Total Tayangan Halaman

Minggu, 08 Januari 2017

Koruptor Harus Ganti Biaya Sosial dan Ekonomi

Koruptor Harus Ganti Biaya Sosial dan Ekonomi

Detail Diterbitkan pada Selasa, September 10 2013 10:37 Dibaca: 2558

Twitter

img4f3c752ea3eb2Komisi Pemberantasan Korupsi tengah merumuskan beban hukuman bagi koruptor agar mengganti biaya sosial dan ekonomi yang timbul akibat perbuatannya. Selama ini, kerugian sosial ataupun ekonomi akibat perbuatan koruptor belum dihitung sebagai bagian dari kerugian negara yang harus ikut diganti dalam rumusan hukuman bagi koruptor.

”KPK sudah berhasil merumuskan draf awal apa yang disebut sebagai social and economic cost dari korupsi. Biaya sosial dan ekonomi ini menghitung secara rinci kerugian yang muncul akibat dampak korupsi. Selama ini, kita melakukan kesalahan paradigmatik dalam merumuskan dampak kerugian kejahatan korupsi,” ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, di Jakarta, Senin (9/9).

Sebagaimana ditulis dalam situs Anti Corruption Clearing House (acch.kpk.go.id), perhitungan beban biaya yang timbul akibat korupsi berawal dari perbandingan yang timpang antara beban hukuman yang ditanggung koruptor dan kerugian yang mereka timbulkan. Dalam situs itu disebutkan, perhitungan jaksa terkait kerugian negara hanya mengukur besaran kerugian berdasarkan nilai eksplisit dari dana yang dikorupsi atau disalahgunakan. Jaksa belum memasukkan biaya implisit atau opportunity cost yang hilang akibat perbuatan koruptor.

”Misalnya, korupsi di sektor sumber daya alam itu bukan sekadar ada penyuapan, tetapi juga sumber daya alam yang hilang secara riil dapat dirumuskan dan harusnya dapat ditanggung koruptor,” kata Bambang. Contoh lain, kata Bambang, korupsi di sektor kehutanan. Ketika menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi jenis ini, seharusnya penegak hukum tidak hanya menghitung kerugian negara dari jumlah tegakan pohon yang hilang, tetapi juga dari hilangnya plasma nutfah hingga sumber biodiversity (keanekaragaman hayati) dari hutan.

KPK, kata Bambang, bekerja sama dengan sejumlah pakar dan akademisi sejumlah perguruan tinggi untuk menghitung beban biaya sosial dan ekonomi yang harus dibebankan kepada koruptor. Hasil diskusi mengenai hal itu bisa diunduh di situs acch.kpk.go.id. Dalam situs tersebut juga dipaparkan data tentang biaya eksplisit korupsi. Dalam putusan Mahkamah Agung pada 2001-2009, biaya eksplisit korupsi mencapai Rp 58,81 triliun harga berlaku atau sekitar Rp 73,07 triliun sesuai harga riil pada 2008. Sementara itu, total hukuman finansial yang dituntut jaksa hanya Rp 23,55 triliun atau setara Rp 32,41 triliun harga riil pada 2008 atau hanya 40 persen dari biaya eksplisit korupsi. Lebih memprihatinkan lagi, dari putusan akhir yang dijatuhkan hanya sekitar Rp 4,34 triliun harga berlaku atau setara Rp 5,35 triliun harga riil tahun 2008. Ini berarti hanya 7 persen dari biaya eksplisit korupsi.

Menurut Bambang, hal itu terjadi karena akibat kejahatan korupsi tak dilihat dan dipahami secara utuh dari dampaknya. ”Kejahatan tindak pidana korupsi jika dilihat dari dampaknya, akan sangat besar sekali nilai kerugiannya,” katanya.

Dimiskinkan

Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Saldi Isra, hukuman bagi koruptor harus diperberat sekaligus dimiskinkan dengan menyita seluruh harta dan segala manfaat dari hasil korupsinya. Dengan demikian, hukuman itu akan memberikan efek jera.

”Vonis hukuman dari pengadilan belum mampu memiskinkan para koruptor. Setelah menjalani beberapa tahun penjara, para terpidana korupsi masih punya banyak uang untuk membeli harga dirinya kembali,” katanya. Untuk memberikan efek jera, menurut Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho, hukuman terhadap koruptor seharusnya dibuat secara kumulatif sehingga pidana yang dijatuhkan menjadi maksimal. Namun, ini bisa dilakukan apabila pemerintah dan DPR merevisi UU Pemberantasan Tipikor, khususnya di bagian lamanya pemidanaan.

Anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, berpendapat, perlu ada klasifikasi terhadap vonis kasus korupsi sehingga lebih mengakomodasi rasa keadilan masyarakat. Variabel seperti penyelenggara negara atau penegak hukum serta nilai kerugian negara dalam jumlah tertentu perlu menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan vonis.
”Saya setuju, misalnya, jika pelakunya penegak hukum, vonisnya bisa lebih berat. Atau misalnya kerugian negara lebih dari Rp 10 miliar dapat dihukum pidana di atas 10 tahun,” katanya.

Menyikapi banyaknya putusan kasus korupsi yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon K Palma menyerukan kepada lembaga-lembaga antikorupsi untuk mengawal pengadilan korupsi. Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, hakim tipikor harus didorong menonjolkan subyektivitasnya saat menghakimi koruptor. Subyektivitas ini adalah subyektivitas dalam memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa sehingga pelakunya harus dihukum lebih berat ketimbang pelaku kriminal lainnya.

Jika tidak, kata Indriyanto, hakim cenderung berpedoman pada legalitas perundang-undangan yang berpandangan kaku pada sisi legal positivisme. Dampaknya, hukuman pidananya tidak sesuai rasa keadilan masyarakat. Seharusnya, kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, hakim Pengadilan Tipikor responsif dan berpikir ke depan dalam mengadili terdakwa kasus korupsi. Vonis hakim dalam kasus korupsi tak bisa lagi hanya bersifat legal formal positivistik.

Dalam perkara korupsi simulator berkendara dengan terdakwa mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, menurut Busyro, seharusnya hakim punya kesempatan menjatuhkan vonis yang memenuhi rasa keadilan publik.

”Korupsi dengan unsur abuse of power sebagai Kepala Korlantas dan perwira tinggi Polri seharusnya menjadi contoh bagi jajaran Polri. Tetapi ini tidak tercermin dalam vonis,” kata Busyro. Karena itu, KPK mengajukan banding terhadap vonis Djoko.

Sumber: Kompas, 10 September 2013

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1356-koruptor-harus-ganti-biaya-sosial-dan-ekonomi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar