Kasus Dana Bansos, Siapa tersangka berikutnya
Dalam
perkara ini, pihak kejaksaan baru mengajukan Bendahara Pengeluaran Pemprov
Sulsel Anwar Beddu,54, sebagai terdakwa dan telah divonis dua tahun kurungan
penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsidair tiga bulan penjara.
Anwar Beddu oleh majelis hakim dinilai secara meyakinkan telah melanggar pasal 3 juncto pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 31/1999 yang telah diubah kedalam UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Anwar Beddu oleh majelis hakim dinilai secara meyakinkan telah melanggar pasal 3 juncto pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 31/1999 yang telah diubah kedalam UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dalam amar putusan majelis hakim disebutkan sejumlah
nama yang dinilai bertanggungjawab dalam perkara ini. Secara berturut-turut,
hakim menyebut Sekprov sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Andi Muallim,
Kepala Biro Keuangan Yushar Huduri, Kepala Biro Kesejahteraan, Agama dan
Pemberdayaan Perempuan (KAPP) Andi Sumange Alam dan Ilham Gazaling serta Kepala
Bidang Anggaran Biro Keuangan Nurlina dan Bendahara Pengeluaran Anwar Beddu.
Berdasarkan temuan BPK, selain
pihak legislator, pihak eksekutif dalam hal ini pejabat pemerintah
provinsi Sulsel turut terlibat. Pejabat pemerintah berperan secara teknis dalam
proses pencairan proposal fiktif. Kepala Badan Pengelola
Keuangan Daerah Sulsel Yushar Huduri, mantan Kepala Biro Kesejahteraan Agama,
Pemuda, dan Perempuan (KAPP) Ilham A
Gazaling, Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Tautoto Tana Ranggina,dan
mantan Kepala Kesbang Pol Andi Baso Gani, Bendahara Pengeluaran Kas Daerah (BPKD) Sulsel Anwar Beddu dan Nurlina disebut terlibat dalam pencairan di Bank
Sulselbar
Melihat
para saksi dan nama-nama para legislator yang disebut dalam beberapa sidang
pengadilan tipikor menandakan bahwa kasus dana bansos adalah kasus spektakuler.
Bahkan beberapa politisi tersebut disebut-sebut namanya dalam bursa calon
Walikota Makassar pada pemilihan walikota tahun 2014 mendatang. Mereka adalah Andri Arief Bulu, Adil Patudan Yagkin
Pajalangi
Dalam beberapa persidangan terungkap ada 34 nama tenar yang
berstatus politisi rata-rata anggota DPRD Sulsel yang duduk di Komisi A periode
2004-2009 yang disebutkan namanya yakni Muh Roem (Ketua DPRD Sulsel/Partai
Golkar), Andry Arief Bulu (Wakil Ketua DPRD Sulsel/Partai Demokrat), Yagkin
Padjalangi (Anggota DPRD Sulsel/Partai Golkar), Burhanuddin Baharuddin (Anggota
DPRD Sulsel/Partai Golkar), Adil Patu (Anggota DPRD Sulsel/PDK), Doddy
Amiruddin (PAN), Muchlis Panaungi (PDIP), Dan Pontasik (PDIP) dan Zulkifli
(PBB).
Mantan anggota
DPRD Sulawesi Selatan Baso Hamzah menyatakan jika hampir semua legislator
periode 2004-2009 mengurus dana bantuan sosial yang telah merugikan negara
sebesar Rp8,8 miliar sesuai temuan Badan Pemeriksa Keuangan.
“Pada periode itu, hampir semua anggota dewan
mengurus dana bansos. Makanya, saya dan teman-teman ramai-ramai mengurus dana
bansos itu,” ujarnya dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi beberapa waktu yang lalu.
Namun semua politisi yang disebut namanya dipengadilan ramai-ramai
membantahnya. Meski membantah menerima dana
bansos, tetapi faktanya para legislator
mengembalikan dana bansos dengan total sebesar Rp 640 juta.
Modus
melalui LSM Fiktif
BPK telah melakukan cek fisik tahap
awal terhadap 926 lembaga yang mengajukan proposal dan hasilnya, terdapat 201 lembaga
dinyatakan fiktif dengan nilai uang sebesar Rp. 8,8 miliar. 201 lembaga penerima dana bansos, tidak satupun yang tercatat di Badan
Kesbangpol.
Di antara
201 lembaga penerima dana bansos, sebagiann
besar adalah milik para legislator di DPRD Sulsel dan FPRD Kota Makassar.
Sebagai contoh, Mudjiburrahman
yang juga legislator dari Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) diketahui telah
menerima dana Bansos sebesar Rp700 juta pada tahun anggaran (TA) 2008 melalui tujuh
LSM.Tujuh di antaranya adalah Fungsionaris Harian
Pengawasan Publik Dewan Sulsel, Pusat Informasi Pemberdayaan Masyarakat
Indonesia Sulsel, Jaringan Wilayah HAM Sulsel, Yayasan Solidaritas Putih
Abu-abu, Lembaga Sosial Penelitian Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Lembaga Pengkajian dan Riset Sosial Makassar Institute dan Dewan Eksekutif
Hasanuddin Government Studi Club Unhas. Ketujuh lembaga swadaya masyarakat yang
diduga fiktif menerima masing-masing dana bansos sebesar Rp 100 juta.
Aminuddin Amir dari Gerakan Anti Korupsi
Indonesia (GAKI) Sulawesi Selatan memaparkan ke-7 LSM ini
berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, tidak memenuhi
persyaratan untuk mendapatkan gelontoran dana Bansos. Pasalnya, menurutnya,
tidak terverifikasi pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol)
Provinsi Sulsel.
“Bahkan ke-7 LSM
itu dinilai fiktif, karena syarat administrasi seperti struktur kepengurusan,
alamat dan nomor telepon sekretariat tidak ada, sehingga dinyatakan fiktif,” kata Aminuddin
Pananganan Jalan Ditempat
Dalam amar putusan majelis hakim saat sidang vonis Anwar
Beddu, sangat jelas disebutkan sejumlah nama yang dinilai
bertanggungjawab dalam perkara ini. Secara berturut-turut, hakim menyebut
Sekprov sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Andi Muallim, Kepala Biro
Keuangan Yushar Huduri, Kepala Biro Kesejahteraan, Agama dan Pemberdayaan
Perempuan (KAPP) Andi Sumange Alam dan Ilham Gazaling serta Kepala Bidang
Anggaran Biro Keuangan Nurlina dan Bendahara Pengeluaran Anwar Beddu.
Tapi
setelah itu, kasus ini jalan ditempat. Tak ada kemajuan berarti yang dilakukan
Kejati terhadap mereka yang telah menjarah dana Bansos yang semestinya untuk
keperlusn rakyat banyak.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan Fietra
Sany, sempat mengultimatum penyidiknya utuk menyelesaikan kasus dana
Bantuan Sosial (Bansos) Pemprov Sulsel, sampai akhir Maret 2012. Toh sampai
sekarang kasus ini malah masuk peti es alias tidak ditindaklanjuti dengan
serius.
Meski
sebelumnya, Kejati akan membidik 34 eks anggota DPRD
yang menjabat selaku badan anggaran periode 2004-2009. Hal ini lantaran dari 34 anggota Banggar DPRD
Sulsel 2008 ini diduga sebagian besar ikut terlibat dalam dugaan korupsi
anggaran bansos lantaran memiliki pos-pos atau lembaga untuk mendapatkan
bantuan dari Pemprov Sulsel sebagai pengelola anggaran.
Bahkan sejumlah penggiat antikorupsi di Sulawesi Selatan mendesak
pihak kejaksaan agar tidak mengabaikan fakta lain dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi
penyelewengan serta penyalahgunaan sisa bantuan sosial (bansos) Pemprov Sulsel
senilai Rp 26 miliar 2008 lalu.
“Jumlah transaksi yang dianggap tidak wajar senilai
Rp 26 miliar, dan itu perlu diusut ketidakwajarannya,” tegas Wakil Direktur
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Zulkifli Hasanuddin.
Selama ini, kata Zulkifli, kejaksaan hanya fokus
pada kerugian negara senilai Rp 8,8 miliar. Sementara berdasarkan temuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) RI perwakilan Sulsel menyebutkan, total transaksi yang
diduga kuat bermasalah dalam penyaluran dana bansos 2008 sebesar Rp 35 miliar.
Diketahui, dana bansos Pemprov Sulsel 2008
dianggarkan mencapai Rp 151 miliar. "Jadi masih ada sisa kerugian negara
yang dianggap terkesan diabaikan kejaksaan untuk diusut,” terangnya.
Senada, Koordinator Badan Pekerja Anti Corruption Komitte, Abdul Mutalib,
menegaskan, kejaksaan dinilai tidak memiliki itikad baik mengusut sisa kerugian
Rp 26 miliar itu.
Kejati
Lamban dan Tak Profesional
Tantangan
kini berada pada pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel untuk mampu secara
professional dan proporsional dalam membuat berita acara pemeriksaan. Kejati
menunjuk delapan jaksa yang bergabung dalam tim yang dikoordinasi oleh
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati, Chaerul Amir yang membagi dua Tim.
Pihak
Kejati Sulsel dituntut untuk professional dalam menyusun Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Seperti yang dikeluhkan hakim tipikor Makassar, Zulfahmi
(Wakil Ketua Pengadilan Negeri Makassar) bahwa pembuatan BAP terbukti
rancu.
Terpisah,
Koordinator Badan Pekerja Anti Corruption Committe (ACC) Abdul Mutthalib
mengatakan, rencana Kejati Sulselbar untuk melakukan penyidikan lanjutan dengan
adanya dugaan keterlibatan sejumlah legislator termasuk yang masih aktif
sebagai anggota DPRD Sulsel hingga kini, jangan lagi ditunda-tunda untuk
memberikan kepastian hukum terhadap perkara yang tengah berjalan di Pengadilan
Tipikor.
Bahkan Anwar Beddu mengaku menerima dana
pengembalian dana bantuan sosial sebanyak Rp1 miliar dari sejumlah anggota
badan anggaran (Banggar) DPRD Sulsel tiga harin sebelum ia divonis. Hal tersebut
memperjelas bahwa sejumlah anggota DPRD terbukti menerima dana bansos itu.
Mahasiswa Unjuk Rasa di KPK
Sejumlah elemen
mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Sulawesi Selatan (Forma Sulsel) dan Koalisi Mahasiswa
dan Masyarakat Extra Demokrasi (KOMMED) menggelar unjuk rasa di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, (19/10/12).
Mereka meminta
KPK menindaklanjuti kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial di Sulawesi
Selatan. Kasus ini sendiri telah ditangani Pengadilan Tipikor Makassar dan
memvonis Bendahara Pengeluaran Pemrov Sulsel Anwar Beddu dengan hukuman dua
tahun penjara.
Melalui Koordinator Aksinya Ryan, mereka menilai penanganan kasus tersebut sangat tidak adil, karena hanya menghakimi Anwar Beddu, padahal fakta persidangan sangat terang menyebut indikasi keterlibatan Gubernur Sulawesi Selatan, Sekprov Sulsel, Kabiro Keuangan dan Kepala Biro KAPP, Kepala Sub Bagian Anggaran Biro Keuangan, beserta beberapa Anggota DPDR Sulsel, maupun DPRD Kota Makassar.
"Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, dari Rp. 151 miliar dana bansos tersebut, ditemukan penyaluran dana sebesar Rp. 37,082 miliar untuk 926 lembaga yang tidak wajar," ujarnya.
"Korupsi berjamaah ini tidak mungkin jalan, tanpa campur tangan Gubernur selaku pengambil dan penentu kebijakan," ungkapnya.
Mahasiswa mendesak KPK mengambil alih pengusutan kasus korupsi dana Bansos Sulsel yang terbukti melibatkan oknum Pejabat Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam aksinya, mahasiswa membawa spanduk dan berbagai poster bergambar Syahrul Yasin Lampo dengan tulisan Tangkap dan Adili Syahrul Yasin Limpo dan Kroninya.
Gubernur Berkelit Bansos Bukan Kasus
Korupsi
Gubernur Sulawesi
Selatan (Sulsel) Syahrul
Yasin Limpo yakin perkara tersebut tak masuk korupsi. Penggunaan dan penyaluran dana bansos yang
dikelola Pemprov Sulsel pada 2008 tersebut bukan kasus korupsi. Alasannya,
seluruh transaksi keuangan maupun pengeluaran anggaran dari kas Pemprov Sulsel
sudah melalui proses pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Hal
ini tidak lepas dari penerapan e-government yang menghubungkan sebuah sistem di
pemprov dan BPK sehingga setiap transaksi langsung disupervisi auditor.
Syahrul
mengatakan, jika dibandingkan dengan daerah lain seperti Banten, Maluku, maupun
Papua, nilai tersebut tidak seberapa. “Saya jadi kasihan dengan bawahan
terutama Sekprov A Muallim yang jadi ‘berdarah-darah’ karena kasus ini.Tidak ada
yang salah, itu bukan kasus
korupsi,”tegasnya kepada
wartawan.
Syahrul juga menanggapi dingin perihal beberapa demonstrasi yang dilakukan
sekelompok orang di KPK. "Silahkan saja. Saya yakin barang itu tidak menyentuh saya,” papar Syahrul
KPK Ambil Alih
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, KPK bisa mengambil
alih penanganan kasus tersebut kalau Kejati Sulselbar tidak berani menyeret
para pelakunya ke meja hijau untuk diadili. Abraham menjelaskan, khusus di Sulsel, KPK tidak menutup mata.
Pihaknya terus melakukan koordinasi dan supervisi agar pihak- pihak yang
terlibat diseret tanpa pandang bulu.
“Kami mengawasi kejaksaan apakah melakukan pemeriksaan dengan benar atau tidak. Kalau tidak benar, bisa diambil alih,” kata Abraham di Makassar.
Dia mengingatkan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel agar lebih
profesional dalam menyelesaikan kasus korupsi, khususnya anggaran dana bantuan
sosial (bansos) di Pemprov Sulsel. Jika kasus tersebut tidak bisa dituntaskan
maka KPK akan mengambil alih.
“Tolong
pak Kajati selesaikan kasus bansos ini secepatnya karena diduga banyak
melibatkan pejabat teras Pemprov Sulsel sebagai calon tersangka. Jangan menunda
bahkan mengulur-ulur waktu penyidikannya,” kata Abraham Samad.
Demikian
kata Abraham Samad kepada Kajati Sulsel saat menghadiri kegiatan rapat
Pertemuan Koordinasi dan Pemantauan Tindak Lanjut Temuan BPK di Provinsi
Sulsel, Sulbar, Sultra dan Maluku yang digelar di Ball Room Phinisi Hotel Grand
Clarion Makassar, Senin (4/6/12).
Ditegaskan Abraham Samad, Kejati Sulsel tidak memiliki alasan
lagi untuk tidak menyelesaikan kasus bansos Pemprov Sulsel yang diduga
merugikan negara Rp 8,8 miliar. Apalagi bukti keterlibatan sejumlah oknum yang
bertanggungjawab penuh dalam pengelolaan dana bansos sudah sangat jelas adanya.
Sudah
hampir setahun Ketua KPK , Abraham Samad
memberi peringatan Kejati untuk menuntaskan kasus ini. Namun belum ada kemajuan
berarti pengungkapan kasus melibatkan birokrat Pemprov Sulsel dan sejumlah
legislator yangdi DPRD Sulsel dan Makassar.
Belum selesai kasus Korupsi Dana Bansos Jilid I ini, kini muncul lagi
kasus Dana Bansos Sulsel jilid II senilai Rp. 2,3 milyar.
Dana
Bansos itu dikucurkan menjelang Pemilihan Gubernur Sulsel tahun ini. Dana
bansos kali ini menyeret para kepala desa yang diminta mendukung gubenur
incumbent dengan imbalan diberi dana bansos. Aktivis anti korupsi menilai, dari awal sudah
tampak jika penyaluran dana bansos kali ini terkesan
dipaksakan. Mereka berencana akan melaporkan
kasus ini, termasuk dugaan pembuatan proposal fiktif kepada kepolisian. Karena temuan dilapangan, hamper semua proposal sama
model dan bahasanya. Yan membedakan cuma lokasinya saja.
Mawardi dari
Pendidikan Rakyat Anti Korupsi (PeRAK) memaparkan, mereka(kepala-kepala
desa.red)
dijanji Rp 10 juta sesuai nilai diajukan. Namun, sementara hanya Rp 5 juta
diterima. Selebihnya Rp 5 juta dijanjikan akan diterima jika oknum calon dan kepala
daerah tersebut terpilih. Jadi motivasinya harus memenangkan calon tertentu.
Buktinya calon itu menang”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar