Wednesday, September 27, 2017
MARI BICARA (5)
Diposting oleh:
Editor
Dua konsep utama di dalam UUD 1945 (konstitusi) yang harus kita pahami dan sesuaikan selaku warga negara dan atau penyelenggara negara, yaitu ketentuan pada pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) sebagai aturan dasar negara yang ditempatkan pada Bab I (satu) UUD 1945 tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara, adalah :
Konsep negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Artinya sistem politik (kekuasaan) negara berwujudkan negara yang kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 (hukum). Dimana UUD tsb. mengatur tentang proses negara demokrasi (Pemilu, Pilpres), tentang penataan urusan negara demokrasi kepada lembaga-lembaga negara (Presiden, DPR, DPD dan MPR) dan tentang pembagian kekuasaan serta kewenangan Negara demokrasi kepada pilar-pilar negara (Eksekutif, legislatif, Yudikatif). Semua ditata dan diatur agar tertib, proporsional, saling mengawasi (checks and balances), tidak abuse of power, transparan, akuntabel dan gotong royong mewujudkan cita-cita negara (alinea keempat pembukaan UUD 1945). Inilah suprastruktur negara yang baku dan fungsional menjalankan roda kehidupan berbangsa bernegara di Indonesia sehari-harinya.Konsep negara hukum yang demokratis. Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Artinya negara menempatkan hukum (UUD 1945 dan turunannya) sebagai supreme (panglima) dalam kehidupan berbangsa bernegara di Indonesia. Sehingga setiap tindakan atau kebijakan yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum negara baik individu maupun lembaga, wajib berdasarkan hukum (aturan) dan memiliki konsekwensi hukum. Agar tercipta kehidupan berbangsa bernegara yang patuh dan taat pada hukum, atas dasar nilai-nilai Panca Sila pada Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan juga BAB XA UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia.
Kedua konsep utama ini bukan asal dibuat, tetapi melalui sebuah penjiwaan mendalam akan sejarah perjalanan dan perjuangan bangsa serta amanat besar reformasi 1998. Para politisi pelaku yang menjalankan tugas amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2004 berkomitmen mewujudkan sebenar-benarnya kedaulatan di tangan rakyat. Hal itu atas dasar pengalaman buruk bangsa kita tentang sistem politik otoriter dan sentralistik yang anti demokrasi, tidak ada checks and balances sehingga terjadi abuse of power, tidak transparan sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan (tidak akuntabel). Oleh sebab itu, paradigma pasca reformasi adalah semangat demokrastisasi di setiap aspek kehidupan berbangsa bernegara dan itu menjadi syarat mutlak pada setiap kebijakan terkait kepentingan umum.
Dalam konteks penegakan hukum, sistem dan paradigma nya juga mengacu pada demokratisasi. Lembaga penegak hukum tidak bisa berdiri sendiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Sebut saja KPK, dalam hal anggaran mereka tergantung kepada DPR dan Pemerintah yang bersama membuat APBN. Dalam hal personil mereka tergantung pada Kejaksaan dan Kepolisian pada jabatan-jabatan yang membutuhkan tingkat profesionalisme dan kompetensi spesifik yang harus dilalui di institusi Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam hal kewenangan, KPK bernaung dibawah payung hukum UU KPK yang merupakan domain DPR dan Pemerintah.
Dan dalam hal kelembagaan KPK setelah 15 tahun berjalan dengan besarnya kewenanangan dan anggaran ternyata KPK telah menjadi menjadi lembaga superbody (tanpa pengawasan, tidak transparansi dan tidak akuntabel). Hal itu terjadi karena KPK abai menjalankan tugas fungsi koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan Kepolisian, LPSK dan Rupbasan. KPK jalan sendiri dengan kreatifitasnya menggunakan UU lembaga lain untuk sebagian tapi mengabaikan sebagian lainnya. Misal konsep JC (justice collaborator) diambil dari UU LPSK tapi pelaksanaanya tidak berkoordinasi dengan LPSK. Bahkan KPK melalui wadah pegawai, bisa menolak rekrutmen kebutuhan pegawai KPK yang berasal dari Kepolisian atas dasar meragukan integritas calon dari Kepolisian.
Sikap-sikap egoisme, merasa paling benar dan arogan seperti KPK dan wadah pegawainya ini mengingatkan kita pada sikap-sikap otoriter dan sentralistik yang anti demokrasi. ini adalah tindakan pengkhianatan kepada semangat reformasi. Dalam sistem ketatanegaraan kita yang semangatnya demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas , sikap-sikap KPK ini menjadi anomali.
Tidak percaya? Silahkan ditanya ke para penyelenggara negara baik pusat maupun daerah. Betapa KPK telah menjadi teror, demoralisasi, intimidasi, bahkan “malaikat maut” terhadap diri dan kinerja mereka. Asumsi tersebut dapat dilihat dari betapa orang segan melakukan komunikasi informal dalam bentuk silaturahmi ke sesama penyelenggara negara. Ini tidak merangsang suasana kondusif dan harmonis. KPK harusnya bekerja memperhatikan dampak terhadap psikologis penyelenggara negara, sistem nya, strukturnya , kinerjanya dll.
Ketakutan juga merebak hingga sahabat, kerabat dan keluarga. Ada yang sampai memutus silaturahmi (tanpa kabar) dengan orang yang diperiksa KPK (bukan tersangka) karena takut dikaitkan kasus dan dipanggil KPK. Banyak yang halus menolak berkomunikasi dengan saksi KPK (apalagi tersangka dan terdakwa) karena kekhawatiran yang dia ucap atau ketahui saat komunikasi takut disadap dan di proses hukum oleh KPK. Saksi, tersangka dan terdakwa di KPK seperti orang yang terkena penyakit menular yang mematikan.
Hal itu bukan tanpa alasan. Hal itu terjadi karena pembunuhan karakter yang sistematis, terstruktur dan massif oleh KPK, aktifis LSM tertentu dan media massa tertentu terhadap pihak yang berhadapan dengan KPK. Saat pemeriksaan, KPK secara vulgar menyajikan para pihak terkait kasus ke pers. Lalu dihakimi oleh opini pers (trial by the press) dan ditambah komentar aktifis LSM yang menuduh berdasar asumsi. Saksi, tersangka dan terdakwa dipublikasikan berulang – ulang dan luas tanpa menghormati hak hukum dan proses di pengadilan.
Mengkritik KPK adalah hal tabu. Jangankan mengkritik secara terbuka di media, di dialog-dialog terbatas pun KPK menjadi lembaga suci yang tidak boleh di kritik. Kalau ada yang mengkritik KPK secara terbuka , langsung para aktiifis LSM tertentu mengkeroyok dan mem bully. Media massa tertentu pun langsung mem framing negatif pengkritik tsb. Mengkritik KPK ibarat melakukan penistaan terhadap sesuatu yang suci. KPK harus selalu tanpa cacat. Kalau ada cacat pasti cara pikir dan cara pandang orang tersebut yang cacat. KPK adalah ciptaan manusia yang maha sempurna. Itu doktrinnya.
Rating KPK harus tetap tertinggi, dipelihara bersama antara KPK, aktifis LSM tertentu dan Media massa tertentu agar iklan sponsor dan donatur tetap masuk. Agar aktifitas mereka dapat menjadi panggung dan modal sosial untuk meraih jabatan-jabatan politik. Ya, aktifis penunggang isu korupsi tanpa karya semisal karya tentang kajian sistem pencegahan korupsi di DPR.
Dalam UU KPK, KPK dibentuk atas pertimbangan sebagai berikut :
bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
Pertanyaanya, apakah selama 15 tahun KPK eksis dengan bergelimang kewenangan dan anggaran, argumen pertimbangan “pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal” dan “lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien” masih relevan? Kalau masih relevan, lalu apa yang dikerjakan oleh KPK selama ini dengan fungsi koordinnasi dan supervisi? Kalau tidak relevan, lalu mengapa indeks prestasi pemberantasan korupsi masih sangat rendah? Fakta, KPK lahir sebagai bagian dari tanda tangan letter of intent, lalu IMF dan Bank Dunia mengucurkan dana. Fakta, KPK meneriman dana donor-donor asing, dan yang terkait dengan pihak-pihak asing. Apa KPK konspirasi asing yang membuat Indonesia gaduh tanpa solusi dalam hal korupsi sehingga Indonesia tetap ketinggalan bangsa lain yang sudah ke bulan?
Harus diingat, KPK bekerja berdasarkan asas “kepastian hukum” yaitu KPK mengutamakan peraturan perundang-undangan negara sebagai landasan bukan pertimbangan politis; asas “keterbukaan” yaitu sebagai lembaga publik KPK wajib membuka diri terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat; asas “akuntabilitas” yaitu setiap kegiatan dan hasil akhir oleh KPK dapat dipertanggungjawabkan sesuai aturan; “kepentingan umum” yaitu KPK mendahulukan kesejahteraan umum bukan wadah pegawai atau oknum individu; dan “proporsionalitas” yaitu KPK mengutamakan keseimbangan antara hak tugas fungsi kewenangan dan kewajiban-kewajibannya.
KPK adalah andalan bangsa, andalan kita semua masyarakat Indonesia. KPK harus terbuka kepada kita semua tanpa kecuali. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah KPK baik baik saja? Faktanya ada “klik/geng” di internal KPK.
Sekarang KPK dipertanyakan, dipergunjingkan, digosipkan , bermacam-macam. Begitu besar tanggung jawab KPK harus kita dukung bersama, kita pastikan bersama-sama dan terbuka bahwa KPK tetap andalan yang adil bagi kita semua, bukan kepentingan satu dua orang atau satu dua geng saja, tapi setiap orang Indonesia yang merindukan keadilan tanpa sandiwara. KPK, mari bicara.
Kepada semua pihak saya mengajak untuk keluar dari diksi pro dan kontra, soal pansus angket KPK, mari kita perkuat KPK dari berbagai upaya pelemahan yang ada, dari dalam dan luar KPK, menjadikan KPK yang mematuhi azas, prinsip, tugas, wewenang dan tanggungjawabnya dalam sistim hukum negara demokratis yang dianut konstitusi negara (UUD tahun 1945).
*Agun Gunandjar Sudarsa, Anggota Panitia Adhoc BP MPR tahun 1999-2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar