Pemberantasan Korupsi Jangan Setengah Hati

Detail Diterbitkan pada Jumat, Augustus 16 2013 12:02 Dibaca: 2128
img4ee18ba335af7TEPAT pukul 10.00 WIB, proklamasi menggema di rumah Soekarno yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta. Sebentar, sederhana, khidmat, itulah tiga kata yang bisa menggambarkan suasana momen bersejarah bangsa ini yang terjadi pada 17 Agustus 1945 silam.
"Proklamasi: Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain. diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno-Hatta."
Kala itu, perjuangan yang dibacakan dengan tegas dan lantang adalah perlawanan atas penjajahan. Ratusan tahun diduduki bangsa lain, rakyat Indonesia menolak kepemimpinan kembali dilempar ke bangsa dari negara lainnya.
Kini di tanggal yang sama, 68 tahun sejak saat itu yakni 17 Agustus 2013, gema perlawanan kembali terdengar. Bedanya, yang ditentang bukan penjajahan bangsa lain, namun penjajahan oleh bangsa sendiri. Bukan pula dibacakan di kediaman mantan Presiden Soekarno, melainkan dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di jalan HR Rasuna Said Kav C1 Kuningan, Jakarta Selatan.
Bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan, tepat puku 10.00 WIB pula, untuk pertama kalinya KPK meluncurkan Kanal KPK. Melalui saluran siaran radio dan streaming video, informasi mengenai KPK dan kabar-kabar terbaru terkait perkara korupsi, akan diinformasikan langsung secara terbuka untuk publik.
Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, pembentukan kanal KPK itu bertujan untuk semakin memperluas gagasan-gerakan antikorupsi di tengah masyarakat. Bila tidak ada langkah untuk menularkan semangat itu ke rakyat, dikhawatirkan pemberantasan korupsi justru akan berjalan di tempat.
"Korupsi itu sudah ada di sebagian besar lapisan masyarakat. Dia sistemis, terstruktur, dan masif," ungkap Bambang.
Tidak berhenti sampai di situ, lanjutnya jenis korupsinya bahkan semakin canggih. Hal itu dapat terlihat dari modus operandi yang digunakan saat menyangkut perkara finansial, pajak, dan korupsi yang dilakukan kalangan profesional.
"Mereka memiliki kompetensi, sengaja mencari lubang dari keterbatasan aturan, juga memiliki otoritas," terang Bambang tentang tantangan yang semakin nyata dihadapi KPK.
Bandul Kekuasaan
Menyoroti keseriusan dalam memberantas korupsi, Bambang mengkhawatirkan bahwa saat ini pemberantas korupsi hanya bergerak dari bandul yang satu ke bandul yang lainnya. Mengkritik sistem perekrutan, Wakil Ketua KPK itu melihat yang terjadi hanyalah pergeseran, bukannya perbaikan.
Kalau dulu pemilihannya dilakukan langsung oleh eksekutif, sekarang kekuasaan itu diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal kalau mau berbicara ideal, akan lebih hagus jika diadopsi sistem perekrutan dengan melibatkan berbagai elemen selain pemerintahan, yakni pemerintah plus lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan pihak netral lain.
Dengan sistem yang berlaku sekarang, mau tidak mau harus diakui bahwa perpolitikan masih memengaruhi KPK.
Bambang menegaskan bahwa saat ini Indonesia masih dalam keadaan darurat korupsi, terlebih karena masih terbukanya proses transaksional dalam dunia politik,
Beruntung, berbeda dengan saat rezim orde baru, saat ini media massa punya kebebasan untuk memberitakan perkara korupsi. Tak hanya di tangan media, kebebasan untuk berpendapat menyoal korupsi juga ada di tangan masyarakat secara luas, hingga ruang pembelajaran antikorupsi semakin luas. Bahkan dalam proses persidangan, jangan harap pemberantasan korupsi bisa dikerangkeng.
Pembelajaran bagi masyarakat itu bukanlah perkara, Bambang bahkan mengungkap, bahwa kebanyakan operasi tangkap tangan (OTT) yang berhasil dilakukan KPK, sebagian besar merupakan hasil pengaduan masyarakat. Karena itu, jelas peran aktif masyarakat sangat menentukan keberhasilan KPK.
Menariknya, jumlah OTT KPK meningkat sekitar 100% dari dua tahun lalu. Padahal, jumlah sumber daya manusia yang tersedia di KPK tidak berubah banyak. Di saat yang sama, gonjang-ganjing upaya pembubaran KPK juga terus menempa.
Mengakui adanya kemajuan dari berbagai aspek, tetap saja Bambang berkeyakinan bahwa sesungguhnya ada cara yang bisa ditempuh untuk melakukan percepatan. Pernyataan dari Presiden dan pemerintah yang bernada dukungan untuk KPK memberantas koruspi tidaklah cukup, perlu eksekusi.
"Ketidakmampuan memperbaiki sistem, mempercepat produksi kejahatan (korupsi)," cetus Bambang.
Dia berharap dukungan presiden dan elemen pemerintahan, harus diwujudkan dalam perombakan sistem. Termasuk ke hal-hal yang kecil seperti pengendalian aset negara, seperti rumah dinas dan rangkap jabatan.
Jika dibandingkan dengan Timor Timur saja misalnya, Bambang menyebutkan, Indonesia sesungguhnya patut malu. Di sana pemberantasan korupsi diatur bukan lagi dalam undang-undang, melainkan dalam konstitusi.
Selamanya Ad Hoc
Mendapat dukungan luas masyarakat, tetap saja ada nada-nada sumbang yang berupaya melemahkan KPK. Upaya itu di antaranya dilakukan dengan cara memunculkan wacana revisi Undang-Undang KPK, pembatasan sumber dana, dan penelisikan terhadap hibah yang diterima KPK.
Sebagai lembaga ad hoc, ada pula yang menyuarakan bahwa nantinya KPK harus dibubarkan karena harusnya bersifat sementara.
Bambang mengatakan, salah kaprah apabila ad hoc diartikan sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Istilah ad hoc yang diambil dari bahasa Latin itu, memiliki arti dibentuk atau dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja.
KPK sendiri dibentuk dengan tujuan memberantas korupsi yang sudah akut di negeri ini. Pemahaman yang salah itu terangnya, terjadi karena banyak yang tidak bisa membedakan ad hoc dengan ad interim yang berarti sementara.
"Kalau KPK sudah tidak bisa menjalankan fungsinya, maka dengan sendirinya lembaga ini akan mati."
Namun begitu, dia menekankan bahwa KPK tidak selayaknya dibubarkan sewaktu- waktu dengan alasan tujuan pendiriannya telah tercapai. Di berbagai negara lain, hanya ada satu negara yang membubarkan lembaga negara antikorupsi, yakni Nigeria, tidak ada di negara lainnya.
"Di Nigeria itu otoriter, jadi kalau KPK dibubarkan itu artinya negara kita sedang otoriter," katanya mengambil anologi.
Mengutip kalimat Soekarno setelah membacakan teks proklamasi, "Mulai saat ini kita menyusun negara kita! Negara Merdeka." Semuanya harus dimulai saat ini, demikian pula dengan pemberantasan korupsi. Jika ditunda-tunda
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1271-pemberantasan-korupsi-jangan-setengah-hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar