Total Tayangan Halaman

Kamis, 25 Juni 2020

DII dan Pernikahan

DI/TII dan Pernikahan
_________

Peraturan perkawinan yang dikeluarkan oleh DI/TII adalah meniadakan syarat-syarat perkawinan yang memberatkan pihak laki-laki dan mencegah penolakan lamaran dari pihak wanita yang hanya dengan alasan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Tujuan undang-undang tersebut antara lain adalah untuk melindungi janda-janda dan anak yatim dari kesusahan dan kemiskinan hidup karena ditinggal syahid oleh suami atau bapaknya. Dan juga untuk memelihara kesucian pergaulan dan menghindari timbulnya kemaksiatan atau perbuatan haram dalam masyarakat.

Mengenai adat istiadat perkawinan, M. Muschlas Rowi yang merupakan seorang komandan batalyon 514 dari Brawijaya yang ditugaskan ke Sulawesi Selatan pada tahun 1954 menuliskan dalam buku biografinya. Maskawin untuk perkawinan di Sulawesi Selatan sangat tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh pemuda-pemuda biasa pada umumnya. Akibatnya, timbul perkawinan yang tidak berimbang, umpamanya seorang gadis muda belia - cantik jelita, harus kawin dengan seorang raja lanjut usia.

"Masya Allah, saya menyebut kasihan gadis secantik itu. Adat istiadat ini oleh Abdul Qahhar Mudzakkar dilarang keras, kebetulan saya membaca Dokumen DI/TII yang sempat ditemukan, dimana DI/TII menerapkan ajaran menurut Fiqih Islam dalam hal perkawinan. Dalam hati kecil saya sangat setuju sekali", ujar M. Muschlas Rowi.

_____
sumber: Profil Abdul Qahhar Mudzakkar

Seputar Kahar Muzakkir 1

GUGURNYA KAHAR MUZAKKAR
___________

”Saya titipkan untukmu satu peleton pasukan inti. Pergilah,” kata Kahar. Lalu Corry pun diantar Kahar ke salah satu puncak Gunung Kambiasu. Ketika akan berpisah, Kahar tidak bisa menahan tangis. Ia memeluk Corry dan berkata, ”Istriku, barangkali inilah pertemuan kita yang terakhir di dunia ini. Selanjutnya, biarlah kita bertemu di akhirat.”

Bagi Corry, ucapan Kahar itulah isyarat perpisahan dari Kahar. Kepada Corry, Kahar tak berpesan banyak. ”Jaga kesehatanmu, Corry. Bimbing dan pelihara anakmu baik-baik, agar jadi anak yang saleh. Bertawakallah kepada Allah. Itu saja pesan Kahar,” kata Corry dengan nada sedih. Saat berpisah, Kahar memeluk Abdullah erat-erat.

Corry mengenang, Kahar, yang terkenal berwatak keras, ketika itu tak sanggup membendung kesedihannya yang mendalam. Hingga, berkali-kali Kahar kembali mengejar Corry sekadar untuk memberikan salam perpisahan. Tiga bulan setelah peristiwa itu, Corry membaca kabar kematian Kahar dari ribuan pamflet yang disebarkan dari helikopter.

Corry pun turun gunung, dan berusaha mengejar jenazah Kahar yang dibawa ke Pakoe. Tapi, M. Jusuf –yang bertanggung jawab atas jenazah Kahar– melarang Corry melihat jenazah suaminya. ”Jusuf bilang, apa perlunya melihat jenazah Kahar. Toh, jenazahnya sudah diangkut dengan heli menuju Makassar,” kata Corry.

Beruntung, sebelumnya M. Jusuf sempat memanggil dua anak Kahar, Abdullah Ashal dan Farida, yang ditemani suaminya, Andi Semangat, untuk melihat jenazah Kahar di Rumah Sakit Palemonia, Makassar. Berdasarkan cerita anak-anaknya itulah, Corry makin yakin bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar.

Ibu Cory


Walau tak banyak bertemu dengan Kahar, hampir semua anak Kahar merasa dekat dengan sang ayah. Abdullah Mudzakkar, anak bungsunya dari Corry, punya kenangan khusus tentang ayahnya. Seingat dia, ke mana-mana Kahar tak pernah lepas dari ransel kecil yang berisi dokumen, Al-Quran, hadis, dan buku harian.

Setiap waktu luang dipakainya untuk menulis. Tak mengherankan jika kemudian Kahar menghasilkan 20 buku tentang politik, Islam, dan ketatanegaraan. Menurut Anhar Gonggong, kualitas tulisan Kahar cukup baik. Misalnya, tidak kalah jika dibandingkan dengan tulisan Jenderal A.H. Nasution.

Seputar Kahar Muzakkar

Kisah Kahar dan Corry
____________

Corry berasal dari keluarga yang cukup terkemuka. Ayahnya seorang indo-Belanda, Adnan Bernard van Stenus. Sedangkan ibunya, Supinah, berasal dari Solo. Ketika Corry belajar di sekolah Belanda, Handel School di Solo, Kahar sudah tertarik padanya. Kahar tidak pernah absen menunggui Corry di Stasiun Balapan, Solo.

Corry, yang ketika itu tinggal di Klaten, biasa pulang-pergi dengan kereta api. Kehadiran rutin Kahar tentu dicurigai Corry. Suatu hari, Kahar pernah mengambil penggaris dari belakang tas Corry. Setelah Corry naik kereta, barulah penggaris itu dikembalikan Kahar.

Belakangan, Kahar memberanikan diri mengirim utusan dan surat ke orangtua Corry. ”Saya pun dimarahi orangtua, karena berkenalan dengan orang Sulawesi,” Corry mengenang. Maklum, ketika itu sudah ada tiga pemuda lain yang melamar Corry: seorang dokter spesialis keturuan indo-Belanda, seorang kepala sekolah, dan seorang polisi.

Jelas saja lamaran Kahar ditolak orangtua Corry, yang lebih tertarik memilih dokter spesialis bernama Dapelaaf. Mendengar lamarannya ditolak, Kahar tidak mundur. Ia malah memanggil Dapelaaf. ”Kamu mau selamat atau tidak?” Kahar bertanya. ”Lebih baik mundur saja. Saya yang mau menikahi Corry dan membawanya berjuang di Sulawesi.”

Setelah Dapelaaf mundur teratur, Kahar pun memberanikan diri datang langsung ke orangtua Corry. Ia berterus terang ingin menikahi Corry. Tampaknya, orangtua Corry tertarik pada kesopanan, keberanian, dan wawasan Kahar. Apalagi, Kahar ternyata menguasai bahasa Belanda. Boleh jadi, kedudukan Kahar sebagai perwira penting APRI ikut mempengaruhi.

Lamaran Kahar pun diterima, karena mendapat dukungan dari keluarga ibu Corry, yang Islam. Tapi, Corry minta syarat, sebelum menikah, Kahar harus lebih dulu mendatangkan ulama yang bisa mengislamkan Corry, serta mengajarkan agama Islam. Setelah enam bulan, dan pandai mengaji, barulah Corry merasa siap. Keluarga yang dibangun Kahar dan Corry pun kemudian tak terpisahkan.

Kamis, 18 Juni 2020

Dexamethasone: Obat murah, tua, dan membosankan yang berpotensi sebagai pengobatan coronavirus

Dexamethasone: The cheap, old and boring drug that's a potential coronavirus treatment

NIAL WHEATE

-

The Conversation  /  Thu, June 18, 2020  /  01:41 pm
Dexamethasone: The cheap, old and boring drug that's a potential coronavirus treatment

A pharmacist displays an ampoule of Dexamethasone at the Erasme Hospital amid the coronavirus disease (COVID-19) outbreak, in Brussels, Belgium, June 16, 2020. (REUTERS/Yves Herman)

First, we tried the antimalarial drug hydroxychloroquine. Then we tested the antiviral drug remdesivir. But new UK research gives the strongest indication yet we may have found a useful treatment for COVID-19.

This time it’s an old anti-inflammatory drug, dexamethasone, which has been described as cheap, old and boring.

Preliminary results from a clinical trial just releasedindicate the drug seems to reduce your chance of dying from COVID-19 if you’re in hospital and need oxygen or a machine to help you breathe.

The results were significant enough for the UK to recommend its usefor severe COVID-19.

Before we roll it out in Australia, we need to balance the drug’s risks with its benefits after peer-review of the full trial data.

What is dexamethasone?

Dexamethasone has been used since the late 1950s, so doctors are familiar with it. It’s also inexpensive, with a packet of 30 tablets costing around A$22 (for general patients) under Australia’s Pharmaceutical Benefits Scheme.

So if it does work for COVID-19, this cheap and boring drug, already available in Australia with a prescription, would be easy to add to current treatments.

Dexamethasone belongs to a class of drugs known as corticosteroids and is used to treat a range of conditions related to inflammation. These include severe allergies, some types of nausea and vomiting, arthritis, swelling of the brain and spinal cord, severe asthma, and for breathing difficulties in newborn babies.

And it’s dexamethasone’s application to those latter two respiratory conditions that prompted doctors to think it may also help patients severely affected by COVID-19.

What did the trial find?

The recently reported results come from the Randomised Evaluation of COVID-19 Therapy, or RECOVERY, trial.

The researchers put patients into one of three groups: those needing ventilation (a machine that helps them breath); those who just needed oxygen therapy; and those who needed no treatment to help them breathe.

Patients in each of those groups were given dexamethasone (6mg once a day, either as a tablet or via intravenous injection), for ten days. A fourth group (a control group) was not given the drug.

Dexamethasone was most useful for the ventilated patients; deaths for this group dropped by about one-third with drug treatment. In contrast, deaths only dropped by one-fifth for those patients who were only receiving oxygen therapy. There was no benefit to patients who could breathe normally.

Results of the dexamethasone trial have just been released.

The researchers calculated that giving dexamethasone to eight ventilated patients would prevent one from dying, on average. And giving it to around 25 patients needing oxygen alone would prevent one death.

How might dexamethasone work for COVID-19?

When a patient has severe COVID-19, their immune system ramps up to catch and control the virus in the lungs.

In doing this, their body produces more infection-fighting white blood cells. This results in inflammation and pressure on their lungs, making it very difficult for them to breath.

It’s therefore likely dexamethasone reduces this inflammation, and so reduces pressure on the lungs.

What are the downsides?

There are potential complications with using dexamethasone.

First, dexamethasone also suppresses the immune system when it reduces inflammation. So, it’s not usually recommended for people who are sick, or could be sick, from other infections. So doctors will need to make sure patients have no other infections before they are prescribed the drug.

If the results of this trial are correct though, the drug doesn’t appear to compromise the patient’s ability to fight COVID-19; it might just affect their ability to fight off other diseases.

Second, the drug is only useful for patients with difficulty breathing and needing some assistance either through ventilation in a hospital or from oxygen therapy.

There appears to be no benefit for patients who don’t need help breathing. So we shouldn’t be giving it to everyone who tests positive to the virus.

Third, like all drugs, dexamethasone has side effects that need to be monitored. Serious, but rare ones include: severe stomach or intestinal pain, sudden changes with vision, fits, significant psychiatric or personality changes, severe dizziness, fainting, weakness and chest pain or irregular heartbeat, and swelling of the face, lips, mouth, tongue or throat, which may cause difficulty in swallowing or breathing.

What happens next?

The results of the clinical trial are preliminary. So we need to wait for the full study data and scientific peer-review before we can make a definitive decision as to whether dexamethasone treatment is a worthwhile, and safe, addition to COVID-19 therapy in Australia.

---

Nial Wheate, Associate Professor | Program Director, Undergraduate Pharmacy,University of Sydney

This article is republished from The Conversationunder a Creative Commons license. Read the original article.

Your premium period will expire in 0 day(s)

close x
Subscribe to get unlimited accessGet 50% off now

Disclaimer: The opinions expressed in this article are those of the author and do not reflect the official stance of The Jakarta Post

Rabu, 17 Juni 2020

Aroma Kopi Toraja Dalam Sejarah

Petani Toraja menggendong bibit kopi, 1910-an.

Cerita kopi dan Toraja tak melulu sesedap aromanya. Saat pamor kopi ini mencapai puncaknya di ujung abad 19, bahkan sampai meletus perang demi memperebutkan monopoli kopi, melibatkan Luwu, Bone, dan Sidenreng. 

Tak pasti kapan tanaman kopi pertama sampai ke tanah tinggi Toraja. Namun, catatan tentangnya diyakini ada seawal abad 16.

Itu jauh sebelum Belanda memperkenal budidaya kopi ke Sulawesi Selatan pada 1830-an. Namun memang, baru abad 19 itulah perdagangan kopi berkembang pesat.

Antara 1860-85, kopi dari Toraja menyapa dunia luar lewat dua pelabuhan utama. Di sebelah timur lewat Palopo yang juga ibu negeri Luwu.

Sementara di barat ada pelabuhan Bungin yang dikelola kerajaan Sidenreng. Percabangan jalur niaga inilah yang kelak memantik perang.

Luwu merasa berhak memonopoli kopi Toraja karena sudah berkongsi dg pemimpin lokal di wilayah utara.

Di lain sisi, pihak Sidenreng pun getol berdagang kopi dg wilayah selatan. Peperangan pertama di akhir 1880-an bagaimanapun tidak menghasilkan kemenangan mutlak sisi mana pun.

Meski tidak menang, memasuki 1890-an Sidenreng yang ditopang selat Makassar bisa dibilang lebih diuntungkan dalam perniagaan kopi dg Toraja.

Inilah yang membuat Luwu mencoba peruntungan dg meminta bantuan Bone. Jadilah perang kedua meletus 1897-98.

Walau bantuan Bone amat menguntungkan Luwu, namun niaga kopi tidak pernah benar-benar dikuasai.

Pihak Toraja menolak memutus dagang dg Sidenreng yang memang lebih menghasilkan uang. Kondisi ini berlanjut hingga kekuasaan Hindia Belanda masuk, 1905-06. 
Editor : Gajahmada Harding/@potretlawas 
Foto : Tropenmuseum




 

Jumat, 12 Juni 2020

Makassar Berdarah

"Berkaca Pada kerusuhan Makassar tahun 1997"

(Dari tulisan seorang etnis cina di site kaskus)

Saya masih bermukim di kota Makassar ketika kerusuhan itu meletus. Masih di bangku kelas 1 SMA 05 Makassar.
Ketika itu saya akan berangkat ke sekolah, dari kediaman saya di Jl. Sungai Saddang Baru. Saya menunggu hampir 2 jam, tidak ada bus yang datang, saya heran kenapa jalanan sangat lengang. Tak lama sebuah panzer melintas, diiringi letusan senjata. Seorang tentara tiba-tiba menarik lengan saya sambil berkata ; " Pulang, jangan keluar rumah". Saya kemudian balik arah, saya sangat ketakutan sambil terus-menerus bertanya, apa gerangan yang terjadi.
Setiba di rumah, seorang rekanan PLN rekan bokap saya sudah berkumpul bersama keluarganya. Raut wajah mereka sangat ketakutan. Bokap cuma berpesan ; "Jangan bilang-bilang orang, Acung adadi rumah kita".
Saya berusaha cari informasi apa yang telah terjadi. Dari radio RRI akhirnya saya mengetahuinya, Kota Makassar sedang rusuh, penjarahan terjadi di mana-mana. Etnis Cina melawan etnis Bugis Makassar.
Kejadian ini rupanya dipicu akibat terbunuhnya seorang anak dosen IAIN, Anni Mujahidah Rasuna, yang ditebas sebilah pedang oleh Benni seorang anak pengusaha Cina yang menyuplai botol kecap dan saos.
Kronologis kejadiannya sebagai berikut ;
Pemicunya adalah Benny yang terkenal temperamen sering mengancam-ancam golok kepada pribumi yang tidak dia senangi. Tanggal 15 September 1997, dia keluar rumah membawa pedang sambil mengancam seorang pedagang tahu. Pedagang itu kemudian dikejarnya. Tepat di taman Air Mancur Veteran Selatan, dia mengancamsiapa saja yang melintas. Dan nasib malang menimpa seorang bocah perempuan berusia 9 tahun. Anni ditebas hingga tewas oleh Benny.
Benny yang terkenal temperamen itu kemudian pulang setelah membunuh Anny.
Namun, warga sadar diri, sehingga walaupun ketika itu mengganggu Cina dikala itu sama saja bunuh diri. Itu disebabkan saking dekatnya warga Cina yang kaya raya dengan aparat kepolisian.
Namun kasus pembacokan itu menyebar malam itu juga. Berita berhembus sampai ke Gowa, pusat suku Makassar. Kasus pembacokan juga bocor lewat radio hingga ke Maros. Tersentuhlah sentimen kesukuan pribumi.
Apalagi pembacokan tidak ada tindakan hukum oleh aparat. Malam itu juga sekitar pukul 00.00, massa pribumi merangsek ke Jl. Kumala. Benny rupanya punya juga rekan-rekan Cina yang merupakan geng Cina di Veteran Selatan. Namun apa daya, massa pribumi lebih besar. Malam itu Benny terbunuh, 500 orang lebih warga Cina geng benni terluka. Jutaan massa mulai melakukan perusakan rumah-rumah dan toko-toko warga keturunan di Jalan Kumala, Ratulangi, dan sekitarnya. Massa kemudian bergerak ke Jalan Veteran, Penghibur, Nusantara, Timor, Sulawesi, Ahmad Yani dan Jalan Wahidin Sudirohusodo sambil melakukan pengrusakan, pelemparan dan pembakaran terhadap kendaraan dan rumah penduduk Cina. Hapir seluruh rumah penduduk cina habis terbakar.
Aparat yang menjaga rumah-rumah dan pusat pertokoan Cina tidak luput dari amuk massa. Mereka juga ikut diserang karena dianggap ingin membela kelompok cina.
Malam itu Makassar menjadi lautan Api.
Keesokan harinya beredar selebaran bertuliskan lontara ; "Mana siri kita..., Mana Pabbulo Sibatangta...,Accera Sitongka-tongka?, Mana barambang bete-beteta?" . Emosi warga semakin tersulut. Kerusuhan pun meletus selama 1 minggu. Polisi dan tentara tidak sanggup meredakan emosi massa.
Beberapa rumah yang takut dijarah dan dirusak memasang tulisan "milik pribumi" atau sajadah yang ditempel di kaca jendela menjadi pemandangan baru di sana. Bahkan, hotel milik Yusuf Kalla, bos Kalla Grup, memajang tulisan besar "Hotel Ini Milik Haji Kalla". Ada juga yg ini: "Hotel Ini Milik Tanri Abeng/Pemda". Adalagi sebuah tempat karaoke bertuliskan"Ini Milik Kodam".
Kodam 7 Wirabuana meminta tambahan pasukan dari Jakarta. Namun pasukan tambahan cuma bisa mencegah Matahari Dept. Store belaka menjadi sasaran amuk massa. Hari itu menjadi sangat panas, bantuan pasukan TNI dari Jawa justru memicu nyali warga Bugis Makassar untuk semakin amuk. Perintah tembak di tempat ditanggapi panas oleh warga. Warga menantang tentara, waktu itu beredar semboyan ; "1 orang Bugis Makassar ditembak, 4 tentara mati !" . ini semakin kisruh. Akhirnya pasukan ditarik ke Jl. jend Sudirman saja mengamankan aset-aset pemerintahan.
Akhirnya waktu itu jalan terbaik meredakan masalah dan kerusuhan adalah lewat dialog.Warga Bugis Makassar adalah warga yang sebenarnya mudah diajak negosiasi.
Bencana ini menyebabkan kerugian sebesar Rp 117, 5 milyar, 2000 rumah dan toko hancur, 80 mobil rusak, 150 sepeda motor ludes, lima orang tewas, 13 mahasiswa mengalami luka tembak.Kamis 18 September 1997, Pukul 08.00. Warga pribumi dan warga Cina berkumpul di Mapoltabes Ujungpandang. Sementara Panglima Kodam VII Wirabuana Mayor Jenderal Agum Gumelar dan Walikota Ujungpandang Malik B. Masry memberikan pengarahan di depan ratusan warga keturunan di Jalan Penghibur dan Jalan Sulawesi. Acara ini berlangsung di bawah penjagaan ketat.

Catat diatas semoga membawa manfaat terutama untuk kelompok minoritas (etnis cina) diseluruh Indonesia agar pandai-pandailah membawa diri sebab sekalipun kalian dekat dengan aparat namun jika pribumi sudah hilang kesabaran maka yang tersisa pasti hanyalah penyesalan.
Jadikanlah catatan ini sebagai renungan agar kalian disenangi oleh pribumi nusantara.
Percayalah...pribumi itu orang yang beradab selama mereka tidak merasa disakiti, yakinlah bahwa merekalah yang akan melindungi kalian. Tapi sebaliknya jika kalian arogan, sombong itu sama saja kalian ingin bunuh diri kalian sendiri.

*SEMOGA CERITA INI DAPAT MENJADI INTROSPEKSI BAGI KAUM MINORITAS DI INDONESIA.
JIKA TIDAK INGIN TERULANG LAGI*.
Wassalam