Total Tayangan Halaman
Kamis, 30 Januari 2020
MUBESLUB MADA SULSEL
Sabtu, 18 Januari 2020
SK Dewan Pendiri Wilayah Sulsel FBN
DAFTAR PESERTA DIKLAT BELA NEGARA SULSELBAR DEPHAN 2015
Jumat, 10 Januari 2020
TAK JEMU MENGAWAL KPK SEBUAH CATATAN UNTUK KPK Oleh Kurnia
TAK JEMU MENGAWAL KPK
SEBUAH 
CATATAN 
UNTUK KPK
Oleh Kurnia Ramadhana
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring 
Peradilan ICW
MASA bakti lima Pimpinan KPK akan 
segera berakhir. Berdasarkan Pasal 34 
UU KPK menyebutkan bahwa Pimpinan 
KPK menjabat selama empat tahun, ini 
mengartikan tahun 2019 menjadi ba-
bak akhir kepemimpinan mereka. Per-
tanyaan pun timbul: sudah sejauh mana 
ekspektasi publik terhadap pemberan-
tasan korupsi terjawab oleh lembaga 
antirasuah ini? 
Tidak bisa dimungkiri bahwa se-
lama empat tahun terakhir, KPK ba-
nyak menangani perkara yang meli-
batkan para elit kekuasaan. Mulai dari 
Hakim Konstitusi (Patrialis Akbar), 
Ketua DPR (Setya Novanto), Ketua 
DPD (Irman Gusman), sampai pada le-
vel Ketua Umum Partai Politik (Roma-
hurmuzy). Selain itu skandal korupsi 
besar, seperti kasus KTP-Elektronik 
senilai Rp2,3 triliun dan penerbitan 
surat keterangan lunas Bantuan Likui-
ditas Indonesia yang bernilai Rp4,58 
triliun pun juga diusut. 
Pasang surut terjadi, tak hanya ten-
tang penindakan yang gemilang, akan 
tetapi badai ancaman terhadap KPK 
pun silih berganti. Misalnya saja pada 
April 2017 lalu, Penyidik KPK – Novel 
Baswedan disiram air keras pada bagian 
wajahnya. Dilanjutkan dengan langkah 
DPR yang akhirnya tetap memaksakan 
hak angket terhadap KPK. Selang be-
berapa tahun kemudian, KPK diterjang 
‘paket lengkap’ pelemahan, yakni me-
lalui proses pemilihan Pimpinan KPK 
yang sarat kepentingan politik, dan re-
visi UU KPK yang mengakibatkan keru-
sakan sistemik pada lembaga ini. 
Melihat rangkaian kejadian di atas, 
rasanya publik tiba pada satu kesim-
pulan terhadap masa depan KPK, yakni 
suram dan gelap. Bagaimana tidak, ne-
gara yang harusnya hadir, namun le-
bih memilih absen ketika KPK coba 
dilemahkan. Presiden yang harusnya 
menjadi garda terdepan pembela KPK, 
justru terlihat diam tak berdaya. Begitu 
pula DPR, legislasi yang harusnya mem-
perkuat KPK, malah bertolak belakang, 
justru menggembosi dan membunuh 
KPK itu sendiri. Maka wajar ketika is-
tilah corruptor fight back digaungkan 
kembali oleh publik yang secara nyata 
melihat serangan itu.
Sebelum melangkah pada fase ke-
pemimpinan selanjutnya, rasanya pen-
ting untuk memberikan catatan kritis 
selama empat tahun ke belakang. Se-
bab, berbagai pujian pada KPK harus 
juga diimbangi dengan kritik yang kon-
struktif demi menjaga proporsionalitas 
penilaian. 
Pertama, kinerja KPK dalam per-
sidangan tidak terlalu memuaskan pu-
blik. Utamanya pada dakwaan, ICW 
mencatat dari rentang waktu 2016 sam-
pai 2018 KPK sudah menangani 313 
perkara, akan tetapi hanya 15 perkara 
yang dikenakan pasal terkait pencucian 
2 uang. Ini menggambarkan bahwa KPK 
belum mempunyai visi yang jelas pada 
isu asset recovery. 
Penting untuk dijadikan catatan, 
bahwa kritik terhadap KPK selama ini 
selalu terkait dengan isu asset reco-
very. KPK dipandang belum mampu 
memulihkan kerugian negara secara 
maksimal. Tesis sederhananya: pelaku 
korupsi akan tetap bisa melakukan ke-
jahatan jika aset yang berasal dari tin-
dak pidana tidak diambil alih oleh ne-
gara. Jadi, harusnya KPK ke depan bisa 
lebih giat mengombinasikan instrumen 
UU Tindak Pidana Korupsi dengan UU 
Pencucian Uang agar efek jera lebih te-
rasa bagi pelaku korupsi. 
Sejatinya pencucian uang dengan 
korupsi saling berkelindan, baik dari 
segi yuridis maupun realitas. Untuk 
yuridis sendiri, korupsi secara spesifik 
disebutkan sebagai salah satu predi-
cate crime dalam Pasal 2 UU Pencucian 
Uang. Ini mengartikan bahwa pencu-
cian uang, salah satunya dapat diawali 
dengan perbuatan korupsi. Selain itu 
realitas hari ini menunjukkan bahwa 
para pelaku korupsi akan selalu ber-
usaha untuk menyembunyikan harta 
yang didapatkan dari praktik rasuah. 
Dengan begitu maka harusnya pasal 
pencucian uang dapat dikenakan pada 
setiap pelaku korupsi.
Selain dakwaan, pada kenyataan-
nya tuntutan KPK pun tidak begitu 
memberikan efek jera maksimal. ICW 
mencatat pada era kepemimpinan Agus 
Rahardjo, tren tuntutan KPK hanya 
menyentuh 5 tahun 7 bulan penjara. 
Padahal beberapa Pasal dalam UU Tin-
dak Pidana Korupsi memungkinkan 
untuk menuntut hingga 20 tahun pen-
jara, bahkan seumur hidup. 
Masih pada aspek penuntutan, 
hal lain yang bisa disorot adalah pen-
cabutan hak politik. Setidaknya sejak 
lima Pimpinan KPK saat ini dilantik 
sudah ada 88 terdakwa dari dimensi po-
litik yang dihadirkan pada persidangan 
tindak pidana korupsi. Faktanya hanya 
ada 42 terdakwa yang dituntut agar 
hak politiknya dicabut. Padahal legiti-
masi dari pencabutan hak politik te-
lah jelas diatur dalam Pasal 10 jo. Pasal 
35 KUHP, bahkan Pasal 18 UU Tindak 
Pidana Korupsi pun kembali menegas-
kan hal yang sama. Artinya KPK tidak 
terlalu menggunakan instrumen hu-
kum ini secara maksimal.
Kedua, masih banyak tunggakan 
perkara yang sampai saat ini belum 
diselesaikan KPK. Setidaknya sampai 
saat ini masih ada 16 perkara besar be-
lum dituntaskan, ambil contoh pada 
kasus pengadaan KTP-Elektronik. Da-
lam kasus itu, jaksa menyebut adanya 
puluhan politisi yang diduga menerima 
aliran dana haram tersebut. Namun, 
sampai saat ini KPK belum menuntas-
kan penanganan perkara itu. 
Ketiga, kisruh internal yang tak 
kunjung diselesaikan oleh Pimpinan 
KPK. Banyak contoh bisa diambil, se-
but saja misalnya pembangkangan Aris 
Budiman (mantan Direktur Penyi-
dikan) yang menghadiri rapat Panitia 
Angket tanpa seizin Pimpinan KPK. 
Selain itu ada dua orang mantan Penyi-
dik KPK yang diduga telah merusak ba-
rang bukti sebuah perkara, bahkan ada 
yang diduga bertemu dengan salah se-
orang Kepala Daerah yang sebenarnya 
sedang dalam penanganan perkara di 
KPK. Berbagai kejadian itu sama sekali 
tidak mendapatkan respons serius dari 
Pimpinan KPK. Harusnya jika memang 
ditemukan adanya dugaan pelanggaran 
maka Pimpinan KPK wajib hukumnya 
mengumumkan kepada publik.
Tulisan ini harusnya dapat dijadi-
kan bahan evaluasi mendatang untuk 
KPK. Publik memahami bahwa men-
jaga ekspektasi bukan hal yang mudah 
di tengah terjangan pelemahan seperti 
ini. Namun yakinlah bahwa pemberan-
tasan korupsi tidak akan “mati” hanya 
karena negara berpaling. Seperti nya-
nyian Banda Neira: Yang Patah Tum-
buh Yang Hilang Berganti.
PENGELOLAAN BARANG BUKTI DAN RAMPASAN
PENGELOLAAN BARANG BUKTI DAN 
RAMPASAN MERUPAKAN BAGIAN PENTING 
DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM. 
UNIT LABUKSI MENGOPTIMALKAN, AGAR 
TRANSPARANSI ASET TERJAGA, DAN 
MENAMBAH PENDAPATAN NEGARA.
KOMISI Pemberantasan Korupsi 
(KPK) secara resmi membentuk Unit 
Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang 
Bukti dan Eksekusi (Labuksi) sejak 
tahun 2013. Berada di Kedeputian Bi-
dang Penindakan, ia bertugas melak-
sanakan kegiatan pelacakan atas harta 
kekayaan milik tersangka/terdakwa/
terpidana dan/atau pihak terkait lain-
nya yang diketahui atau patut diduga 
hasil dan/atau digunakan dalam mela-
kukan tindak pidana korupsi (tipikor) 
dan/atau tindak pidana pencucian 
uang (TPPU), pengelolaan barang buk-
ti titipan/sitaan dan rampasan serta 
pelaksanaan putusan pengadilan yang 
telah berkekuatan hukum tetap sesuai 
dengan ketentuan peraturan perun-
dang-undangan. 
Dengan pengelolaan yang baik, 
terukur, dan optimal maka KPK yakin 
dapat memudahkan proses penyidikan, 
pembuktian di persidangan, hingga pe-
laksanaan eksekusi berdasarkan pu-
tusan majelis hakim.
Sepanjang tahun 2 November 2016 
hingga 28 Oktober 2019, KPK melalui 
Unit Kerja Labuksi telah menghibah-
kan barang rampasan negara milik 13 
orang terpidana dengan 18 tahap. Ba-
rang rampasan tersebut mencakup ken-
daraan, tanah, dan bangunan yang ter-
sebar di berbagai daerah di Indonesia. 
Penerima hibah mulai dari pemerintah 
kabupaten, pemerintah kota, pemerin-
tah provinsi, kementerian, lembaga, 
penegak hukum, dan juga KPK. 
Total nilai barang rampasan yang 
dihibahkan kurun tahun 2016 hingga 
2019 senilai lebih dari Rp322.7 miliar. 
Dalam pelaksanaan hibah barang ram-
pasan negara, KPK pun tidak semba-
rang, karena dilakukan secara terbuka. 
Sejak awal, KPK berdiri berkomit-
men bahwa langkah penyitaaan atas 
barang bukti hingga lelang barang ram-
pasan dan hasilnya dimaksudkan untuk 
mengembalikan kerugian negara atau 
hasil kejahatan yang dinikmati dan di-
peroleh pelaku.
Ketua KPK Agus Rahardjo menya-
takan, Unit Kerja Labuksi merupakan 
unsur sentral dalam penanganan ka-
sus (perkara) hingga kemudian pe-
laksanaan putusan pengadilan. Unit 
kerja ini, berkoordinasi dengan direk-
torat terkait di Kedeputian Bidang Pe-
nindakan hingga bersinergi dengan 
sejumlah Rumah Penyimpanan Benda 
Sitaan Negara (Rupbasan) yang ber-
ada di bawah Kementerian Hukum dan 
HAM. Dia mengungkapkan, khusus ter-
kait dengan hibah atau PSP atas barang 
rampasan.
"Jadi itu dilakukan untuk meng-
optimalkan kerja kementerian, lem-
baga, dan instansi-instansi pemerin-
tahan. Manfaatnya juga kembali kepada 
masyarakat," ungkap Agus.
Ia mencontohkan, pada 18 Oktober 
2017 KPK melakukan serah-terima ge-
dung, dengan tanah seluas 3.077 meter 
persegi dan bangunan rumah seluas 
597,57 meter persegi hasil barang ram-
pasan terpidana mantan Kepala Kor-
lantas Mabes Polri Inspektur Jenderal 
Polisi (purnawirawan) Djoko Susilo. 
Gedung tersebut berada di Kota Solo 
serta dihibahkan ke Pemerintah Kota 
Solo yang diterima langsung oleh Wa-
likota Solo FX Hadi Rudyatmo.
"Nilai aset itu lebih Rp49,126 miliar. 
Ini dihibahkan untuk Pemerintah Kota 
Solo sebagai museum batik dan juga 
tempat pelatihan kerajinan batik," ujar 
Agus.
Dia menegaskan, dalam proses pe-
ngelolaan barang bukti sitaan maupun 
barang rampasan negara, melakukan 
pencatatan dan pengawasan dengan ke-
tat. Bentuk barang bukti (sitaan mau-
pun rampasan), jenis, jumlah, nilai 
barang, asal barang tersebut disita, kai-
tan dengan kasus (perkara), hingga lo-
kasi keberadaannya dilaporkan secara 
berkala ke Deputi Bidang Penindakan 
maupun Pimpinan KPK.
"Dalam laporan itu kan memuat ba-
rang sitaan yang kita kelola, jenis-jenis 
barang bukti, klasifikasinya, berapa 
unit, dan sebagainya. Kalau barang 
bukti di penyidikan kan statusnya ma-
sih sitaan jadi statusnya agak rahasia, 
kita nggak bisa buka secara serta-merta 
ke publik," paparnya.
Dari laporan itu, tercatat pula Pe-
nerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 
hasil lelang yang kemudian disetorkan 
ke kas negara. Untuk hib
PROFIL PIMPINAN PERLU NAPAS PANJANG
PENGALAMAN bekerja di lembaga 
nonpemerintah yang fokus pada isu ko-
rupsi dan lingkungan, membuat Laode 
M. Syarif menjadi tumpuan para kole-
ganya untuk mendaftar sebagai pim-
pinan Komisi Pemberantasan Korupsi 
(KPK). Apalagi, Dosen Fakultas Hu-
kum Universitas Hasanuddin Makas-
sar itu, dalam salah satu program orga-
nisasinya juga gencar menjaring pegiat 
hukum dan aktivis di daerah agar ikut 
dalam kontestasi empat tahunan ini.
Sekitar 12 tahun lalu, kawan-kawan 
Syarif sudah mendorongnya agar mem-
berikan kontribusi secara langsung di 
KPK. “Wah, Abang itu cuma nyuruh-
nyuruh orang, tidak mau daftar sen-
diri,” kata Syarif menirukan ucapan 
koleganya.
Kala itu, dia masih enggan berpar-
tisipasi dalam penjaringan Pimpinan 
KPK. Hingga akhirnya pendaftaran 
Pimpinan KPK periode 2015-2019 di-
buka, para kolega Syarif kembali men-
desak. “Last minute, aku baru daftar,” 
ujarnya.
Bagi pria asal Muna, Sulawesi Teng-
gara ini, tak perlu persiapan khusus 
dalam mengikuti serangkaian seleksi. 
Sebab, pekerjaannya sehari-hari se-
bagai dosen serta penasihat senior 
terkait tata kelola pemerintahan dan 
hukum lingkungan di Kemitraan ber-
kaitan erat dengan isu antikorupsi. 
Syarif merasakan proses seleksi 
yang ketat. Ia bahkan sempat ditan-
tang oleh salah seorang anggota Pan-
sel Srikandi kala itu. “Kamu 'kan cuma 
dosen, dan kerja di beberapa organisasi 
nasional dan internasional. Tapi 'kan 
kamu nggak pernah punya bawahan 
sampai seribuan?” ujar Syarif meniru-
kan ucapan panitia seleksi. Bukan ma-
lah terpuruk, justru dia menjawab de-
ngan penuh percaya diri. 
“Saya pernah memimpin tim yang 
terdiri atas berbagai negara. Saya 
pikir saya punya kapasitas untuk me-
mimpin orang banyak,” kata pria yang 
memperoleh gelar Doktor bidang Hu-
kum Lingkungan Internasional di 
Universitas Sidney, Australia ini.
Sejak proses seleksi itu, Syarif juga 
menyiapkan pokok-pokok pikiran jika 
terpilih sebagai salah satu Pimpinan 
KPK. Dia sangat ingin fokus menginte-
grasikan pencegahan dan penindakan. 
“Saya agak kesal. Saya bantuin KPK di 
pencegahan, khususnya sektor sumber 
daya alam, tapi tidak sampai ditindak,” 
ucapnya. Setelah resmi menjadi Wa-
kil Ketua KPK per 21 Desember 2015, 
Syarif tancap gas menelisik isu-isu 
korupsi lingkungan dan sumber daya 
alam.
Pada 2017 lalu, misalnya, KPK me-
ngusut kasus dugaan suap terkait izin 
pertambangan yang menjerat Bupati 
Konawe Utara Aswad Sulaiman. Pada 
tahun yang sama, lembaga antikorupsi 
juga menetapkan Gubernur Sulawesi 
Tenggara Nur Alam sebagai tersangka 
dugaan penyalahgunaan wewenang 
dengan menerbitkan Surat Ketetapan 
(SK) Persetujuan Izin Usaha Pertam-
bangan (IUP) Eksplorasi untuk PT An-
ugerah Harisma Barakah. 
Syarif juga mulai serius men-
jerat korporasi dalam kasus ko-
rupsi. Sejak era pimpinan pe-
riode 2015-2019 ini, sudah ada 
sembilan korporasi dituntut se-
bagai pelaku tindak pidana ko-
rupsi. 
“Kami juga melanjutkan ka-
sus-kasus besar, beberapa bong-
golnya sudah selesai, lainnya ma-
sih proses,” ucapnya. 
Kasus kakap tersebut antara 
lain korupsi megaproyek Kartu 
Tanda Penduduk Elektronik yang 
merugikan keuangan negara 
Rp2,3 triliun. Ada pula perkara 
penerbitan Surat Keterangan 
Lunas Bantuan Likuiditas Bank 
Indonesia (SKL BLBI) untuk ob-
ligor taipan Sjamsul Nursalim 
dengan kerugian negara Rp4,58 
triliun.
Meski banyak yang sudah 
terlaksana, Syarif mengatakan 
masih ada setumpuk pekerjaan 
rumah bagi KPK. “Menginte-
grasikan pencegahan dan penin-
dakan, masih belum maksimal,” ujar-
nya. 
Pimpinan jilid IV ini pun sempat 
merintis pembentukan Koordinator 
Wilayah, untuk pengintegrasian ter-
sebut. “Supaya ada yang bertanggung 
jawab kalau ada penindakan, misalnya 
di Riau, agar tidak terulang lagi.”
Apalagi, kerja para punggawa anti-
korupsi belakangan ini akan semakin 
berat karena revisi Undang-Undang 
KPK yang banyak mempreteli kewe-
nangan lembaga. “Orang yang memper-
juangkan pelestarian lingkungan, hak 
asasi manusia, musuhnya selalu para 
penguasa,” kata dia.
Syarif berpesan kepada seluruh 
pegawai dan Pimpinan KPK mendatang 
agar selalu siap untuk melayari hidup 
yang naik-turun ini, agar tidak terlalu 
kecewa bila terjadi perubahan. 
“Kalau mau memberantas korupsi, 
napasnya harus panjang, niatnya harus 
suci,” ucap Syarif. Dia juga berharap 
masyarakat terus mendukung pembe-
rantasan korupsi dan yakin bahwa yang 
dilakukan KPK semata-mata untuk ne-
gara, bukan menzalimi orang.
Syarif mengungkapkan, selepas 
purna tugas nanti, dia akan kembali 
mengajar dan membuat program-pro-
gram antikorupsi. Dia juga siap mem-
bantu KPK kapanpun jika dibutuhkan. 
Bahkan jika ada orang yang mau melan-
jutkan pendidikan ke luar negeri ter-
khusus insan KPK maka Syarif bersedia 
memberikan rekomendasi.
"Saya juga ingin menulis peng-
alaman saya selama di KPK kalau ada 
waktunya. Terus soal bahwa apakah 
takut setelah di KPK, saya serahkan 
kepada Tuhan saja. Yang penting tuju-
annya bukan untuk mencari musuh," 
ucapnya
