Batam, 25 Juli 2019. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong penyelesaian terkait kepemilikan dan pengelolaan aset di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) pada kegiatan monitoring dan evaluasi (Monev) berkala di Provinsi Kepri pekan ini, Senin hingga Jumat (22-26 Juli).
Rekomendasi tersebut merupakan salah satu kesimpulan yang KPK keluarkan setelah menyelesaikan evaluasi semester pertama 2019 terhadap 4 provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kepulauan Riau.
Salah satu persoalan yang menonjol di Provinsi Kepri yang menjadi fokus pada monev kali ini adalah penyelesaian konflik kepemilikan aset yang melibatkan sejumlah pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Provinsi Kepri, Pemerintah Kota Batam, Tanjung Pinang, Bintan, Karimun dengan Badan Pertanahan Batam dan BUMN.
“Beberapa konflik kepemilikan aset antara pemerintah daerah terjadi di antaranya karena proses pemekaran dan hibah yang tidak tuntas serta keterbatasan bukti administratif kepemilikan,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Contohnya konflik yang terjadi antara Pemerintah Provinsi Riau dengan pemerintah kabupaten atau kota di Provinsi Kepri, yaitu Tanjung Pinang, Bintan dan Batam.
Konflik terjadi terkait dengan aset limpahan dari pemda induk yang tidak dilengkapi dengan kelengkapan administratif akibat proses hibah yang tidak cermat ataupun efek dari tingginya nilai aset yang diperebutkan. Kondisi yang sama juga terjadi antara Pemkot Tanjung Pinang dengan Pemkab Bintan sebagai efek dari pemekaran wilayah.
Tidak hanya antar pemda, konflik terkait penguasaan aset juga terjadi antara pemda dengan perorangan, yayasan maupun perusahaan terkait tanah dan properti lainnya yang bernilai strategis. Di Pemkot Tanjung Pinang, sebagai contoh terdapat tanah hibah dari instansi vertikal dan pemda induk yang dikuasai masyarakat karena ketidakcekatan pemkot dalam mengurus administrasi hibah.
Selain terkait konflik, KPK juga mendorong perbaikan sistem pengelolaan aset atau Barang Milik Daerah (BMD) baik yang bergerak maupun tidak bergerak.
Sejauh temuan KPK, dalam pengelolaan aset-aset daerah tersebut masih tedapat beberapa masalah seperti belum adanya legalitas kepemilikan (sertifikat), masih terdapat aset yang dikuasai oleh pihak ketiga yang tidak berhak, terjadinya konflik kepemilikan aset dengan pihak ketiga serta tidak optimalnya pemanfaatan.
Pada evaluasi semester pertama ini, Provinsi Kepri bersama Provinsi Sumsel menjadi yang terendah dalam hal legalitas kepemilikan aset. Rata-rata tanah bersertifikat di Provinsi Kepri baru sekitar 20% yaitu sebanyak 1.087 bidang tanah dari 5.205 total bidang tanah. Progres selama 6 bulan terakhir juga dinilai lambat. Pada januari 2019 tercatat 1.066 bidang tanah yang telah tersertifikat, namun dalam kurun waktu 6 bulan hanya bertambah 21 aset tanah yang tersertifikasi
Sertifikasi aset tanah merupakan upaya pengamanan aset pemda yang harus menjadi prioritas sebagai bentuk legalitas kepemilikan.
“Evaluasi KPK menemukan bahwa target sertifikasi tanah yang ditetapkan pemerintah daerah setiap tahunnya masih sangat rendah,”ujar Febri.
Karenanya, KPK terus mendorong melakukan percepatan sertifikasi dengan memanfaatkan program PTSL tidak berbayar dari BPN atau Kantor Pertanahan.
Capaian postif tercatat pada sektor OPD. Hasil evaluasi terhadap implementasi sistem monitoring pajak online khususnya untuk jenis pajak hotel, restoran, hiburan, dan parkir di Kota Batam menunjukkan adanya peningkatan penerimaan keempat jenis pajak tersebut sebesar 114% per Juni 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan alat tapping machine device (TMD) yang sudah terpasang sebanyak 414 unit atau sekitar 80% dari target yang akan dipasang sebanyak 516 unit
Total Tayangan Halaman
Sabtu, 27 Juli 2019
KPK Dorong Penyelesaian Konflik terkait Aset di Provinsi Kepulauan Riau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar