Total Tayangan Halaman

Sabtu, 14 Desember 2019

BELLA CIAO’, KPK? Oleh Alvin Nicola Peneliti Transparency International Indonesia


STAGNASI skor Corruption Perception
Index (CPI) Indonesia dalam 20 tahun
terakhir mengindikasikan bahwa be-
lum ada cara terbaik dalam melawan
korupsi. Dengan rata-rata kenaikan
1.05 poin setiap tahunnya (Transpar-
ency International Indonesia, 2019),
negara berpenduduk lebih dari 2,6 juta
orang ini tetap berada dalam kelompok
30% terkorup dunia.
Namun di tengah masifnya korupsi,
politikus dan oligarki justru bersepak-
at merubuhkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dengan menerbitkan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua atas Un-
dang-Undang No. 30 Tahun 2002 ten-
tang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Revisi aturan ini juga bertentangan de-
ngan mandat UNCAC dan The Jakarta
Principles untuk membangun badan
antikorupsi untuk bekerja secara man-
diri dan efektif.
Lagu Bella Ciao barangkali tepat
menggambarkan situasi ini. Dalam
buku Arts and Terror karya Vladimir L.
Marchenkov, "Bella Ciao"—atau "Good-
bye Beautiful"—merupakan lagu rak-
yat Italia yang digunakan sebagai lagu
perlawanan antifasis dan digunakan di
seluruh dunia sebagai nyanyian kebe-
basan. Dalam banyak hal, situasi ko-
rupsi yang merajelala berdampak pada
jatuhnya basis politik, ekonomi dan
sosial—dan perseteruan KPK bersama
publik melawan para koruptor mung-
kin saja membutuhkan waktu yang le-
bih panjang daripada yang diprediksi
sebelumnya.
Tentu perjalanan skor 20 di tahun
1998 hingga menjadi skor 38 di tahun
2019 tidak dapat dilepaskan dari peran
sentral KPK. Meskipun penyumbang
kenaikan CPI bukan tugas KPK semata,
namun kehadiran KPK dalam 15 tahun
terakhir sangatlah signifikan. KPK te-
lah melakukan berbagai penegakan
kasus korupsi besar, menangkap lebih
dari 1.000 pejabat publik dengan ting-
kat keberhasilan lebih dari 75% (Ko-
misi Pemberantasan Korupsi, 2019).
Badan antikorupsi ini juga telah melak-
sanakan pengawasan penegakan hukum
dalam kasus korupsi, dan berperan be-
sar dalam menanamkan semangat in-
tegritas di masyarakat.
Kinerja badan antikorupsi di 6 ne-
gara, termasuk KPK, juga menunjuk-
kan buruknya komitmen politik, ka-
pasitas yang lemah dan mandat yang
terbatas mengakibatkan terhambatnya
efektivitas badan antikorupsi (Trans-
parency International, 2019). Pene-
litian ini juga menunjukkan bahwa
2 kinerja KPK sudah cukup memadai,
terutama dalam penyelesaian kasus
korupsi politik besar yang juga meli-
batkan korporasi serta pola organisasi
merit yang fokus pada keahlian. Na-
mun pengukuran yang dilakukan pada
periode 2015-2019 itu juga memperli-
hatkan bahwa faktor eksternal seperti
minimnya komitmen politik terhadap
KPK, menjadi hambatan utama KPK
dalam melaksanakan tugas dan fungsi
pemberantasan korupsi.
Di tengah situasi politik hukum
yang tidak berpihak ini, KPK perlu
meninjau kembali efektivitas strategi
antikorupsi yang selama ini telah di-
lakukan. Banyak pihak termasuk KPK
rasanya perlu menerima bahwa akan
sangat sulit untuk memenangkan pe-
rang melawan korupsi dalam arti harfi-
ah. Oleh karena itu, target dan aspirasi
yang lebih realistis dalam intervensi
antikorupsi perlu dipertimbangkan.
Cara terbaik yang mungkin dapat di-
lakukan KPK dengan “mengelola” stra-
tegi pemberantasan korupsi. Secara
khusus, KPK dapat mengidentifikasi
bentuk-bentuk korupsi yang paling me-
nimbulkan kerugian sosial paling besar
dengan seraya membangun inisiatif
pencegahan spesifik, dan memusatkan
perhatian khusus di sektor-sektor ter-
sebut.
Penelitian di atas juga mengemu-
kakan bahwa KPK juga harus lebih me-
musatkan perhatian pada kelayakan
setiap langkah reformasi antikorupsi.
Sebagaimana yang diutarakan ekonom
Mushtaq Khan (2006), strategi anti-
korupsi konvensional yang berupaya
meningkatkan kepatuhan terhadap
peraturan, secara umum telah gagal
karena minimnya usaha untuk mema-
hami interaksi antara lembaga dan sis-
tem perilaku yang terjadi di dalamnya.
Agar layak, agenda reformasi tersebut
perlu diletakkan untuk memperkuat
kebijakan yang sudah ada, alih-alih
memperkenalkan perubahan peraturan
baru dalam situasi dimana elite telah
mendapat manfaat atas kontrol mereka
sebelumnya.
Upaya reflektif ini selanjutnya perlu
diikuti dengan penguatan akuntabilitas
internal. Karena itu, keberadaan alat
ukur seperti Anti-Corruption Agencies
Assessment yang diinisasi oleh Trans-
parency International sangat ber-
manfaat bagi pengembangan keorgan-
isasian badan antikorupsi manapun,
termasuk KPK. Hasil studi itu juga me-
nunjukkan bahwa pengukuran mandiri
yang berasal dari internal KPK perlu
dikembangkan agar informasi tentang
aspek-aspek yang perlu dibenahi dan
dioptimalkan di masa depan dapat se-
makin komprehensif.
Hingga saat ini, sayangnya KPK
belum pernah melakukan penelitian
terukur yang mengevaluasi kinerjanya
sendiri secara terbuka. Evaluasi ter-
hadap capaian rencana strategi divisi
atau program memang ada—walaupun
persentasenya pun sangat kecil. Ber-
bagai dimensi penelitian yang sampai
saat ini dikembangkan, masih berfokus
pada entitas pada kelembagaan lain di
luar KPK.
Maka, KPK perlu menaruh minat
serius dalam mendokumentasikan
kerja-kerjanya, agar terhindar dari
bias dalam melakukan pengukuran ki-
nerja. Selain dapat mengembangkan
memori internal tentang manajemen
pengetahuan, pengukuran internal da-
pat memberikan informasi akurat ten-
tang kinerja dan membuat KPK dapat
melacak kemajuan dengan lebih mudah
dan sistematis. Pengukuran mandiri
ini juga dapat menyediakan bukti dan
menguji asumsi, serta dapat berguna
dalam menyesuaikan strategi dan ke-
bijakan. Dalam prosesnya, publik perlu
dipastikan terlibat dalam tiap upaya
evaluasi kinerja dan kelembagaan KPK
agar perang melawan korupsi dapat te-
rus berlanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar