Total Tayangan Halaman

Jumat, 10 Januari 2020

TAK JEMU MENGAWAL KPK SEBUAH CATATAN UNTUK KPK Oleh Kurnia

TAK JEMU MENGAWAL KPK
SEBUAH
CATATAN
UNTUK KPK
Oleh Kurnia Ramadhana
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring
Peradilan ICW
MASA bakti lima Pimpinan KPK akan
segera berakhir. Berdasarkan Pasal 34
UU KPK menyebutkan bahwa Pimpinan
KPK menjabat selama empat tahun, ini
mengartikan tahun 2019 menjadi ba-
bak akhir kepemimpinan mereka. Per-
tanyaan pun timbul: sudah sejauh mana
ekspektasi publik terhadap pemberan-
tasan korupsi terjawab oleh lembaga
antirasuah ini?
Tidak bisa dimungkiri bahwa se-
lama empat tahun terakhir, KPK ba-
nyak menangani perkara yang meli-
batkan para elit kekuasaan. Mulai dari
Hakim Konstitusi (Patrialis Akbar),
Ketua DPR (Setya Novanto), Ketua
DPD (Irman Gusman), sampai pada le-
vel Ketua Umum Partai Politik (Roma-
hurmuzy). Selain itu skandal korupsi
besar, seperti kasus KTP-Elektronik
senilai Rp2,3 triliun dan penerbitan
surat keterangan lunas Bantuan Likui-
ditas Indonesia yang bernilai Rp4,58
triliun pun juga diusut.
Pasang surut terjadi, tak hanya ten-
tang penindakan yang gemilang, akan
tetapi badai ancaman terhadap KPK
pun silih berganti. Misalnya saja pada
April 2017 lalu, Penyidik KPK – Novel
Baswedan disiram air keras pada bagian
wajahnya. Dilanjutkan dengan langkah
DPR yang akhirnya tetap memaksakan
hak angket terhadap KPK. Selang be-
berapa tahun kemudian, KPK diterjang
‘paket lengkap’ pelemahan, yakni me-
lalui proses pemilihan Pimpinan KPK
yang sarat kepentingan politik, dan re-
visi UU KPK yang mengakibatkan keru-
sakan sistemik pada lembaga ini.
Melihat rangkaian kejadian di atas,
rasanya publik tiba pada satu kesim-
pulan terhadap masa depan KPK, yakni
suram dan gelap. Bagaimana tidak, ne-
gara yang harusnya hadir, namun le-
bih memilih absen ketika KPK coba
dilemahkan. Presiden yang harusnya
menjadi garda terdepan pembela KPK,
justru terlihat diam tak berdaya. Begitu
pula DPR, legislasi yang harusnya mem-
perkuat KPK, malah bertolak belakang,
justru menggembosi dan membunuh
KPK itu sendiri. Maka wajar ketika is-
tilah corruptor fight back digaungkan
kembali oleh publik yang secara nyata
melihat serangan itu.
Sebelum melangkah pada fase ke-
pemimpinan selanjutnya, rasanya pen-
ting untuk memberikan catatan kritis
selama empat tahun ke belakang. Se-
bab, berbagai pujian pada KPK harus
juga diimbangi dengan kritik yang kon-
struktif demi menjaga proporsionalitas
penilaian.
Pertama, kinerja KPK dalam per-
sidangan tidak terlalu memuaskan pu-
blik. Utamanya pada dakwaan, ICW
mencatat dari rentang waktu 2016 sam-
pai 2018 KPK sudah menangani 313
perkara, akan tetapi hanya 15 perkara
yang dikenakan pasal terkait pencucian
2 uang. Ini menggambarkan bahwa KPK
belum mempunyai visi yang jelas pada
isu asset recovery.
Penting untuk dijadikan catatan,
bahwa kritik terhadap KPK selama ini
selalu terkait dengan isu asset reco-
very. KPK dipandang belum mampu
memulihkan kerugian negara secara
maksimal. Tesis sederhananya: pelaku
korupsi akan tetap bisa melakukan ke-
jahatan jika aset yang berasal dari tin-
dak pidana tidak diambil alih oleh ne-
gara. Jadi, harusnya KPK ke depan bisa
lebih giat mengombinasikan instrumen
UU Tindak Pidana Korupsi dengan UU
Pencucian Uang agar efek jera lebih te-
rasa bagi pelaku korupsi.
Sejatinya pencucian uang dengan
korupsi saling berkelindan, baik dari
segi yuridis maupun realitas. Untuk
yuridis sendiri, korupsi secara spesifik
disebutkan sebagai salah satu predi-
cate crime dalam Pasal 2 UU Pencucian
Uang. Ini mengartikan bahwa pencu-
cian uang, salah satunya dapat diawali
dengan perbuatan korupsi. Selain itu
realitas hari ini menunjukkan bahwa
para pelaku korupsi akan selalu ber-
usaha untuk menyembunyikan harta
yang didapatkan dari praktik rasuah.
Dengan begitu maka harusnya pasal
pencucian uang dapat dikenakan pada
setiap pelaku korupsi.
Selain dakwaan, pada kenyataan-
nya tuntutan KPK pun tidak begitu
memberikan efek jera maksimal. ICW
mencatat pada era kepemimpinan Agus
Rahardjo, tren tuntutan KPK hanya
menyentuh 5 tahun 7 bulan penjara.
Padahal beberapa Pasal dalam UU Tin-
dak Pidana Korupsi memungkinkan
untuk menuntut hingga 20 tahun pen-
jara, bahkan seumur hidup.
Masih pada aspek penuntutan,
hal lain yang bisa disorot adalah pen-
cabutan hak politik. Setidaknya sejak
lima Pimpinan KPK saat ini dilantik
sudah ada 88 terdakwa dari dimensi po-
litik yang dihadirkan pada persidangan
tindak pidana korupsi. Faktanya hanya
ada 42 terdakwa yang dituntut agar
hak politiknya dicabut. Padahal legiti-
masi dari pencabutan hak politik te-
lah jelas diatur dalam Pasal 10 jo. Pasal
35 KUHP, bahkan Pasal 18 UU Tindak
Pidana Korupsi pun kembali menegas-
kan hal yang sama. Artinya KPK tidak
terlalu menggunakan instrumen hu-
kum ini secara maksimal.
Kedua, masih banyak tunggakan
perkara yang sampai saat ini belum
diselesaikan KPK. Setidaknya sampai
saat ini masih ada 16 perkara besar be-
lum dituntaskan, ambil contoh pada
kasus pengadaan KTP-Elektronik. Da-
lam kasus itu, jaksa menyebut adanya
puluhan politisi yang diduga menerima
aliran dana haram tersebut. Namun,
sampai saat ini KPK belum menuntas-
kan penanganan perkara itu.
Ketiga, kisruh internal yang tak
kunjung diselesaikan oleh Pimpinan
KPK. Banyak contoh bisa diambil, se-
but saja misalnya pembangkangan Aris
Budiman (mantan Direktur Penyi-
dikan) yang menghadiri rapat Panitia
Angket tanpa seizin Pimpinan KPK.
Selain itu ada dua orang mantan Penyi-
dik KPK yang diduga telah merusak ba-
rang bukti sebuah perkara, bahkan ada
yang diduga bertemu dengan salah se-
orang Kepala Daerah yang sebenarnya
sedang dalam penanganan perkara di
KPK. Berbagai kejadian itu sama sekali
tidak mendapatkan respons serius dari
Pimpinan KPK. Harusnya jika memang
ditemukan adanya dugaan pelanggaran
maka Pimpinan KPK wajib hukumnya
mengumumkan kepada publik.
Tulisan ini harusnya dapat dijadi-
kan bahan evaluasi mendatang untuk
KPK. Publik memahami bahwa men-
jaga ekspektasi bukan hal yang mudah
di tengah terjangan pelemahan seperti
ini. Namun yakinlah bahwa pemberan-
tasan korupsi tidak akan “mati” hanya
karena negara berpaling. Seperti nya-
nyian Banda Neira: Yang Patah Tum-
buh Yang Hilang Berganti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar