Total Tayangan Halaman

Jumat, 01 September 2017

DPR vs KPK


DPR vs KPK

Hubungan antara DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami babak baru. Kehadiran dan pengakuan Direktur Penyidik KPK Brigjen Aris Budiman saat memenuhi panggilan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR untuk KPK semakin memperlebar perseteruan dua lembaga itu.

Pernyataan Brigjen Aris seolah membuka lebar kondisi yang ada di KPK saat ini, terutama hubungan di antara penyidik. Pernyataan itu pun menjadi senjata baru bagi DPR untuk mencecar kinerja KPK, yang oleh publik dianggap sebagai bagian dari upaya pelemahan KPK.

Pada Selasa (29/8) malam, Brigjen Aris Budiman menghadiri rapat Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK. Sebelum kehadiran Aris itu, pimpinan KPK menyatakan tidak mengizinkan jenderal bintang satu polisi itu untuk hadir dalam rapat tersebut. Saat di DPR, Aris pun mengaku kalau dirinya telah melanggar perintah pimpinan KPK, yang melarangnya untuk hadir.

Apa pun alasannya, kedatangan Aris di Pansus itu dinilai sebagai bentuk insubordinasi terhadap pimpinan KPK dan secara kelembagaan. Dirdik KPK itu dianggap telah melanggar disiplin dan etika pegawai KPK. Desakan agar pengawasan internal KPK mengusut pelanggaran yang dilakukan Aris pun bermunculan dari kalangan pengamat.

KPK tentu saja gerah dengan kehadiran Aris di Pansus Hak Angket itu. Soalnya, secara kelembagaan, KPK telah menyatakan tidak akan memenuhi panggilan Pansus DPR. Bahkan, KPK juga menolak untuk memberikan izin kepada mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani, yang terjerat kasus perkara korupsi pembuatan e-KTP.

KPK menolak untuk memenuhi panggilan KPK dan menghadirkan Miryam karena menganggap keberadaan Pansus Hak Angket terhadap lembaga itu tidak sah. KPK bahkan tengah mengajukan gugatan unji materi Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait keabsahan pembentukan Pansus Hak Angket itu.

Pegawai KPK yang mengajukan gugatan itu menilai penggunaan hak anget oleh DPR kepada KPK tidak tepat. Mereka menilai, KPK adalah lembaga independen, bukan bagian dari pemerintah, sehingga sebelum ada keputusan MK, KPK tidak akan memenuhi panggilan tersebut.

Ketika persoalan keabsahan pansus itu masih diperdebatkan, kehadiran Dirdik KPK Brigjen Aris Budiman di rapat pansus membuka celah bagi DPR untuk kembali mempertanyakan kinerja KPK. Dalam rapat itu, Aris mengatakan ada perpecahan di internal KPK yang berpotensi untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Bahkan, Aries mengatakan, ada "pihak luar" yang menanam agen mereka di KPK. Jika dibiarkan, hal itu bisa mengancam keamanan negara dan serangan terhadap KPK akan semakin keras.

Pernyataan Aris itu tentu saja bisa menjadi amunisi baru bagi DPR untuk menyoroti kinerja KPK, yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai serangan dan upaya pelemahan KPK. Tudingan itu muncul karena Pansus Hak Angket dibentuk ketika saat ini KPK mengusut kasus-kasus korupsi yang diduga melibatkan sejumlah anggota dan pimpinan DPR.

Kita tentu berharap agar keinginan DPR untuk mengawasi KPK benar-benar murni untuk memastikan kinerja lembaga antikorupsi itu bekerja dengan baik. Kita tentu tidak sepakat jika pembentukan Pansus Hak Angket sekadar ditujukan sebagai bentuk balas dendam DPR terhadap KPK.

Jangan sampai kerja pansus yang memeriksa sejumlah orang dan meminta pandangan para pakar itu menjadi instrumen untuk memengaruhi penyelidikan-penyelidikan kasus korupsi yang tengah dilakukan KPK. Kita berharap DPR lewat pansus tidak mengintervensi kasus-kasus yang tengah diungkap KPK.

Kita tentu menghormati sikap KPK yang masih menunggu putusan gugatan uji materi UU MD3 sebelum bersikap atas panggilan Pansus Hak Angket. Namun, jika MK menolak gugatan itu, maka KPK pun harus legawa untuk memenuhi panggilan pansus. Anggap saja keterangan KPK di pansus merupakan bantahan atas tudingan-tudingan yang dilontarkan anggota DPR. Pansus bisa menjadi ajang klarifikasi oleh KPK.

Apalagi, saat ini DPR seolah mempunyai "senjata" baru untuk menyerang KPK. Pernyataan Brigjen Aris tentang adanya perpecahan di internal KPK dan penyusupan "pihak luar" harus ditanggapi serius oleh KPK. Kita tidak ingin babak baru pertikaian KPK dan DPR ini memunculkan kegaduhan politik baru.

Kita berharap ada pihak yang bisa menjadi mediator bagi hubungan DPR dan KPK. Pemerintah dan lembaga penegakan hukum lainnya, yakni Polri dan Kejaksaan, bisa menjadi penengah agar perseteruan itu tidak berlanjut ke kegaduhan. Kita juga berharap agar pimpinan partai politik mengambil peran untuk meredam konflik dua lembaga tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar