Total Tayangan Halaman
Sabtu, 11 Mei 2013
TERSANGKUT KREDIT FIKTIF PEJABAT RSUD BONE DIVONIS 20 BULAN
TERSANGKUT
KREDIT FIKTIF
PEJABAT RSUD BONE DIVONIS 20 BULAN
Makassar --
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Makassar menjatuhkan hukuman 20 bulan penjara
kepada Kepala Bidang Bina Program RSUD. Tenriawaru Kabupaten Bone Marten Benny,
atas kasus kredit konstruksi fiktif proyek rehabilitasi gedung Rumah Sakit Umum
Tenriawaru (RSUD) Tenriawaru Bone yang merugikan negara sebesar Rp. 2,05 miliar
lebih.
Hakim Ketua Muhammad Damis
mengatakan, terdakwa Marten Benny telah melakukan persekongkolan untuk
pengajuan permohonan kredit dan selanjutnya oleh Bank Sulselbar melalui
pengurusan Firman Tamin menyalurkan kredit konstruksi untuk sejumlah perusahaan
tanpa perjanjian tertulis.
Dalam amar dakwaan dan tuntutan,
diketahui kalau Marthen Benny dan Firman Tamin telah menggunakan jabatan untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau perusahaan tertentu yang telah
menyebabkan terjadinya kerugian negara sekira Rp. 2,05 miliar lebih.
Marten Benny dinilai melanggar pasal
3 Undang-undang (UU) Nomor 31/1999 yang telah diubah kedalam UU Nomor 20/2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Majelis hakim menilai Marten Benny telah
melakukan tindakan menyalahgunakan kewenangan dengan bersama-sama mantan Kepala
Bagian Pemasaran PT. Bank Sulselbar cabang Bone Firman Tamin dalam perkara ini berperan
yang mengajukan kredit modal kerja untuk pengerjaan konstruksi rehabilitasi
sejumlah gedung di RSUD. Tenriawaru tahun 2011. Namun demikian vonis yang
dijatuhkan majelis hakim tersebut lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa
Penuntut Umum (JPU) yakni dua tahun penjara.
Dana sebesar Rp. 2,05 miliar lebih
itu yang kemudian dinyatakan sebagai
kredit fiktif, diketahui dibuat seakan-akan menjadi bagian dalam proyek
rehabilitasi pembangunan gedung rumah sakit dan pengadaaan alat-alat kesehatan
tahun 2011 lalu padahal "Terdakwa (Marten Benny) juga sudah mengetahui kalau
tidak ada dana yang disiapkan oleh RSUD Tenriawaru dalam DIPA," ujarnya,
Senin (8/4/2013).
Demi memperlancar pencarian dana di Bank Sulselbar, maka Marthen Benny
selanjutnya membuat kontrak kerja antara pihak RSUD Tenriawaru dengan beberapa
debitur yaitu 1). CV. Pacific Internusa atas nama Suwardi dengan jumlah Rp. 550
juta, kemudian dengan 2). PT. Mega Buana Fumanisa milik Ansyari Ahmad sebesar
Rp. 750 juta, dan 3). Direktur PT. Bharawa Sakti Nuraida Arsyad sebesar Rp. 750
juta.
Dalam kasus ini majelis hakim
Pengadilan Tipikor Makassar juga sudah menjatuhkan hukuman 20 bulan penjara
terhadap Firman Tamin. Dalam kasus ini Firman Tamin yang diserahi surat kontrak
fiktif tersebut dan tanpa melakukan peninjauan lokasi dan proses verifikasi
terlebih dahulu sebelum melakukan pencairan pinjaman kredit konstruksi.
Disinyalir bukan cuma soal dana proyek
fiktif yang telah merugikan negara sebesar Rp. 2,05 miliar lebih itu saja, sementara
ini dari pihak kepolisian dan kejaksaan juga menelusuri adanya aliran dana fee
lobi dan pencairan anggaran dari Kementrian Kesehatan sebesar tujuh persen.
Dalam kasus ini diidentifikasi ada delapan orang yang kemudian disebut dalam
dakwaan JPU telah mengatur dan merekayasa pelaksanaan proyek ini.
Delapan orang tersebut masing-masing adalah
Marten Benny, Firman Tamin, kontraktor bernama H. Page dan Ichlas Siradju,
seorang pejabat RSUD Tenriawaru Syahrir, Anggota DPRD Bone yakni Ahmad
Sugianto dan A. Darwis Masilinri dan seorang akademisi bernama Andi Syarifuddin.
Menanggapi putusan majelis hakim, JPU
Kejari Bone Erwin mengaku pikir-pikir soal keputusan hukuman yang lebih ringan
dibandingkan tuntutan, apakah akan melakukan banding ke Pengadilan Tinggi
Makassar atau tidak.
"Kami pikir-pikir dulu”, kata Erwin dihadapan majelis hakim.
Di tempat terpisah, melalui penasehat
hukumnya (Jamaluddin) terdakwa Marten Benny, juga menyatakan pikir-pikir dengan
putusan majelis hakim tersebut.
Aminuddin Amir
Dibawah Nakhoda Zainuddin Hasan, Bulukumba Dalam Pusaran Korupsi
Dibawah Nakhoda Zainuddin Hasan,
Bulukumba Dalam Pusaran Korupsi
Bulukumba- Tipikor
Investigasi, Jika kita melakukan searching diinternet tentang korupsi di
Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, maka langsung puluhan hasil
dari pencarian google akan langsung muncul. Hal ini sangat berbeda jika kita
mencari kasus korupsi didaerah lain di Sulawesi Selatan. Tingginya angka
korupsi di Kabupaten yang berjuluk Butta Panrita Lopi ini disesalkan para
aktivis anti korupsi di Sulawesi Selatan.
“Saat kepemimpinan Bupati Zainuddin ini, semua jenis korupsi
ada di Bulukumba” Seloroh H. Jafar Salassa saat ditemui di Warung kopi Fly
Over.
Aktivis anti korupsi dari Gerakan Anti Korupsi Indonesia ini
miris melihat melihat tingginya angka korupsi di Bulukumba. Pria yang akrab
disapa Haji Aco ini menuding angin korupsi mulai berhembus di Bulukumba saat
Kabupaten penghasil Phinisi ini di nakhodai oleh Bupati Zainuddin Hasan. Karena
dari upaya penelusurannya, ternyata Zainuddin juga menyisakan banyak persoalan
korupsi di Pohuwatu di Gorontalo, saat menjabat Bupati disana.
“Bahkan sebenarnya kasusnya sudah ada yang masuk ke meja
Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi saya tidak tahu kenapa tidak diproses lebih
lanjut” lanjut Ketua Dewan Penasehat Gerakan Anti Korupsi Indonesia Sulawesi Selatan.
Bulukumba Darurat Korupsi
Mahasiswa Bulukumba mengajak masyarakat untuk turut
serta melawan korupsi disampaikan dalam aksi demo memperingati hari anti
korupsi yang berlangsung didepan kantor Bupati Bulukumba dijalan Jenderal Sudirman,
beberapa waktu yang lalu. Sejumlah elemen masyarakat yang ikut berdemo hari
anti korupsi adalah PMII Bulukumba, HMI Bulukumba, Taruna Merah Putih,
Panritalopi Watch Coruption, Aliansi Gerakan Mahasiswa Bulukumba, serta Aliansi
Indonesia.
PMII Bulukumba meminta korupsi di Bulukumba di bumi hanguskan. Banyak
terjadi dugaan korupsi yang dilakukan pejabat eksekutif dan legislatif. Menurut
mereka, korupsi cukup menyengsarakan rakyat di daerah yang berjuluk Butta
Panritalopi. Pengunjuk rasa mendesak polisi mengusut dugaan korupsi hingga
tuntas. Mahasiswa mengajak masyarakat Bulukumba untuk turut serta melawan
tindak pidana korupsi.
Terpisah,
Aktivis Aliansi Masyarakat Penegak Demokrasi (AMPD) Bulukumba Muhammad Musafir
berharap kepada ke polisi agar serius mengusut semua kasus korupsi di daerah
ini. Dia menjelaskan, seharusnya pihak penegak hukum, bukan hanya pada kasus
tertentu.
“Ada beberapa kasus yang ditangani polisi. Tapi, sampai sekarang tidak
diketahui dimana ujungnya. Ini harus disikapi secara serius pihak kepolisian ke
depan, supaya kerugian negara bisa dikembalikan kas daerah,” ujar Musafir.
“Memang betul,
didaerah ini semua jenis korupsi ada dan pelaku mulai dari Kepala sekolah,
Kepala Desa, Anggota Dewan sampai Bupatipun ikut ditengarai terlibat dalam
beberapa kasus” Jelasnya kepada Tipikor Investigasi via Telpon.
Korupsi yang dilakukan oleh kepala desa ada Korupsi Anggaran
Dana Desa (ADD) . Kasus ini menumpa tiga kepala desa. Mereka adalah Kades
Bontotangnga, Kecamatan Bontotiro, Taufiq Sulaiman Ismail, yang diduga korupsi
ADD Rp104 juta tahun anggaran (TA) 2010. Kemudian Kades Lembenna, Bontobahari,
Amar Ma’ruf, terkait dugaan penyelewengan ADD Rp100 juta TA 2010-2012, dan
Kades Borong Herlang Sukwan terlibat korupsi PBB sebesar Rp32 juta.
Adapula kasus yang mengkorupsi beras untuk orang miskin. Muhammad Badri A.S., mantan Sekretaris Desa
Bonto Bangun, Kecamatan Rilau Ale ditetapkan sebagai tersangka karena diduga
menjual beras seharga Rp 25 ribu per 15 kilogram kepada warga yang masuk dalam
daftar rakyat miskin di Desa Bonto Bangun. Padahal harga yang dipatok adalah Rp
24 ribu per keluarga. Jumlah kerugian negara ditaksir Rp 45 juta.
Kepala
Sekolah Menengah Atas (SMA) Sanur Balibo, Kecamatan Kindang, Bulukumba,
Muhammad Sabir resmi ditahan di Mapolres Bulukumba. Muhammad Sabir ditahan
lantaran diduga terlibat kasus korupsi anggaran Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) sebesar Rp64 juta lebih pada 2010 lalu.
Korupsi yang
melibatkan anggota dewan adalah Korupsi pengurangan bobot pin legislator
Bulukumba, korupsi dana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
yang melibatkan dua anggota DPRD yakni A. Muttamar dan Juharta
yang sekarang sudah meringkus di tahanan.
Masih banyak lagi kasus korupsi yang lain seperti Korupsi pada proyek
peningkatan jalan Teko Lajae senilai Rp7,9 miliar di Dinas Bina Marga, korupsi
dana DAK di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dispora), korupsi PT POS
jilid dua. Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis
Masyarakat (Pamsimas) yang berlokasi di Ela-ela, Kelurahan Kalumeme, Kecamatan
Ujung Bulu.
Ada pula korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk 65 sekolah di Bulukumba
yakni mobiler sekolah berupa komputer, CD Interaktif (OHP), mesin ketik
sebanyak 100 juta persekolah. Yang mana total keseluruhan Rp6,5 miliar.
Selebihnya adalah kasus pembobolan brankas Dinas Pendidikan sebesar Rp750
juta, korupsi dana insentif (Pajak Bumi dan Bangunan) PBB sebesar Rp1,750
miliar, markup penggunaan anggaran
pembangunan jembatan Basokeng di Kecamatan Bonto Tiro dan Herlang, korupsi dalam penyaluran beras warga miskin
(raskin) yang diduga merugikan negara sekitar Rp 500 juta, korupsi kesehatan gratis 2009 sebesar Rp4,6 miliar di Rumah Sakit Umum Sulthan Daeng Raja Bulukumba, proyek pengadaan instalasi air bersih bertenaga bayu atau kincir angin
senilai Rp4,2 miliar, kasus penunjukan langsung proyek Dinas Kesehatan yang
tanpa melalui proses tender sebelumnya serta dugaan
manipulasi anggaran bantuan bedah rumah sekitar Rp4.
Ada juga dugaan kasus korupsi yang dilakukan mantan Bupati Bulukumba
Sukri Sappewali. Mantan bupati ini dituding telah menggelapkan sejumah uang
negara di antaranya kasus dugaan korupsi insentif pajak bumi bangunan tahun
2006 sebesar Rp1,750, serta
penyelewengan dana bantuan bencana alam tahun 2007 sebesar Rp 5 miliar.
Korupsi juga menggerogoti anggaran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM). Mappasomba, ketua unit pengelola kegiatan (UPK) itu menjadi tersangka
kasus korupsi anggaran PNPM Mandiri di Kecamatan Rilau Ale. Jumlah dugaan
kerugian negara dari hasil pengembangan penyelidikan mencapai Rp 600 juta.
Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bulukumba, Amar Ma'ruf,
meyakini telah terjadi penyelewengan dana SILPA APBD 2011. Sebab saat dewan
meminta laporan pertanggungjawaban, Dinas Pengelola Keuangan Daerah Bulukumba
tidak mampu memperlihatkan bukti akurat soal peruntukan anggaran nilai Rp 20
miliar dari total SILPA sebesar Rp 40 miliar lebih.
Korupsi Dana Alkes, Bupati terlibat
Dugaan korupsi
yang paling mendapat perhatian masyarakat Bulukumba adalah korupsi pengadaan
alat kesehatan (alkes) senilai Rp20 miliar di Dinas Kesehatan (Dinkes)
Bulukumba. aktivis
yang tergabung dalam Komunitas Pemuda Anti Korupsi (KAPAK) Bulukumba menuding
Bupati Kabupaten Bulukumba, Zainuddin Hasan bersama Kepala Dinas (Kadis)
Kesehatan Bulukumba, Dian Weliyati Kabier, terlibat dalam kasus dugaan korupsi
pengadaan alat kesehatan (alkes). Diketahui, proyek pengadaan tersebut menelan
dana Rp20 miliar Tahun Anggaran 2011 lalu
Dugaan korupsi pengadaan
alkes Rp20 miliar tahun 2011 yang melibatkan pejabat di Dinas Kesehatan
(Dinkes) Bulukumba, sepertinya masih terus bergulir di Polres Bulukumba,
sehingga wajar jika masyarakat menilai polisi lambat dalam menangani kasus itu,
bahkan terkesan menutup-nutupi kasus dugaan korupsi yang diduga merugikan
keuangan negara
Salah seorang anggota legislator PPRN asal daerah pemilihan
Gantarang-Kindang Bulukumba, Muh Bakti mempertanyakan kemajuan kasus dugaan
mark up anggaran alat kesehatan (Alkes) di Dinas Kesehatan, Pemerintah
Kabupaten Bulukumba, tahun 2011 lalu.
Aktivis anti korupsi menilai,
kinerja penyidik tim tindak pidana korupsi Polres Bulukumba lamban dalam
mengungkap dan menuntaskan kasus ini. Aktivis ini pun mensinyalir ada upaya
kepolisian untuk menghentikan kasus alkes yang telah berproses hukum sejak lima
bulan lalu.
Kalau penyidik betul-betul serius
memproses kasus ini, kami yakin Bupati Bulukumba terindikasi kuat terlibat
kasus alkes ini. Kami juga meminta polisi melibatkan tim independen guna
menepis keraguan terhadap kinerja kepolisian,” ungkap Rudi Tahas, salah seorang
penggiat anti korupsi.
Sementara Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) wilayah Bulukumba
Makmur Masda mengemukakan penyidik seharusnya bukan hanya memprioritaskan kasus
SMA Sanur Balibo. Menurutnya, ada beberapa kasus sebelumnya yang lebih besar
namun tidak diketahui arahnya dimana.
“Kami memberikan apresiasi terhadap polisi karena berhasil mengungkap kasus korupsi. Hanya, saya berharap kasus lain juga diusut, sebab ada beberapa kasus korupsi yang ditangani pihak polisi tidak ada tindaklanjutnya. Padahal, sudah nyata ada kerugian negara didalamnya,” ungkap Makmur.
Penyelidikan dugaan korupsi proyek
pengadaan alat kesehatan (alkes) Puskesmas Dinas Kesehatan (Dinkes) Bulukumba,
diduga mandek di tangan penyidik. Pasalnya, hingga kini, proyek yang menelan
anggaran senilai Rp20 miliar itu terkesan belum ada perkembangan berarti sejak
pemeriksaan berlangsung 2012 lalu.
Selain itu, Polres Bulukumba
terkesan sengaja menutupi kasus korupsi Alkes yang diduga melibatkan beberapa
nama pejabat tinggi di daerah ini. Buktinya, setiap kali dikonfirmasi khususnya
perkembangan kasusnya baik dari kalangan aktivis maupun media, pihak kepolisian
tidak memberikan tanggapan berarti. Penyidik menghindari pertanyaan mengenai
alkes.
Anggota Komisi B DPRD Bulukumba Zulkifli
Saiye menegaskan, mandeknya pengusutan kasus korupsi ini lantaran Kejari
terkesan tidak serius. Padahal, kata Zulkifli, oknum yang terlibat sudah jelas
termasuk kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus tersebut. Bahkam Zulkifli
tidak segan segan mengatakan bahwa upaya ini adalah bagian dari Kejari untuk
memperlambat proses hukum sehingga pada akhirnya kasus tersebut terlupakan.
Zulkifli mengatakan, jika Kejari masih juga
memperlambat masalah ini, pihaknya akan mencoba menemui Kejari untuk meminta
penjelasan secara resmi terkait masalah ini. Apalagi, kasus ini sudah lama
ditunggu masyarakat kelanjutannya agar jelas siapa yang terlibat di dalamnya.
Jika persoalan ini dibiarkan akan membuat oknum yang diduga terlibat akan
meremehkan hukum.
Kasus lain yang ditengarai oleh masyarakat Bulukumba diduga melibatkan
Bupati Zainuddin Hasan, adalah rehab rumah jabatan Sekwilda sebanyak Rp375 juta
pada tahun 2006 atas dasar SK Bupati Bulukumba, padahal ini menyalahi Kepres 80
tahun 2004.
Kajari Lamban,
Pengusutan beberapa kasus korupsi yang
sampai saat ini belum jelas statusnya membuat Kejaksaan Negeri (Kejari)
Bulukumba mendapat tudingan macam-macam. Salah satunya bahwa lembaga penegak
hukum tersebut sengaja memperlambat penanganan kasus korupsi.
Padahal sebelumnya, Kejari Bulukumba
menjanjikan kasus tersebut sudah rampung Desember dan segera dilimpahkan ke
pengadilan. Faktanya, hingga saat ini kasus tersebut masih simpang siur dan
dengan berbagai alasan Kejari hingga saat ini masih berkutat dengan persoalan
kelengkapan berkas. Anehnya, setiap kali dipertanyakan masalah ini, Kejari
selalu mengklaim berkas sudah rampung dan dalam waktu yang tidak lama sudah
berada di tangan majelis hakim.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Bulukumba
Raden Sjamsul Arifin secara tegas membantah tudingan ini. Dia mengaku saat ini
sedang dalam tahap merampungkan kasus tersebut. Dia berdalih keterlambatan
penyerahan berkas ini tidak ada hubungannya dengan upaya memperlambat
pengusutannya.
Selain itu, Sjamsul Arifin juga mengaku sudah memiliki bukti kuat dan optimis kasus ini bisa menjerat oknum yang diduga terlibat tersebut. Jaksa yang ditugaskan, kata dia, sudah bekerja keras untuk mengungkap kasus ini dan bukan merupakan pekerjaan mudah dalam pengusutannya. "Kami tidak pernah berupaya untuk bermain-main tetapi ingat kami bekerja harus ada dasarnya," kata dia
Selain itu, Sjamsul Arifin juga mengaku sudah memiliki bukti kuat dan optimis kasus ini bisa menjerat oknum yang diduga terlibat tersebut. Jaksa yang ditugaskan, kata dia, sudah bekerja keras untuk mengungkap kasus ini dan bukan merupakan pekerjaan mudah dalam pengusutannya. "Kami tidak pernah berupaya untuk bermain-main tetapi ingat kami bekerja harus ada dasarnya," kata dia
Polres Mandul tangani Korupsi Alkes
Kasus Alkes ini masih
berproses di Polres Bulukumba meski penyidik telah menetapkan satu orang
tersangka. Bahkan kasus ini telah ditangani oleh dua kasat Reskrim, namun belum
juga dipengadilankan.
“Kami mendesak Kapolda Sulsel,
segara mengevaluasi kinerja Kapolres Bulukumba terkait penyidikan dugaan
korupsi pengadaan alat kesehatan di Bulukumba senilai Rp20 miliar,”kata
Kordinator Lembaga Study Hukum dan Advokasi Rakyat ( Laskar) Bulukumba, Andi
Aswar.
Aswar mendesak Kapolres
Bulukumba untuk segera mundur dari jabatannya jika tidak mampu menyelesaikan
kasus Alkes sebesar Rp20 milir tahun 2011 dan dugaan gratifikasi kepala dinas
Kesehatan sebesar Rp50 juta
Aktivis Pemuda Pancasila (PP)
Bulukumba, Irwanto mengemukakan, ada kejangalan lain dalam penanganan kasus ini
adalah terjadinya perbedaan dalam menetapkan tersangka alkes. Dimana, versi
Polda Sulsel menyebutkan dua nama tersangka yakni pejabat pembuat komitmen
(PPK) proyek Muhammad Alwi bersama rekanan Deny.
Direktur Kopel Bulukumba Makmur
Masda mengaku, jika Polres Bulukumba sudah tidak bisa menyelesaikan kasus alkes
tersebut, maka sebaiknya serahkan ke Kejaksaan atau ke Polda Sulsel.
Menurutnya, sejauh ini polisi terkesan tidak serius untuk menyelesaikan,
padahal, bukti adanya penyelewengan dana sudah cukup butki karena tersangka
sebelumnya sudah ada.
Kepala Satuan Reserse dan
Kriminal (Kasatreskrim) Polres Bulukuma AKP Andi Alimuddin mengungkapkan, bahwa
proses pengusutan kasus korupsi ini sedang tahap perlengkapan berkas, sebelum
dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Bulukumba.
Kapolres Bulukumba AKBP Jafar Sodiq mengaku sudah memeriksa sekitar 40 saksi dan telah menyita sejumlah dokumen terkait kasus ini. Hanya saja pihaknya belum bias mengumumkan nama tersangka sebab sejauh ini belum ada hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengetahui kerugian negara yang timbul.
Kapolres Bulukumba AKBP Jafar Sodiq mengaku sudah memeriksa sekitar 40 saksi dan telah menyita sejumlah dokumen terkait kasus ini. Hanya saja pihaknya belum bias mengumumkan nama tersangka sebab sejauh ini belum ada hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengetahui kerugian negara yang timbul.
DISTRIBUSI SOAL UJIAN TERSENDAT, UJIAN NASIONAL DIMUNDURKAN
DISTRIBUSI SOAL UJIAN TERSENDAT,
UJIAN NASIONAL DIMUNDURKAN
Sebagaimana
dikutip dari Situs Sekretriat Kabinet Republik Indonesia hari ini Minggu
(14/4), Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh meminta maaf adanya persoalan
teknis yang menyebabkan jadwal Ujian Nasional (UN) 2013 tingkat SMA/MA dan
paket C di 11 provinsi diundur dari jadwal semula Senin (15/4) besok baru bisa
dilaksanakan pada 18 April mendatang.
Kemdikbud,
lanjut M. Nuh, sudah bekerja hingga dinihari untuk membantu percetakan
tersebut. Namun upaya tersebut masih belum berhasil, sehingga diputuskan
pelaksanaan UN di 11 provinsi.
"Kami
dari kementerian meminta maaf atas segala persoalan teknis yang kita hadapi
untuk menyelesaikan UN ini,” kata Mendikbud M Nuh dalam jumpa pers yang digelar
mendadak di Gedung A Lantai 1, Kantor Kemdikbud, Senayan, Jakarta, Minggu
(14/4).
Sebagaimana
diberitakan sebelumnya, terkait dengan adanya kendala teknis dalam pengepakan
naskah soal di percetakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
mengumumkan penundaan jadwal Ujian Nasional (UN) 2013 mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada jenjang SMA/MA/SMALB/SMK dan Paket C di 11 provinsi.
Ke-11
provinsi yang mengalami pergeseran jadwal UN tersebut adalah: Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur.
Mendikbud
menambahkan, pihaknya telah mengkomunikasikan perihal pengunduran jadwal UN ini
kepada pihak dinas pendidikan untuk disampaikan ke sekolah dan ke peserta
didik. Dia juga telah melakukan komunikasi kepada sejumlah gubernur yaitu
Gubernur Bali, Gubernur Kalimantan Timur, dan Gubernur Sulawesi Selatan. “Dan
tentu saya jamin untuk disampaikan ke publik. Gubernur siap melaksanakan
pergeseran dari jadwal semula,” katanya.
Terkait Ditundanya Ujian
Nasional di Sulawesi Selatan, Wakil Rektor I Unhas Prof.Dr.Eng. Dadang Ahmad
Suriamiharja, M.Eng mmenyesalkan penundaan ini” Mestinya sudah dapat
diantisipasi sebelumnya, sehingga tidak seperti sekarang ini. Penundaan itu
akan berimplikasi bagi 800 tenaga pengawas dari Unhas didaerah. Mereka akan
berada dilokasi lebih lama dari jadwal semula.
“Itupun kami masih tetap menunggu perintah Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan apakah tetap dimundurkan rabu, atau kamis” tambah prof Dadang.
Informasi yang didapat Tipikor Investigasi, Ujian Nasional
kali ini yang terdiri dari 20 paket, harus dimundurkan sampai hari kamis untuk
dimulai, mundur tiga hari dari jadwal semula.
Sementara
itu, Sekretaris Dinas Pendidikan, Olahraga dan Pemuda Kabupaten Pangkep Drs Abd
Hamid mengatakan, memang Dinas Pendidikan Kabupaten Pangkep belum mendapat
surat resmi dari pusat, pihaknya sudah berusaha menyampaikan kepada semua
kepala sekolah tingkat SLTA didaerah ini termasuk kepada orang tua siswa untuk
menyampaikan kepada siswa.
Menurut
Drs Abd Hamid palaksanaan Ujian Nasional untuk hari Senin akan ditunda pada
hari Jum'at (19/4/2013), dan untuk hari Selasa ditunda pada hari Senin
(22/4/2013), sementara untuk hari Rabu dan hari Kamis pelaksanaan tetap sesuai
jadwal.
Reaksi penundaan
Ujian Nasional kali ini juga datang dari
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Asman Abnur. Dia berpendapat apabila
terdapat kelalaian, maka proses pemilihan lelang tersebut harus dikaji secara
menyeluruh.
Dalam mencetak soal,
seharusnya ada kriteria dari Kemendikbud terhadap perusahaan yang akan mencetak
soal-soal UN. Salah satunya, yaitu kriteria standar yang ditetapkan pemerintah
bersama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
“Selain itu,
perusahaan tersebut harus mampu menyalurkan soal yang dicetak ke seluruh
Indonesia. Dalam hal PT. Ghalia, mereka tidak mampu menyalurkan soal UN ke-11
provinsi di wilayah Indonesia tengah dengan tepat waktu, yang terjadi justru
sebaliknya” tegasnya legislator yang membidangi Pendidikan, Pemuda, Olahraga,
Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan ini.
Masalah di Percetakan
Dalam jumpa pers itu, Mendikbud M. Nuh
mengemukakan, untuk mencetak materi UN kali ini pihaknya menunjuk 6 percetakan.
Dari keenam percetakan itu, 5 di antaranya sudah siap, sedang 1 percetakan
yaitu Galia Printing Indonesia yang tugasnya menyebar soal ke Indonesia Tengah
sedang berusaha sekuat tenaga.
Direktur
Ghalia Indonesia Printing Hamzah Lukman sebagaimana dikutip www.kemdiknas.go.id
mengatakan, penyebab keterlambatan pencetakan karena materi yang dicetak
kompleks, dan area percetakan terlalu penuh untuk menghimpun bahan materi tadi.
Menurut
Mendikbud, pihaknya telah menggandeng TNI AU untuk melakukan jadwal pengiriman
naskah UN yang terlambat tersebut. “Ada 4 hercules, 1 foker, 1 boeing 737 yang
sudah disiapkan, TNI AU, siap mendukung pengiriman ini. Setelah selesai
pengepakan kita bawa ke Lanud Halim sesuai jalur dan selesai dikirimkan,”
paparnya.
Mendikbud
menjelaskan, jadwal pelajaran yang diujikan di 11 provinsi tersebut tidak
banyak berubah. Untuk jadwal hari Kamis tetap dilaksanakan Kamis, namun untuk
Rabu (17/4), diganti jadi Jumat (19/4). Sementara jadwal yang sedianya diujikan
pada Senin – Selasa (15-16 Apri)l berubah jadi Senin-Selasa (22-23 April).
Khusus untuk jadwal UN SMK tetap berjalan seperti biasa.
Adapun untuk jadwal UN di 22 provinsi
lainnya, menurut Mendikbud, akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal semua, yaitu
mulai Senin (15/4) besok. Selanjutnya, untuk ujian susulan, Nuh mengatakan,
akan dilaksanakan mulai 29 April.
"Untungnya,
dalam setiap zona, Indonesia Barat, Tengah, Timur, itu soalnya berbeda. Karena
soalnya berbeda, maka untuk 22 provinsi yang lain, tetap dilaksanakan sesuai
jadwal, mulai Senin esok," kata M. Nuh.
Saat
menyampaikan konperensi pers itu, Mendikbud Muhammad Nuh didampingi oleh Wakil
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim, Inspektur
Jenderal Kemdikbud Haryono Umar, Direktur Jenderal Pendidikan Menengah
Kemdikbud Hamid Muhammad, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) M.Aman
Wirakartakusumah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Khairil
Anwar, dan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Syawal Gultom
Selanjutnya Mohammad Nuh mengimbau kepada
siswa-siswa sekolah menengah atas di 11 provinsi yang mengalami penundaan ujian
nasional (UN) untuk memanfaatkan waktu dengan tetap belajar untuk ujian.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
ikut prihatin dengan penundaan ini. “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertanya
kepada saya soal ujian nasional. Alasan SBY menelpon dirinya karena butuh
kepastian tentang kesiapan digelarnya UN. Pak Presiden telepon saya, bertanya
kapan UN? Saya sampaikan besok Senin. Namun saya juga sampaikan ada persoalan
teknis, ada percetakan yang belum rampung," kata Nuh .
Dia menambahkan, SBY menginstruksikan
untuk membuat tim investigasi terkait keterlambatan UN disejumlah provinsi yang
dimaksud. Ia juga dituntut untuk menjelaskan kepada publik terkait pergeseran
jadwal UN. "Beliau sampaikan, lakukan investigasi, kemudian jelaskan ke
publik duduk perkaranya," imbuhnya.
Terkait sanksi yang akan diberikan kepada percetakan
yang telat menyelesaikan soal-soal UN, Nuh mengatakan pihaknya belum memikirkan
hal tersebut."Soal sanksi, saya kira nanti dulu karena kami harus fokus
untuk menyelesaikan masalah keterlambatan soal ujian ini," kata paparnya.
Kerusuhan Pilkada Palopo, Momentum Menggugat Pilkada Langsung.
Kerusuhan Pilkada Palopo, Momentum Menggugat Pilkada Langsung.
Kerusuhan
massa yang paling mutakhir terjadi di Kota Polopo, Sulawesi Selatan, Minggu
(31/3) lalu akibat ketidakpuasan atas hasil penghitungan suara KPU-Kota dalam
pemilihan wali kota putaran kedua dan adanya dugaan KPU ikut mendukung calon
tertentu untuk dimenangkan. Massa begitu leluasa merusak dan membakar kantor
pemerintah seperti kantor wali kota, kantor camat, kantor KPU-Kota, kantor
Partai Golkar, sejumlah kendaraan bermotor, bahkan kantor media cetak Palopo
Pos. Massa yang mengamuk itu diduga berasal dari pendukung fanatik pasangan
calon Haidir Basir-Thamrin Djufri yang dinyatakan kalah. Mereka membakar apa
yang dianggap menjadi simbol-simbol kecurangan pada pelaksanaan Pilwalkot di
Palopo: Pemerintah Kota, Golkar, KPU, Panwas, PPK.
Enam
hari sebelum kerusuhan di Palopo, sekelompok massa yang dipimpin langsung oleh
calon Wali Kota Gorontalo incunbent, Adhan Dhambea, menyerang dan memaksa masuk
studio siar TVRI Gorontalo (Senin, 25/3/2013). Celakanya, penyerangan itu
justru dilakukan bersama Ketua DPRD Kota Gorontalo karena kecewa atas
pemberitaan TVRI Gorontalo soal keputusan PT-TUN Manado. Ia tidak diloloskan
oleh KPU-Kota Gorontalo karena terindikasi berijazah palsu.
Kerusuhan
semacam ini bukan yang pertama kalinya terjadi pada pelaksanaan Pilkada
langsung di Indonesia, sehingga mengisyaratkan perlunya evaluasi terhadap
sistem Pilkada langsung yang selama ini banyak memunculkan konflik horisontal
di tengah masyarakat. Pembakaran Kantor pemerintah di Kota Palopo menyadarkan
alam bawah sadar kita bahwa di Republik ini, pernah dilaksanakan Pemilihan
melalui perwakilan di DPRD untuk memilih kepala daerah.
Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Ja'far menyarankan
kita agar melakukan evaluasi total terkait Pilkada. Pilkada (langsung) ini
tidak membuat kompetisi fair, sehingga terjadi fanatisme dari salah
satu kelompok yang bertarung.
Dalam sistem demokrasi yang kita sepakati, perselisihan hasil
pemilihan umum sebenarnya bisa diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Setiap
dugaan kecurangan yang terjadi bisa disampaikan ke MK, dan kelak MK-lah yang
memutuskan langkah konstitusional apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan
perselisihan pemilu. Namun seringkali syahwat politik membuat banyak orang
kehilangan akal sehat. Tanpa lagi peduli kepada sistem penyelesaian yang lebih
bermartabat, langsung saja orang terbakar emosinya. Ketika emosi sudah
menguasai diri, maka ekspresinya adalah mengamuk.
Menurut
Marwan Mas dari Universitas “45 Makassar, Kisruh dalam pilkada menunjukkan
ketidakdewasaan elite politik dan massa pendukung dalam berdemokrasi liberal.
Para pasangan calon, tim sukses, dan pendukungnya belum siap menerima hasil
pilkada langsung bahwa pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Jika pun ada
persoalan dan kecurangan, disiapkan jalur untuk menyelesaikannya. Pelanggaran
pemilu ada jalurnya melalui panitia pengawas (panwas), pelanggaran administrasi
oleh KPU-Daerah, dan kesalahan penghitungan suara diselesaikan di Mahkamah
Konstitusi, dan jika pidana murni ditangani oleh kepolisian.
Menurut Karno Raditya, tak heran jika kini banyak pihak yang menggugat sistem Pilkada, agar
ditinjau ulang. Pilkada langsung yang ’mahal’ ini bukanlah demokrasi ideal yang
kita impikan bersama. Pilkada langsung dengan cara politik uang sebenarnya
tidak lebih dari sebuah ‘demokrasi teatrikal’, pseudo demokrasi
atau facade democracy yang tidak banyak manfaatnya untuk
perbaikan bangsa ke depan, karena tidak berkualitas.
Oleh karena
itulah Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden DPR dan KPU perlu segera
melakukan evaluasi dan moratorium Pilkada langsung. Bukannya justru
memaksakan kehendak untuk ”kejar tayang”, hanya karena
ingin membangun citra kepada dunia betapa demokratisnya sistem
politik di negara kita.
Memang tak bisa
dibantah bahwa sekarang telah terlihat bahwa Pilkada langsung menghasilkan
banyak ekses negatif. Maraknya politik uang misalnya, merupakan perluasan dari
politik uang yang tadinya terbatas hanya di kalangan anggota DPRD, kini
meluas di kalangan warga masyarakat pemilih, khususnya masyarakat miskin.
Karno Raditya
juga meyakinkan bahwa premanisme Pilkada langsung di masa reformasi lebih
parah dan lebih canggih serta melibatkan lebih banyak aktor pelaku dibanding
dalam Pilkada dengan sistem perwakilan pada era Orde Baru. Yang lebih
buruk dari itu adalah terjadinya konflik-konflik elit lokal yang merambat ke
masyarakat, sehingga acapkali terjadi kekerasan. Masalah ini jarang sekali
terjadi dalam sistem Pilkada melalui DPRD di era Orde Baru.
Seperti kita
ketahui, pemenang Pilkada langsung umumnya adalah figur-figur
pengusaha atau orang-orang yang didukung uang dan Parpol-Parpol pengusung.
Parpol-parpol pengusung pun mempunyai ’harga’ yang harus ’dibayar’ oleh
kandidat. Kenapa uang begitu penting di sini adalah
karena Pilkada langsung telah menjadi industri dan ’komoditas’ yang
penuh dengan hitungan-hitungan transaksi ekonomi politik. Visi, misi dan
program kandidat yang seharusnya menjadi pilihan utama para’rational voters’,
akhirnya hanya menjadi ’lips service’ belaka sekedar untuk
memenuhi persyaratan prosedural formal.
Sistem dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana
dibeberapa daerah untuk menguras keuangan negara dengan mengajukan anggaran
pilkada secara berlebihan. Baik anggaran untuk KPUD, PANWAS, maupun untuk
Pengamanan yang jumlahnya juga sangat pantas membangun beberapa kantor
pemerintah yang baru. Di Surabaya misalnya, KPUD mengajukan anggaran dua
putaran, dan disetujui oleh DPRD kotaSurabaya sekitar 36 milyar, dari dana ini,
23 milyar diantaranya dianggarkan untuk putaran pertama dan selebihnya
dianggarkan untuk putaran kedua.
Dewasa ini jugan semakin marak praktik-praktik money politics. Pilkada langsung ternyata tidak bisa menghilangkan praktik money politics dimasyarakat, yang sebelumnya berada pada tingkat DPRD. Bagi beberapa golongan, praktik money politicsmenjadi sesuatu yang lumrah. Di jawa timur misalnya, ada tradisi pada saat pemilihan kepala desa masing-masing calon harus menyediakan uang pengganti kerja bagi para konstituen, yang besarnya tergantung kemampuan masing-masing calon. Di beberapa daerah, kegiatan money politics ini malah “dilegalkan”, karena diatur melalui musyawarah di tingkat panitia untuk memutuskan berapa uang pengganti yang harus di bayar oleh masing-masing calon. Hasil penelitian Pusat Studi Demokrasi dan PuSDeHAM menunjukkan bahwa Surabaya masih cukup besar pemilih ditingkat desa mengharapkan imbalan materi pada saat pilkada.
Pemilihan kepala daerah ternyata menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. konsekuensi dari cara pemilihan semacam ini akan meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung fanatik dari tokoh pasangan calon ini.
Menurut Suryapratomo,
para tokoh yang bersaing seharusnya bisa mengendalikan para pengikutnya.
Sebagai pihak yang lebih memiliki sikap bijaksana, seharusnya mereka tidak ikut
larut dalam emosi. Dengan pikiran yang rasional, bisa dipilih jalan yang lebih
terhormat. Sayangnya, banyak politisi yang berpikiran sempit. Mereka bukanlah
negarawan yang mendahulukan kepentingan rakyatnya. Bagi mereka politik sekadar
dilihat sebagai urusan menang dan kalah. Ironisnya, tidak banyak politisi yang
siap untuk kalah.
Masalah yang paling serius yang harus dihadapi pasca
penetapan seperti yang terjadi di Pilwalkot Palopo adalah ketidaksiapan pemilih
untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah
melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, kejadian seperti ini sering
terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon. Beruntung
jika pihak keamanan sigap menghadap tekanan massa yang bertindak brutal.
Tapi diantara semua persoalan tadi, yang paling mendasar dalam pemahaman kami sebagai penyebab terjadinya konflik didaerah saat pilkada langsung selama mengamati Pilkada langsung bermasalah adalah ketidak-siapan pemerintah, anggota KPU, Panwas menerima kekalahan dari calon yang didukungnya. Hal ini diakibatkan oleh kekurangsiapan petugas penyelengara Pilkada tersebut dalam berdemokrasi. Selain sebagai penyelenggara dan pengawas pilkada, mereka juga ikut bermain mendukung calon tertentu sehingga memaksakan segala cara untuk memenagkannya. Sedangkan calon lain tetap dipantau dengan ketat pelanggaran yang dilakukan. Pada sisi lain, mereka membiarkan pelanggaran terjadi oleh calon yang telah sepakat untuk “didukung”.
Kegagalan
pemerintah, KPU dan Panwas/Bawaslu serta aparat penegak hukum untuk
memastikan Pilkada langsung berjalan LUBER, JURDIL dan tanpa money
politics, akan melahirkan penyakit apa yang saya sebut sebagai ’stress
demokrasi’. Stress inilah yang dialami oleh masyarakat yang tetap menjunjung
tinggi asas LUBER JURDIL secara harpiah untuk diimplementasikan. Mereka inilah
yang dengan cepat melakukan reaksi berlebihan untuk mencari keadilan saat semua
pelaksana Pilkada langsung itu tak mampu menjamin pelaksanaan pilkada yg
berkualitas. Caranya bermacam-macam. Ada yang menempuh sesuai aturan, yakni
melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun tatkala pengalaman selama ini,
Mahkamah Konstitusi ternyata dianggap juga tak mampu menjaga asas LUBERJURDIL
itu terlaksana, maka pilihannya adalah mencari keadilan dengan cara sendiri:
Pengadilan Rakyat.
Hal inilah yang
menimbukan konflik yang berujung pada kerusuhan. Demikian pula yang terjadi di
Kota Palopo, rakyat di jantung Tanah Luwu itu merasa tak manemui keadilan dan
kejujuran saat terhelatnya proses pilkada disana.
Kapitalisasi Pilkada
tersebut merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi untuk membangun
demokrasi substantif di Indonesia dan sudah sepantasnya segera ’diluruskan’
kembali.
Sejak Pilkada
langsung dimulai pada Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara untuk memilih
paket Bupati dan Wakil bupati. Maka sejak saat itu, pelaksanaan
Pilkada selalu menjadi sorotan, karena seringkali disertai berbagai persoalan
rumit seperti kecurangan, dugaan penyimpangan dana bantuan sosial, hingga
sengketa terhadap hasil.
Pilkada secara
tidak langsung melalui DPRD mungkin perlu dikaji kembali sebagai salah satu
alternatif. Pilkada melalui perwakilan DPRD merupakan pilihan rasional di
tengah-tengah situasi yang ”berisik’ akibat dari ’politik sebagai panglima’
yang mengakibatkan terbengkelainya pembangunan ekonomi sekarang ini.
Bukankah di era
reformasi dan demokratisasi saat ini, DPRD sudah lebih mudah dikontrol oleh
publik karena masyarakat sudah bebas berorganisasi dan berekspresi, media massa
yang kritis dapat ikut mengontrol, didukung kemajuan teknologi
informasi yang semakin memasyarakat.
So, Mari
bersama menggugat Pilkada langsung dan mengembalikan ke Pemilihan lewat DPRD.
Dengan cara
itu, triliunan rupiah uang negara yang tadinya disiapkan Pemerintah untuk
Pilkada langsung, dapat diselamatkan untuk upaya-upaya Pemerintah untuk
kepentingan lain termasuk untuk memenuhi 20% anggaran untuk pendidikan yang
selama ini belum terpenuhi.
Meski nada menolak kembali sistem perwakilan banyak
disuarakan beberapa pihak. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih menginginkan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dipilih langsung oleh rakyat. Meskipun saat
ini pemerintah sedang mengusulkan adanya pemilihan kepala daerah dikembalikan
kepada DPRD. Mengenai kuatnya wacana Pilkada dikembalikan kepada DPRD agar
tidak ada peristiwa anarkis seperti yang terjadi, Sulawesi Selatan, Hidayat
mengatakan kejadian tersebut bukan karena mekanisme pemilihanya.
"Aturan itu (Pilkada lewat DPRD) harus dalam
Undang-undang. DPR tidak akan setuju mengesahkan UU itu. PKS juga masih setuju
pemilihan langsung," kata Ketua Fraksi PKS Hidayat Nurwahid di Gedung DPR,
Jakarta, Selasa (2/4/2013).
Memang harus dibuatkan
perangkat Undang-undang terlebih dahulu memang menjadi hambatan. Tapi menurut
hemat kami, kita sudah punya pengalaman yang panjang menggunakan pilkada tak
langsung. Nah, tunggu mengembalikan memori kita saja ke masa lalu, saat bangsa
ini rukun dan damai tanpa kerusuhan akibat pilkada.
Langganan:
Postingan (Atom)