Petani Toraja menggendong bibit kopi, 1910-an.
Cerita kopi dan Toraja tak melulu sesedap aromanya. Saat pamor kopi ini mencapai puncaknya di ujung abad 19, bahkan sampai meletus perang demi memperebutkan monopoli kopi, melibatkan Luwu, Bone, dan Sidenreng.
Tak pasti kapan tanaman kopi pertama sampai ke tanah tinggi Toraja. Namun, catatan tentangnya diyakini ada seawal abad 16.
Itu jauh sebelum Belanda memperkenal budidaya kopi ke Sulawesi Selatan pada 1830-an. Namun memang, baru abad 19 itulah perdagangan kopi berkembang pesat.
Antara 1860-85, kopi dari Toraja menyapa dunia luar lewat dua pelabuhan utama. Di sebelah timur lewat Palopo yang juga ibu negeri Luwu.
Sementara di barat ada pelabuhan Bungin yang dikelola kerajaan Sidenreng. Percabangan jalur niaga inilah yang kelak memantik perang.
Luwu merasa berhak memonopoli kopi Toraja karena sudah berkongsi dg pemimpin lokal di wilayah utara.
Di lain sisi, pihak Sidenreng pun getol berdagang kopi dg wilayah selatan. Peperangan pertama di akhir 1880-an bagaimanapun tidak menghasilkan kemenangan mutlak sisi mana pun.
Meski tidak menang, memasuki 1890-an Sidenreng yang ditopang selat Makassar bisa dibilang lebih diuntungkan dalam perniagaan kopi dg Toraja.
Inilah yang membuat Luwu mencoba peruntungan dg meminta bantuan Bone. Jadilah perang kedua meletus 1897-98.
Walau bantuan Bone amat menguntungkan Luwu, namun niaga kopi tidak pernah benar-benar dikuasai.
Pihak Toraja menolak memutus dagang dg Sidenreng yang memang lebih menghasilkan uang. Kondisi ini berlanjut hingga kekuasaan Hindia Belanda masuk, 1905-06.
Editor : Gajahmada Harding/@potretlawas
Foto : Tropenmuseum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar