Kisah Kahar dan Corry
____________
Corry berasal dari keluarga yang cukup terkemuka. Ayahnya seorang indo-Belanda, Adnan Bernard van Stenus. Sedangkan ibunya, Supinah, berasal dari Solo. Ketika Corry belajar di sekolah Belanda, Handel School di Solo, Kahar sudah tertarik padanya. Kahar tidak pernah absen menunggui Corry di Stasiun Balapan, Solo.
Corry, yang ketika itu tinggal di Klaten, biasa pulang-pergi dengan kereta api. Kehadiran rutin Kahar tentu dicurigai Corry. Suatu hari, Kahar pernah mengambil penggaris dari belakang tas Corry. Setelah Corry naik kereta, barulah penggaris itu dikembalikan Kahar.
Belakangan, Kahar memberanikan diri mengirim utusan dan surat ke orangtua Corry. ”Saya pun dimarahi orangtua, karena berkenalan dengan orang Sulawesi,” Corry mengenang. Maklum, ketika itu sudah ada tiga pemuda lain yang melamar Corry: seorang dokter spesialis keturuan indo-Belanda, seorang kepala sekolah, dan seorang polisi.
Jelas saja lamaran Kahar ditolak orangtua Corry, yang lebih tertarik memilih dokter spesialis bernama Dapelaaf. Mendengar lamarannya ditolak, Kahar tidak mundur. Ia malah memanggil Dapelaaf. ”Kamu mau selamat atau tidak?” Kahar bertanya. ”Lebih baik mundur saja. Saya yang mau menikahi Corry dan membawanya berjuang di Sulawesi.”
Setelah Dapelaaf mundur teratur, Kahar pun memberanikan diri datang langsung ke orangtua Corry. Ia berterus terang ingin menikahi Corry. Tampaknya, orangtua Corry tertarik pada kesopanan, keberanian, dan wawasan Kahar. Apalagi, Kahar ternyata menguasai bahasa Belanda. Boleh jadi, kedudukan Kahar sebagai perwira penting APRI ikut mempengaruhi.
Lamaran Kahar pun diterima, karena mendapat dukungan dari keluarga ibu Corry, yang Islam. Tapi, Corry minta syarat, sebelum menikah, Kahar harus lebih dulu mendatangkan ulama yang bisa mengislamkan Corry, serta mengajarkan agama Islam. Setelah enam bulan, dan pandai mengaji, barulah Corry merasa siap. Keluarga yang dibangun Kahar dan Corry pun kemudian tak terpisahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar