Kerusuhan Pilkada Palopo, Momentum Menggugat Pilkada Langsung.
Kerusuhan
massa yang paling mutakhir terjadi di Kota Polopo, Sulawesi Selatan, Minggu
(31/3) lalu akibat ketidakpuasan atas hasil penghitungan suara KPU-Kota dalam
pemilihan wali kota putaran kedua dan adanya dugaan KPU ikut mendukung calon
tertentu untuk dimenangkan. Massa begitu leluasa merusak dan membakar kantor
pemerintah seperti kantor wali kota, kantor camat, kantor KPU-Kota, kantor
Partai Golkar, sejumlah kendaraan bermotor, bahkan kantor media cetak Palopo
Pos. Massa yang mengamuk itu diduga berasal dari pendukung fanatik pasangan
calon Haidir Basir-Thamrin Djufri yang dinyatakan kalah. Mereka membakar apa
yang dianggap menjadi simbol-simbol kecurangan pada pelaksanaan Pilwalkot di
Palopo: Pemerintah Kota, Golkar, KPU, Panwas, PPK.
Enam
hari sebelum kerusuhan di Palopo, sekelompok massa yang dipimpin langsung oleh
calon Wali Kota Gorontalo incunbent, Adhan Dhambea, menyerang dan memaksa masuk
studio siar TVRI Gorontalo (Senin, 25/3/2013). Celakanya, penyerangan itu
justru dilakukan bersama Ketua DPRD Kota Gorontalo karena kecewa atas
pemberitaan TVRI Gorontalo soal keputusan PT-TUN Manado. Ia tidak diloloskan
oleh KPU-Kota Gorontalo karena terindikasi berijazah palsu.
Kerusuhan
semacam ini bukan yang pertama kalinya terjadi pada pelaksanaan Pilkada
langsung di Indonesia, sehingga mengisyaratkan perlunya evaluasi terhadap
sistem Pilkada langsung yang selama ini banyak memunculkan konflik horisontal
di tengah masyarakat. Pembakaran Kantor pemerintah di Kota Palopo menyadarkan
alam bawah sadar kita bahwa di Republik ini, pernah dilaksanakan Pemilihan
melalui perwakilan di DPRD untuk memilih kepala daerah.
Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Ja'far menyarankan
kita agar melakukan evaluasi total terkait Pilkada. Pilkada (langsung) ini
tidak membuat kompetisi fair, sehingga terjadi fanatisme dari salah
satu kelompok yang bertarung.
Dalam sistem demokrasi yang kita sepakati, perselisihan hasil
pemilihan umum sebenarnya bisa diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Setiap
dugaan kecurangan yang terjadi bisa disampaikan ke MK, dan kelak MK-lah yang
memutuskan langkah konstitusional apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan
perselisihan pemilu. Namun seringkali syahwat politik membuat banyak orang
kehilangan akal sehat. Tanpa lagi peduli kepada sistem penyelesaian yang lebih
bermartabat, langsung saja orang terbakar emosinya. Ketika emosi sudah
menguasai diri, maka ekspresinya adalah mengamuk.
Menurut
Marwan Mas dari Universitas “45 Makassar, Kisruh dalam pilkada menunjukkan
ketidakdewasaan elite politik dan massa pendukung dalam berdemokrasi liberal.
Para pasangan calon, tim sukses, dan pendukungnya belum siap menerima hasil
pilkada langsung bahwa pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Jika pun ada
persoalan dan kecurangan, disiapkan jalur untuk menyelesaikannya. Pelanggaran
pemilu ada jalurnya melalui panitia pengawas (panwas), pelanggaran administrasi
oleh KPU-Daerah, dan kesalahan penghitungan suara diselesaikan di Mahkamah
Konstitusi, dan jika pidana murni ditangani oleh kepolisian.
Menurut Karno Raditya, tak heran jika kini banyak pihak yang menggugat sistem Pilkada, agar
ditinjau ulang. Pilkada langsung yang ’mahal’ ini bukanlah demokrasi ideal yang
kita impikan bersama. Pilkada langsung dengan cara politik uang sebenarnya
tidak lebih dari sebuah ‘demokrasi teatrikal’, pseudo demokrasi
atau facade democracy yang tidak banyak manfaatnya untuk
perbaikan bangsa ke depan, karena tidak berkualitas.
Oleh karena
itulah Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden DPR dan KPU perlu segera
melakukan evaluasi dan moratorium Pilkada langsung. Bukannya justru
memaksakan kehendak untuk ”kejar tayang”, hanya karena
ingin membangun citra kepada dunia betapa demokratisnya sistem
politik di negara kita.
Memang tak bisa
dibantah bahwa sekarang telah terlihat bahwa Pilkada langsung menghasilkan
banyak ekses negatif. Maraknya politik uang misalnya, merupakan perluasan dari
politik uang yang tadinya terbatas hanya di kalangan anggota DPRD, kini
meluas di kalangan warga masyarakat pemilih, khususnya masyarakat miskin.
Karno Raditya
juga meyakinkan bahwa premanisme Pilkada langsung di masa reformasi lebih
parah dan lebih canggih serta melibatkan lebih banyak aktor pelaku dibanding
dalam Pilkada dengan sistem perwakilan pada era Orde Baru. Yang lebih
buruk dari itu adalah terjadinya konflik-konflik elit lokal yang merambat ke
masyarakat, sehingga acapkali terjadi kekerasan. Masalah ini jarang sekali
terjadi dalam sistem Pilkada melalui DPRD di era Orde Baru.
Seperti kita
ketahui, pemenang Pilkada langsung umumnya adalah figur-figur
pengusaha atau orang-orang yang didukung uang dan Parpol-Parpol pengusung.
Parpol-parpol pengusung pun mempunyai ’harga’ yang harus ’dibayar’ oleh
kandidat. Kenapa uang begitu penting di sini adalah
karena Pilkada langsung telah menjadi industri dan ’komoditas’ yang
penuh dengan hitungan-hitungan transaksi ekonomi politik. Visi, misi dan
program kandidat yang seharusnya menjadi pilihan utama para’rational voters’,
akhirnya hanya menjadi ’lips service’ belaka sekedar untuk
memenuhi persyaratan prosedural formal.
Sistem dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana
dibeberapa daerah untuk menguras keuangan negara dengan mengajukan anggaran
pilkada secara berlebihan. Baik anggaran untuk KPUD, PANWAS, maupun untuk
Pengamanan yang jumlahnya juga sangat pantas membangun beberapa kantor
pemerintah yang baru. Di Surabaya misalnya, KPUD mengajukan anggaran dua
putaran, dan disetujui oleh DPRD kotaSurabaya sekitar 36 milyar, dari dana ini,
23 milyar diantaranya dianggarkan untuk putaran pertama dan selebihnya
dianggarkan untuk putaran kedua.
Dewasa ini jugan semakin marak praktik-praktik money politics. Pilkada langsung ternyata tidak bisa menghilangkan praktik money politics dimasyarakat, yang sebelumnya berada pada tingkat DPRD. Bagi beberapa golongan, praktik money politicsmenjadi sesuatu yang lumrah. Di jawa timur misalnya, ada tradisi pada saat pemilihan kepala desa masing-masing calon harus menyediakan uang pengganti kerja bagi para konstituen, yang besarnya tergantung kemampuan masing-masing calon. Di beberapa daerah, kegiatan money politics ini malah “dilegalkan”, karena diatur melalui musyawarah di tingkat panitia untuk memutuskan berapa uang pengganti yang harus di bayar oleh masing-masing calon. Hasil penelitian Pusat Studi Demokrasi dan PuSDeHAM menunjukkan bahwa Surabaya masih cukup besar pemilih ditingkat desa mengharapkan imbalan materi pada saat pilkada.
Pemilihan kepala daerah ternyata menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. konsekuensi dari cara pemilihan semacam ini akan meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung fanatik dari tokoh pasangan calon ini.
Menurut Suryapratomo,
para tokoh yang bersaing seharusnya bisa mengendalikan para pengikutnya.
Sebagai pihak yang lebih memiliki sikap bijaksana, seharusnya mereka tidak ikut
larut dalam emosi. Dengan pikiran yang rasional, bisa dipilih jalan yang lebih
terhormat. Sayangnya, banyak politisi yang berpikiran sempit. Mereka bukanlah
negarawan yang mendahulukan kepentingan rakyatnya. Bagi mereka politik sekadar
dilihat sebagai urusan menang dan kalah. Ironisnya, tidak banyak politisi yang
siap untuk kalah.
Masalah yang paling serius yang harus dihadapi pasca
penetapan seperti yang terjadi di Pilwalkot Palopo adalah ketidaksiapan pemilih
untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah
melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, kejadian seperti ini sering
terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon. Beruntung
jika pihak keamanan sigap menghadap tekanan massa yang bertindak brutal.
Tapi diantara semua persoalan tadi, yang paling mendasar dalam pemahaman kami sebagai penyebab terjadinya konflik didaerah saat pilkada langsung selama mengamati Pilkada langsung bermasalah adalah ketidak-siapan pemerintah, anggota KPU, Panwas menerima kekalahan dari calon yang didukungnya. Hal ini diakibatkan oleh kekurangsiapan petugas penyelengara Pilkada tersebut dalam berdemokrasi. Selain sebagai penyelenggara dan pengawas pilkada, mereka juga ikut bermain mendukung calon tertentu sehingga memaksakan segala cara untuk memenagkannya. Sedangkan calon lain tetap dipantau dengan ketat pelanggaran yang dilakukan. Pada sisi lain, mereka membiarkan pelanggaran terjadi oleh calon yang telah sepakat untuk “didukung”.
Kegagalan
pemerintah, KPU dan Panwas/Bawaslu serta aparat penegak hukum untuk
memastikan Pilkada langsung berjalan LUBER, JURDIL dan tanpa money
politics, akan melahirkan penyakit apa yang saya sebut sebagai ’stress
demokrasi’. Stress inilah yang dialami oleh masyarakat yang tetap menjunjung
tinggi asas LUBER JURDIL secara harpiah untuk diimplementasikan. Mereka inilah
yang dengan cepat melakukan reaksi berlebihan untuk mencari keadilan saat semua
pelaksana Pilkada langsung itu tak mampu menjamin pelaksanaan pilkada yg
berkualitas. Caranya bermacam-macam. Ada yang menempuh sesuai aturan, yakni
melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun tatkala pengalaman selama ini,
Mahkamah Konstitusi ternyata dianggap juga tak mampu menjaga asas LUBERJURDIL
itu terlaksana, maka pilihannya adalah mencari keadilan dengan cara sendiri:
Pengadilan Rakyat.
Hal inilah yang
menimbukan konflik yang berujung pada kerusuhan. Demikian pula yang terjadi di
Kota Palopo, rakyat di jantung Tanah Luwu itu merasa tak manemui keadilan dan
kejujuran saat terhelatnya proses pilkada disana.
Kapitalisasi Pilkada
tersebut merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi untuk membangun
demokrasi substantif di Indonesia dan sudah sepantasnya segera ’diluruskan’
kembali.
Sejak Pilkada
langsung dimulai pada Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara untuk memilih
paket Bupati dan Wakil bupati. Maka sejak saat itu, pelaksanaan
Pilkada selalu menjadi sorotan, karena seringkali disertai berbagai persoalan
rumit seperti kecurangan, dugaan penyimpangan dana bantuan sosial, hingga
sengketa terhadap hasil.
Pilkada secara
tidak langsung melalui DPRD mungkin perlu dikaji kembali sebagai salah satu
alternatif. Pilkada melalui perwakilan DPRD merupakan pilihan rasional di
tengah-tengah situasi yang ”berisik’ akibat dari ’politik sebagai panglima’
yang mengakibatkan terbengkelainya pembangunan ekonomi sekarang ini.
Bukankah di era
reformasi dan demokratisasi saat ini, DPRD sudah lebih mudah dikontrol oleh
publik karena masyarakat sudah bebas berorganisasi dan berekspresi, media massa
yang kritis dapat ikut mengontrol, didukung kemajuan teknologi
informasi yang semakin memasyarakat.
So, Mari
bersama menggugat Pilkada langsung dan mengembalikan ke Pemilihan lewat DPRD.
Dengan cara
itu, triliunan rupiah uang negara yang tadinya disiapkan Pemerintah untuk
Pilkada langsung, dapat diselamatkan untuk upaya-upaya Pemerintah untuk
kepentingan lain termasuk untuk memenuhi 20% anggaran untuk pendidikan yang
selama ini belum terpenuhi.
Meski nada menolak kembali sistem perwakilan banyak
disuarakan beberapa pihak. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih menginginkan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dipilih langsung oleh rakyat. Meskipun saat
ini pemerintah sedang mengusulkan adanya pemilihan kepala daerah dikembalikan
kepada DPRD. Mengenai kuatnya wacana Pilkada dikembalikan kepada DPRD agar
tidak ada peristiwa anarkis seperti yang terjadi, Sulawesi Selatan, Hidayat
mengatakan kejadian tersebut bukan karena mekanisme pemilihanya.
"Aturan itu (Pilkada lewat DPRD) harus dalam
Undang-undang. DPR tidak akan setuju mengesahkan UU itu. PKS juga masih setuju
pemilihan langsung," kata Ketua Fraksi PKS Hidayat Nurwahid di Gedung DPR,
Jakarta, Selasa (2/4/2013).
Memang harus dibuatkan
perangkat Undang-undang terlebih dahulu memang menjadi hambatan. Tapi menurut
hemat kami, kita sudah punya pengalaman yang panjang menggunakan pilkada tak
langsung. Nah, tunggu mengembalikan memori kita saja ke masa lalu, saat bangsa
ini rukun dan damai tanpa kerusuhan akibat pilkada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar