Total Tayangan Halaman

Sabtu, 11 Mei 2013

Kerusuhan Pilkada Palopo, Momentum Menggugat Pilkada Langsung.


Kerusuhan Pilkada Palopo, Momentum Menggugat Pilkada Langsung.
Kerusuhan massa yang paling mutakhir terjadi di Kota Polopo, Sulawesi Selatan, Minggu (31/3) lalu akibat ketidakpuasan atas hasil penghitungan suara KPU-Kota dalam pemilihan wali kota putaran kedua dan adanya dugaan KPU ikut mendukung calon tertentu untuk dimenangkan. Massa begitu leluasa merusak dan membakar kantor pemerintah seperti kantor wali kota, kantor camat, kantor KPU-Kota, kantor Partai Golkar, sejumlah kendaraan bermotor, bahkan kantor media cetak Palopo Pos. Massa yang mengamuk itu diduga berasal dari pendukung fanatik pasangan calon Haidir Basir-Thamrin Djufri yang dinyatakan kalah. Mereka membakar apa yang dianggap menjadi simbol-simbol kecurangan pada pelaksanaan Pilwalkot di Palopo: Pemerintah Kota, Golkar, KPU, Panwas, PPK.
               
Enam hari sebelum kerusuhan di Palopo, sekelompok massa yang dipimpin langsung oleh calon Wali Kota Gorontalo incunbent, Adhan Dhambea, menyerang dan memaksa masuk studio siar TVRI Gorontalo (Senin, 25/3/2013). Celakanya, penyerangan itu justru dilakukan bersama Ketua DPRD Kota Gorontalo karena kecewa atas pemberitaan TVRI Gorontalo soal keputusan PT-TUN Manado. Ia tidak diloloskan oleh KPU-Kota Gorontalo karena terindikasi berijazah palsu.

Kerusuhan semacam ini bukan yang pertama kalinya terjadi pada pelaksanaan Pilkada langsung di Indonesia, sehingga mengisyaratkan perlunya evaluasi terhadap sistem Pilkada langsung yang selama ini banyak memunculkan konflik horisontal di tengah masyarakat. Pembakaran Kantor pemerintah di Kota Palopo menyadarkan alam bawah sadar kita bahwa di Republik ini, pernah dilaksanakan Pemilihan melalui perwakilan di DPRD untuk memilih kepala daerah.

Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Ja'far menyarankan kita agar melakukan evaluasi total terkait Pilkada. Pilkada (langsung) ini tidak membuat kompetisi fair, sehingga terjadi fanatisme dari salah satu kelompok yang bertarung.

Dalam sistem demokrasi yang kita sepakati, perselisihan hasil pemilihan umum sebenarnya bisa diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Setiap dugaan kecurangan yang terjadi bisa disampaikan ke MK, dan kelak MK-lah yang memutuskan langkah konstitusional apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan pemilu. Namun seringkali syahwat politik membuat banyak orang kehilangan akal sehat. Tanpa lagi peduli kepada sistem penyelesaian yang lebih bermartabat, langsung saja orang terbakar emosinya. Ketika emosi sudah menguasai diri, maka ekspresinya adalah mengamuk.

Menurut Marwan Mas dari Universitas “45 Makassar, Kisruh dalam pilkada menunjukkan ketidakdewasaan elite politik dan massa pendukung dalam berdemokrasi liberal. Para pasangan calon, tim sukses, dan pendukungnya belum siap menerima hasil pilkada langsung bahwa pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Jika pun ada persoalan dan kecurangan, disiapkan jalur untuk menyelesaikannya. Pelanggaran pemilu ada jalurnya melalui panitia pengawas (panwas), pelanggaran administrasi oleh KPU-Daerah, dan kesalahan penghitungan suara diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, dan jika pidana murni ditangani oleh kepolisian.
                                                                           
Menurut Karno Raditya, tak heran jika kini banyak pihak yang menggugat sistem Pilkada, agar ditinjau ulang. Pilkada langsung yang ’mahal’ ini bukanlah demokrasi ideal yang kita impikan bersama. Pilkada langsung dengan cara politik uang sebenarnya tidak lebih dari sebuah ‘demokrasi teatrikal’, pseudo demokrasi atau facade democracy yang tidak banyak manfaatnya untuk perbaikan bangsa ke depan, karena tidak berkualitas.

Oleh karena itulah Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden DPR dan KPU perlu segera melakukan evaluasi dan moratorium Pilkada langsung. Bukannya justru memaksakan kehendak untuk ”kejar tayang”, hanya karena ingin membangun citra kepada dunia betapa demokratisnya sistem politik di negara kita.

Memang tak bisa dibantah bahwa sekarang telah terlihat bahwa Pilkada langsung menghasilkan banyak ekses negatif. Maraknya politik uang misalnya, merupakan perluasan dari politik uang yang tadinya terbatas hanya di kalangan anggota DPRD, kini meluas di kalangan warga masyarakat pemilih, khususnya masyarakat miskin.

Karno Raditya juga meyakinkan bahwa premanisme Pilkada langsung di masa reformasi lebih parah dan lebih canggih serta melibatkan lebih banyak aktor pelaku dibanding dalam Pilkada dengan sistem perwakilan pada era Orde Baru. Yang lebih buruk dari itu adalah terjadinya konflik-konflik elit lokal yang merambat ke masyarakat, sehingga acapkali terjadi kekerasan. Masalah ini jarang sekali terjadi dalam sistem Pilkada melalui DPRD di era Orde Baru.

Seperti kita ketahui, pemenang Pilkada langsung umumnya adalah figur-figur pengusaha atau orang-orang yang didukung uang dan Parpol-Parpol pengusung. Parpol-parpol pengusung pun mempunyai ’harga’ yang harus ’dibayar’ oleh kandidat. Kenapa uang begitu penting di sini adalah karena Pilkada langsung telah menjadi industri dan ’komoditas’ yang penuh dengan hitungan-hitungan transaksi ekonomi politik. Visi, misi dan program kandidat yang seharusnya menjadi pilihan utama para’rational voters’, akhirnya hanya menjadi ’lips service’ belaka sekedar untuk memenuhi persyaratan prosedural formal.

Sistem dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana dibeberapa daerah untuk menguras keuangan negara dengan mengajukan anggaran pilkada secara berlebihan. Baik anggaran untuk KPUD, PANWAS, maupun untuk Pengamanan yang jumlahnya juga sangat pantas membangun beberapa kantor pemerintah yang baru. Di Surabaya misalnya, KPUD mengajukan anggaran dua putaran, dan disetujui oleh DPRD kotaSurabaya sekitar 36 milyar, dari dana ini, 23 milyar diantaranya dianggarkan untuk putaran pertama dan selebihnya dianggarkan untuk putaran kedua.

Dewasa ini jugan semakin marak praktik-praktik money politics. Pilkada langsung ternyata tidak bisa menghilangkan praktik money politics dimasyarakat, yang sebelumnya berada pada tingkat DPRD. Bagi beberapa golongan, praktik money politicsmenjadi sesuatu yang lumrah. Di jawa timur misalnya, ada tradisi pada saat pemilihan kepala desa masing-masing calon harus menyediakan uang pengganti kerja bagi para konstituen, yang besarnya tergantung kemampuan masing-masing calon. Di beberapa daerah, kegiatan money politics ini malah “dilegalkan”, karena diatur melalui musyawarah di tingkat panitia untuk memutuskan berapa uang pengganti yang harus di bayar oleh masing-masing calon. Hasil penelitian Pusat Studi Demokrasi dan PuSDeHAM menunjukkan bahwa  Surabaya masih cukup besar pemilih ditingkat desa mengharapkan imbalan materi pada saat pilkada.

Pemilihan kepala daerah ternyata menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. konsekuensi dari cara pemilihan semacam ini akan meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung fanatik dari tokoh pasangan calon ini.

Menurut Suryapratomo, para tokoh yang bersaing seharusnya bisa mengendalikan para pengikutnya. Sebagai pihak yang lebih memiliki sikap bijaksana, seharusnya mereka tidak ikut larut dalam emosi. Dengan pikiran yang rasional, bisa dipilih jalan yang lebih terhormat. Sayangnya, banyak politisi yang berpikiran sempit. Mereka bukanlah negarawan yang mendahulukan kepentingan rakyatnya. Bagi mereka politik sekadar dilihat sebagai urusan menang dan kalah. Ironisnya, tidak banyak politisi yang siap untuk kalah.
Masalah yang paling serius yang harus dihadapi pasca penetapan seperti yang terjadi di Pilwalkot Palopo adalah ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, kejadian seperti ini sering terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon. Beruntung jika pihak keamanan sigap menghadap tekanan massa yang bertindak brutal.

Tapi diantara semua persoalan tadi, yang paling mendasar dalam pemahaman kami sebagai penyebab terjadinya konflik didaerah saat pilkada langsung selama mengamati Pilkada langsung bermasalah adalah ketidak-siapan pemerintah, anggota KPU, Panwas menerima kekalahan dari calon yang didukungnya. Hal ini diakibatkan oleh kekurangsiapan petugas penyelengara Pilkada tersebut dalam berdemokrasi. Selain sebagai penyelenggara dan pengawas pilkada, mereka juga ikut bermain mendukung calon tertentu sehingga memaksakan segala cara untuk memenagkannya. Sedangkan calon lain tetap dipantau dengan ketat pelanggaran yang dilakukan. Pada sisi lain, mereka membiarkan pelanggaran terjadi oleh calon yang telah sepakat untuk “didukung”.

Kegagalan pemerintah, KPU dan Panwas/Bawaslu serta aparat penegak hukum untuk memastikan Pilkada langsung berjalan LUBER, JURDIL dan tanpa money politics, akan melahirkan penyakit apa yang saya sebut sebagai ’stress demokrasi’. Stress inilah yang dialami oleh masyarakat yang tetap menjunjung tinggi asas LUBER JURDIL secara harpiah untuk diimplementasikan. Mereka inilah yang dengan cepat melakukan reaksi berlebihan untuk mencari keadilan saat semua pelaksana Pilkada langsung itu tak mampu menjamin pelaksanaan pilkada yg berkualitas. Caranya bermacam-macam. Ada yang menempuh sesuai aturan, yakni melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun tatkala pengalaman selama ini, Mahkamah Konstitusi ternyata dianggap juga tak mampu menjaga asas LUBERJURDIL itu terlaksana, maka pilihannya adalah mencari keadilan dengan cara sendiri: Pengadilan Rakyat.

Hal inilah yang menimbukan konflik yang berujung pada kerusuhan. Demikian pula yang terjadi di Kota Palopo, rakyat di jantung Tanah Luwu itu merasa tak manemui keadilan dan kejujuran saat terhelatnya proses pilkada disana.

Kapitalisasi Pilkada tersebut merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi untuk membangun demokrasi substantif di Indonesia dan sudah sepantasnya segera ’diluruskan’ kembali.

Sejak Pilkada langsung dimulai pada Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara untuk memilih paket Bupati dan Wakil bupati. Maka sejak saat itu, pelaksanaan Pilkada selalu menjadi sorotan, karena seringkali disertai berbagai persoalan rumit seperti kecurangan, dugaan penyimpangan dana bantuan sosial, hingga sengketa terhadap hasil.

Pilkada secara tidak langsung melalui DPRD mungkin perlu dikaji kembali sebagai salah satu alternatif. Pilkada melalui perwakilan DPRD merupakan pilihan rasional di tengah-tengah situasi yang ”berisik’ akibat dari ’politik sebagai panglima’ yang mengakibatkan terbengkelainya pembangunan ekonomi sekarang ini.

Bukankah di era reformasi dan demokratisasi saat ini, DPRD sudah lebih mudah dikontrol oleh publik karena masyarakat sudah bebas berorganisasi dan berekspresi, media massa yang kritis dapat ikut mengontrol, didukung kemajuan teknologi informasi yang semakin memasyarakat.

So, Mari bersama menggugat Pilkada langsung dan mengembalikan ke Pemilihan lewat DPRD.  

Dengan cara itu, triliunan rupiah uang negara yang tadinya disiapkan Pemerintah untuk Pilkada langsung, dapat diselamatkan untuk upaya-upaya Pemerintah untuk kepentingan lain termasuk untuk memenuhi 20% anggaran untuk pendidikan yang selama ini belum terpenuhi.

Meski nada menolak kembali sistem perwakilan banyak disuarakan beberapa pihak. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih menginginkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dipilih langsung oleh rakyat. Meskipun saat ini pemerintah sedang mengusulkan adanya pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD. Mengenai kuatnya wacana Pilkada dikembalikan kepada DPRD agar tidak ada peristiwa anarkis seperti yang terjadi, Sulawesi Selatan, Hidayat mengatakan kejadian tersebut bukan karena mekanisme pemilihanya.

"Aturan itu (Pilkada lewat DPRD)  harus dalam Undang-undang. DPR tidak akan setuju mengesahkan UU itu. PKS juga masih setuju pemilihan langsung," kata Ketua Fraksi PKS  Hidayat Nurwahid di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/4/2013).

Memang harus dibuatkan perangkat Undang-undang terlebih dahulu memang menjadi hambatan. Tapi menurut hemat kami, kita sudah punya pengalaman yang panjang menggunakan pilkada tak langsung. Nah, tunggu mengembalikan memori kita saja ke masa lalu, saat bangsa ini rukun dan damai tanpa kerusuhan akibat pilkada.
                                                                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar