan gawai dibanding dengan membaca buku. Namun, kampanye anti korupsi memang tetap membutuhkan teladan.

Guru dipilih karena mereka adalah orangtua bagi anak didik di sekolah. "Anak-anak sekarang lebih sering memegang gawai sehingga kemampuan komunikasinya berkurang. Kami tak mungkin hanya mengandalkan sekolah. Kita enggak bisa berkata anak-anak harus gemar membaca jika sebagai orangtua kita lebih sering menonton tv, atau memainkan smartphone," ujar Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja.

Anak didik butuh keteladanan. Gurulah yang seharusnya memberi teladan terhadap anak-anak itu di sekolah. "Mulai dari guru karena mereka yang jadi teladan para murid. Mudah-mudahan output (teacher supercamp)buku yang akan mereka tulis diterbitkan sehingga mereka jadi agen, jadi artikulator bagi teman-temannya," kata Gol A Gong.

Keteladanan ini pula yang dirasa sulit bagi guru-guru saat ini. Menurut Bara, kebanyakan guru sekarang tak lebih dari sekadar pengajar. Mereka tak mampu menjadi pendidik dengan memberi teladan yang baik bagi anak didiknya.

"Di zaman dulu, pendidikan itu tidak mengacu pada produk atau catatan apa pun, tapi pada perilaku. Ilmu itu harus menjadi laku sehingga itu bisa menjadi contoh. Generasi sekarang kehilangan teladan itu. Guru hanya melakukan peran sebagai pengajar, tapi tidak berperan sebagai pendidik," kata Bara.

Rentan korupsi
Di sinilah, menurut Bara, pentingnya literasi bagi guru di tengah sistem pendidikan yang hanya menekankan sisi kognitif siswa dan abai terhadap daya kritis pemikiran mereka.

"Kegiatan yang diselenggarakan KPK ini sudah merambah ke wilayah-wilayah kebudayaan. Dalam hal ini, kesusastraan, yang tipikalisasinya bagaimana menajamkan rasa, melalui karya sastra yang menyentuh dan mendidik, agar siswa bisa menangkap nilai adab untuk membentengi dirinya dari perilaku korupsi yang eksploitatif," ujarnya.

Menggugah kesadaran guru akan pentingnya anti korupsi menjadi semakin penting mengingat profesi ini merupakan salah satu profesi yang rentan terhadap korupsi. Menurut Gol A Gong, tak jarang guru justru tak menyadari kalau mereka tengah melakukan tindakan yang dapat dikategorikan korupsi.

"Misalnya, guru-guru disuap oleh orangtua murid. Atau soal sertifikasi guru, misalnya, tak pernah ikut seminar, tapi dapat sertifikat. Jadi, sebenarnya guru- guru juga banyak yang terlibat persoalan korupsi tanpa mereka sadari. Dengan adanya kegiatan ini, mereka diharapkan akan jadi agen anti korupsi," katanya.

Oleh karena tak sadar korupsi, guru-guru juga enggan menyampaikan nilai-nilai anti korupsi kepada anak didiknya. "Persoalan korupsi ini tidak pernah disampaikan dengan baik oleh para pemimpin di daerah, termasuk oleh para guru. Siapa bilang guru berani mengatakan, 'sertifikasi tanpa ikut seminar itu korupsi'. Enggak akan berani," ujar Gol A Gong.

Ia menambahkan, tak ada juga guru yang berani mengatakan terlambat datang mengajar termasuk korupsi. "Kalau mereka berani mengatakan itu, dunia pendidikan kita akan baik," katanya.

Sebelum mengikuti pelatihan, para guru itu dipilih melalui seleksi ketat di KPK lewat penilaian karya yang mereka kirimkan, baik berupa cerpen, esai, puisi, maupun lainnya. Karya-karya itu diseleksi dengan mengacu pada sembilan nilai anti korupsi yang dikampanyekan KPK: jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, mandiri, adil, berani, dan peduli.

Ketua Panitia Teacher Supercamp KPK Gumilar Prana Wilaga mengatakan, pihaknya setidaknya menerima 185 karya berupa cerpen dan esai, 27 karya naskah drama, 117 puisi, dan 27 komik dari para guru yang mendaftar.

Tak hanya dilihat dari karya yang dikirim, KPK juga melihat komitmen guru-guru itu terkait kampanye anti korupsi. Kepala Tim Pendidikan II Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Sandri Justiana mengungkapkan, pihaknya memang tak bisa menilai integritas guru-guru tersebut. "Namun, guru yang mau menulis soal anti korupsi berarti punya komitmen. Kalau guru yang sejak awal korupsi, tentu mereka akan enggan mendekati KPK. Kami juga melihat semangatnya. Di tengah kesibukan mengajar, dia mau menulis karya-karya anti korupsi," ujarnya.

Gumilar mengakui, dampak kegiatan pelatihan guru tersebut tak akan dirasakan dalam hitungan hari atau bulan. Kampanye pencegahan korupsi merupakan pekerjaan yang memakan waktu. Tak mudah menyemaikan kesadaran kritis menentang perilaku korup.

"Namun, kami percaya, suatu ketika generasi muda di Indonesia tak akan lagi mengenal istilah korupsi," kata Gumilar.

Tentu karena korupsi sudah sirna dari negeri ini. Semoga!

Sumber: Kompas, 4 November 2015


https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/3066-demi-generasi-yang-tak-kenal-korupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar