Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 Desember 2016

LMP DIALOG ANTISIPASI AKSI  TERORIS DI MAKASSAR ADA SAAT PERGANTIAN TAHUN 

LMP DIALOG ANTISIPASI AKSI  TERORIS DI MAKASSAR ADA SAAT PERGANTIAN TAHUN 

Dalam mengantisipasi pergantian tahun, Markas Daerah (MADA) Laskar Merah Putih (LMP) Provinsi Sulawesi Selatan menggelar dialog akhir tahun. Karena sudah ada keresahan, terutama bagi warga yang akan menikmati malam pergantian tahun.

Ketua Panitia Dialog, Muhammad Basran  mengangkat tema Peran Aparatur dan Masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkup  Kota Makassar dan dilaksanakan di Metro Cafe Makassar, 29 Desember 2016.

TNI membahas tentang isu isu yang beredar di masyarakat melalui media sosial. Abd Muin kecewa karena isu  belum pasti kebenarannya namun sudah di publish ke media. Harus di recheck terlebih dahulu agar tidak menimbulkan  keresahan.

Sementara dari pihak Pemerintah Kota Makassar , Syarif, menyoroti bahwa perlu adanya koordinasi kebawah terkhusus untuk RT, RW hingga dalam lingkup rumah tangga.

Sedangkan pada kesempatan terakhir, Kepolisian bahwa untuk  menjaga kamtibmad dengan pemberlakuan  kembali SISKAMLING dengan meresahkannya tertangkap teroris diberbagai tempat di Indonesia menjelang tahun baru.

Polisi dan aparat secara bersama-sama turun ke masyarakat untuk bersilaturahmi. Kondisi saat ini sangat berbahaya untuk diantipasi sebelum terjadi. Makanya, kami Polsekta, Koramil dan Camat harus gunakan waktu ini terjungkal kemasyarakat. AS Dila sampaikan diacara.

LMP merasa punya tanggung jawab sebagai Organisasi Kemasyarakatan dalam kebangsaan menggelar diskusi ini atas prihatin dengan kejadian yang terjadi belakangan. Teroris sudah merata semua kalangan pemuda. Kami prihatin yang disasar pemuda setiap ada kejadian.

Ketua Harian LMP, Sofyan Opi  mengimbau seluruh jajaran anak mudah di Masyarakat, marilah kita berorganisasi, apapun itu untuk membentengi pengaruh dari luar.

Minggu, 25 Desember 2016

Terdakwa PT Insan Bantah Suap Penyidik KPK Suparman

 detikNews 
Selasa 04 Apr 2006, 15:02 WIB

Terdakwa PT Insan Bantah Suap Penyidik KPK Suparman

- detikNews

Jakarta - Terdakwa korupsi kasus penurunan harga nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah milik PT Industri Sandang Nusantara (Insan), Lim Kian Yin, membantah menyuap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) AKP Suparman.\\\"Tidak pernah AKP Suparman meminta atau menerima uang dan atau hadiah dalam bentuk apa pun dari Lim Kian Yin ini,\\\" kata kuasa hukum Lim Kian Yin, Ronald TA Simanjuntak.Hal itu disampaikan kepada wartawan usai sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Rasuna Said, Jakarta, Selasa (4\/4\/2006). Sidang kasus Lim dipimpin hakim Gus Rizal dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Chatarina Girsang. Sidang diisi pemeriksaan saksi-saksi. Ronald menjelaskan, perkara Lim sudah dilimpahkan sejak Januari 2006. Sementara perkara Suparman sejak Maret 2006. \\\"Jadi tak ada hubungannya,\\\" tandas Ronald.KPK menangkap dan menetapkan Suparman sebagai tersangka pemerasan terhadap saksi kasus korupsi PT Insan. Tintin Surtini, seorang pengusaha biro jasa surat tanah, mengaku memberikan uang Rp 25 juta kepada Suparman.Menurut Ronald, Lim yang merupakan pembeli PT Insan tidak tahu menahu cara Tintin mengurus surat-surat tanah yang dibelinya. \\\"Perusahaan Tintin adalah biro jasa yang sering mengurus surat-surat tanah. Bagaimana dia mengurus kita tidak tahu,\\\" tandas Ronald. Pada kesempatan itu, Lim juga membantah tuduhan mengatur NJOP tanah di Jalan Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat (Jabar) supaya turun. Menurut Ronald, seharusnya yang diselidiki KPK adalah siapa yang mengurus atau menetapkan NJOP itu dari Rp 537 ribu per meter menjadi Rp 160 ribu per meter.\\\"Dalam kasus PT Sandang ini resmi ada penurunan NJOP dari Rp 537 ribu jadi Rp 160 ribu oleh kantor PBB Bandung I. Siapa yang menetapkan NJOP itu? Kantor PBB dong, bukan klien saya,\\\" tandas Ronald. (iy/)

AKP Suparman Dituntut 12 Tahun; Mantan Penyidik KPK yang Tersandung Kasus Pemerasan

AKP Suparman Dituntut 12 Tahun; Mantan Penyidik KPK yang Tersandung Kasus Pemerasan

Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) AKP Suparman bisa terkena hukuman pidana 12 tahun. Ini jika tuntutan untuk Suparman yang kemarin dibacakan di pengadilan tindak pidana korupsi benar-benar dilaksanakan. Dalam tuntutan tersebut, perwira polisi itu juga diharuskan membayar denda Rp 200 juta atau subsider 6 bulan penjara.

Suparman ditangkap penyidik KPK (teman-temannya sendiri) Maret lalu karena dituduh memeras Tintin Surtini ketika menangani kasus dugaan korupsi di PT Industri Sandang Nusantara (PT ISN).

Kasus Industri Sandang ditangani pengadilan tindak pidana korupsi. KPK menilai ada penyimpangan dalam penjualan aset negara. Yaitu, tanah 25,9 hektare dan bangunan seluas 24.201 meter persegi di Unit Patal Cipadung, Bandung, akhir 2004. Diperkirakan negara rugi Rp 70 miliar.

Dalam sidang kemarin, jaksa penuntut umum (JPU) Firdaus mengatakan, berdasarkan analisis yuridis, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pasal 12 (e) Undang-Undang No 30 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Terdakwa memenuhi unsur menguntungkan diri sendiri dan unsur melawan hukum, kata Firdaus.

Dia menambahkan, hal-hal yang memengaruhi tuntutan hingga 12 tahun penjara untuk Suparman ada tujuh hal. Di antaranya terdakwa melakukan tindakan sebagai penyidik pada KPK. Terdakwa juga dianggap berbelit-belit dalam persidangan dan tidak menunjukkan rasa penyesalan. Hal yang meringankan, terdakwa adalah kepala keluarga yang mempunyai tanggungan anak dan istri, ungkapnya.

Menurut Firdaus, Suparman terbukti melakukan pemerasan sehingga Tintin Supartini, saksi kasus PT ISN yang pernah ditanganinya, memberikan sejumlah uang dan barang kepada terdakwa. Terdakwa telah menerima uang Rp 413 juta, USD 300, tiga HP Nokia 9500, 24 tasbih, dan saksi terpaksa membeli mobil Atoz keluaran 2004 milik Suparman dengan harga Rp 100 juta, jauh lebih mahal dari harga pasaran yang diperkirakan senilai Rp 60 juta, tambah Firdaus.

Mendengar tuntutan JPU Firdaus, Suparman yang duduk di kursi terdakwa tampak kaget dan langsung menunduk. Ditemui usai persidangan, Suparman yang terlihat semakin kurus selama masa persidangan mengaku kaget. Itu kan baru sepihak, itu masih tuntututan. Kita masih punya upaya lain. Kita akan beradu argumentasi di pembelaan, ungkapnya sesaat setelah persidangan.

Dia mengatakan, JPU tidak menyajikan keterangan saksi yang menguntungkannya sebagai terdakwa. Itu kan baru keterangan keluarga saja. Saya tidak puas, tambahnya.

Suparman mempertanyakan bukti penerimaan uang yang dimiliki Tintin ketika dia menyerahkan uang kepadanya. Apa buktinya dia memberi uang, atau paling tidak dari mana uang itu berasal. Ini cerita rekayasa, dalihnya. Suparman pun berlindung pada hukum formal. Ini hukum formal, bukan hukum materiil. Harus ada bukti, bukan hanya keterangan dari keluarga, tambahnya.

Firdaus ketika ditemui usai persidangan mengatakan, tuntutan yang diajukan jaksa adalah tiga kali lipat dari hukum minimal yang bisa diterapkan. Kenapa? Karena terdakwa yang seharusnya memberantas korupsi malah melakukan korupsi, ungkapnya. Suparman dijadwalkan membaca pleidoi atau nota pembelaan pada persidangan Rabu (15/8) mendatang.(ein)

Sumber: Jawa Pos, 10 Agustus 2006

Penyidik KPK Suparman Diperiksa Di Mabes Polri

Penyidik KPK Suparman Diperiksa Di Mabes Polri

Selasa, 21 Maret 2006 17:59 WIB - 270 Views

Jakarta (ANTARA News) - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ajun Komisaris Polisi Suparman yang diduga melakukan pemerasan terhadap saksi kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara (ISN), Selasa, menjalani pemeriksaan di Mabes Polri Jakarta. Seorang penyidik KPK mengatakan, Suparman diperiksa selama tiga jam oleh tiga penyidik KPK dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri. "Kami memeriksa dia di Mabes Polri siang ini," ujarnya. Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean membenarkan pemeriksaan terhadap Suparman tersebut. Ketika ditanya mengapa pemeriksaan terhadap Suparman dilakukan di Mabes, tidak seperti tersangka lainnya yang dibawa ke Gedung KPK, menurut Tumpak itu hanya karena alasan teknis. "Itu hanya alasan teknis, agar psikologisnya lebih enak. Di sana kan banyak teman-temannya," ujarnya singkat. Tumpak menolak untuk menjelaskan lebih lanjut tentang perkembangan penyidikan kasus itu, termasuk menjelaskan sudah berapa saksi yang diperiksa KPK dalam kasus pemerasan itu. Namun, seorang penyidik KPK menyatakan Suparman telah diperiksa untuk yang kedua kalinya. Pemeriksaan pertama terhadap Suparman, menurut penyidik itu, dilakukan setelah Suparman ditangkap. Pada Jumat 10 Maret 2005, KPK menerima laporan dari warga tentang adanya upaya pemerasan yang dilakukan penyidik KPK. Informasi itu kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk tim investigasi yang langsung dipimpin oleh Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK. Pada Sabtu 11 Maret 2005, Pimpinan KPK kemudian melakukan rapat khusus membahas laporan hasil penyelidikan tim dan akhirnya memutuskan untuk meningkatkan status penyelidikan dengan langsung membentuk tim penyidik. Pada hari yang sama, tim langsung melakukan penyidikan dengan cara mendatangi lokasi tempat terjadinya pemerasan di Bandung, Jawa Barat. Pada Senin 13 Maret 2005, setelah mendapat informasi dan data yang cukup, tim kemudian menangkap tersangka SUP di lokasi kediamannya di Bandung sekitar pukul 19.00 WIB dan langsung dibawa ke Jakarta untuk dititipkan di tahanan Divisi Propam Mabes Polri. KPK menyatakan akan menangani sendiri kasus tersebut. Berdasarkan Laporan Kejadian Korupsi Nomor LKK/04/VI/2005/KPK tertanggal 28 April 2005 yang diperoleh ANTARA, Suparman tercantum sebagai pelapor kasus dugaan korupsi di PT ISN ke KPK. Terkait penanganan kasus korupsi di PT ISN yang merugikan negara hingga Rp70 miliar, KPK telah memeriksa Tintin Surtini (biro jasa penjualan tanah), Indra Dipura (Kepala KPB PBBB Bandung), Edy Herdi (KPB PBBB Bandung), Entis Sutisna (Kabid PBBB Bandung), Sudjoko (PBB Bandung), Lukmanul Hakim (PBBB Bandung), dan Suryadi.(*)

Editor: Suryanto

COPYRIGHT © ANTARA 2006

AKP Suparman Dituntut 12 Tahun; Mantan Penyidik KPK yang Tersandung Kasus Pemerasan

AKP Suparman Dituntut 12 Tahun; Mantan Penyidik KPK yang Tersandung Kasus Pemerasan

Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) AKP Suparman bisa terkena hukuman pidana 12 tahun. Ini jika tuntutan untuk Suparman yang kemarin dibacakan di pengadilan tindak pidana korupsi benar-benar dilaksanakan. Dalam tuntutan tersebut, perwira polisi itu juga diharuskan membayar denda Rp 200 juta atau subsider 6 bulan penjara.

Suparman ditangkap penyidik KPK (teman-temannya sendiri) Maret lalu karena dituduh memeras Tintin Surtini ketika menangani kasus dugaan korupsi di PT Industri Sandang Nusantara (PT ISN).

Kasus Industri Sandang ditangani pengadilan tindak pidana korupsi. KPK menilai ada penyimpangan dalam penjualan aset negara. Yaitu, tanah 25,9 hektare dan bangunan seluas 24.201 meter persegi di Unit Patal Cipadung, Bandung, akhir 2004. Diperkirakan negara rugi Rp 70 miliar.

Dalam sidang kemarin, jaksa penuntut umum (JPU) Firdaus mengatakan, berdasarkan analisis yuridis, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pasal 12 (e) Undang-Undang No 30 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Terdakwa memenuhi unsur menguntungkan diri sendiri dan unsur melawan hukum, kata Firdaus.

Dia menambahkan, hal-hal yang memengaruhi tuntutan hingga 12 tahun penjara untuk Suparman ada tujuh hal. Di antaranya terdakwa melakukan tindakan sebagai penyidik pada KPK. Terdakwa juga dianggap berbelit-belit dalam persidangan dan tidak menunjukkan rasa penyesalan. Hal yang meringankan, terdakwa adalah kepala keluarga yang mempunyai tanggungan anak dan istri, ungkapnya.

Menurut Firdaus, Suparman terbukti melakukan pemerasan sehingga Tintin Supartini, saksi kasus PT ISN yang pernah ditanganinya, memberikan sejumlah uang dan barang kepada terdakwa. Terdakwa telah menerima uang Rp 413 juta, USD 300, tiga HP Nokia 9500, 24 tasbih, dan saksi terpaksa membeli mobil Atoz keluaran 2004 milik Suparman dengan harga Rp 100 juta, jauh lebih mahal dari harga pasaran yang diperkirakan senilai Rp 60 juta, tambah Firdaus.

Mendengar tuntutan JPU Firdaus, Suparman yang duduk di kursi terdakwa tampak kaget dan langsung menunduk. Ditemui usai persidangan, Suparman yang terlihat semakin kurus selama masa persidangan mengaku kaget. Itu kan baru sepihak, itu masih tuntututan. Kita masih punya upaya lain. Kita akan beradu argumentasi di pembelaan, ungkapnya sesaat setelah persidangan.

Dia mengatakan, JPU tidak menyajikan keterangan saksi yang menguntungkannya sebagai terdakwa. Itu kan baru keterangan keluarga saja. Saya tidak puas, tambahnya.

Suparman mempertanyakan bukti penerimaan uang yang dimiliki Tintin ketika dia menyerahkan uang kepadanya. Apa buktinya dia memberi uang, atau paling tidak dari mana uang itu berasal. Ini cerita rekayasa, dalihnya. Suparman pun berlindung pada hukum formal. Ini hukum formal, bukan hukum materiil. Harus ada bukti, bukan hanya keterangan dari keluarga, tambahnya.

Firdaus ketika ditemui usai persidangan mengatakan, tuntutan yang diajukan jaksa adalah tiga kali lipat dari hukum minimal yang bisa diterapkan. Kenapa? Karena terdakwa yang seharusnya memberantas korupsi malah melakukan korupsi, ungkapnya. Suparman dijadwalkan membaca pleidoi atau nota pembelaan pada persidangan Rabu (15/8) mendatang.(ein)

Sumber: Jawa Pos, 10 Agustus 2006

Divonis 8 Tahun Penjara, AKP Suparman Maki Jaksa KPK

Rabu 06 Sep 2006, 14:45 WIB

Divonis 8 Tahun Penjara, AKP Suparman Maki Jaksa KPK

- detikNews

Jakarta - Terdakwa kasus pemerasan saksi PT Industri Sandang Nusantara (Insan) AKP Suparman dijatuhi vonis 8 tahun penjara. Suparman terlihat sangat geram atas putusan itu.Vonis ini dibacakan oleh majelis hakim Tipikor yang diketuai oleh Masrudin Chaniago di Pengadilan Tipikor, Gedung Uppindo, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Rabu (6\/9\/2006).Ketika mendengarkan vonis putusan, AKP Suparman terlihat gusar dan tidak jarang dia menggeleng-gelengkan kepalanya yang menunjukkan kekecewaannya atas berkas putusan yang dibacakan hakim.Hal itu terbukti ketika sidang ditutup oleh majelis hakim, Suparman langsung berteriak dengan nada memaki pengadilan Tipikor.\\\"Ini persidangan yang telah menzalimi saya. Putusan hanya berdasarkan BAP saja. Bagaimana satu saksi bisa dijadikan sebagai alat bukti,\\\" kata Suparman dengan nada tinggi.Suparman pun mengeluarkan kata-kata kotor dan mencaci-maki pengadilan dan para jaksa KPK. Atas vonis itu Suparman menyatakan banding.Sementara kelurga AKP Suparman juga terlihat sangat kesal dan sedih atas vonis majelis hakim Tipikor. Bahkan ada di antara mereka yang menangis menuju ke ruang terdakwa. Sejumlah kamerawan dan fotografer yang ingin mengambil gambar dilarang dan sempat timbul ketegangan.Selain vonis 8 tahun penjara, Suparman juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan penjara yang dikurangi masa tahanan.Suparman dijerat oleh majelis hakim sesuai dengan dakwaan primernya yaitu pasal 12 E UU 20\/2001 tentang tindak pidana korupsi junto pasal 64 ayat 1 KUHP.Karena Suparman merupakan mantan penyidik KPK, maka dirinya juga dijerat dengan UU 30\/2002 tentang KPK, di mana ada penambahan sepertiga hukuman bagi para terdakwa korupsi yang berasal dari KPK.Suparman juga diwajibkan mengembalikan uang Rp 100 juta dan beberapa buah HP kepada Tin Tin Surtini dan kawan-kawan. (san/)

Mantan Penyidik KPK Divonis Delapan Tahun Penjara

Rabu, 06 September 2006 – dibaca:138

Mantan Penyidik KPK Divonis Delapan Tahun Penjara

'Satu saksi (Tintin, red) bisa dijadikan alat bukti. Ngapain ada persidangan, semuanya mirip dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan)'.

Aru

Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman, mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa dalam kasus pemerasan saksi �Tintin Surtini- dalam perkara korupsi PT Industri Sandang Nusantara (PT Insan) divonis delapan tahun penjara. Selain itu, majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi, Rabu (6/9), menjatuhkan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.

Putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan penuntut umum KPK yang sebelumnya menuntut 12 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.

Saat ditanya Masrudin Chaniago, ketua majelis, Suparman dengan nada tinggi menyatakan banding. Saya banding, pengadilan kejam, teriak Suparman tidak puas. Kekesalan Suparman ini terus berlangsung saat dirinya keluar dari ruang sidang. Satu saksi (Tintin, red) bisa dijadikan alat bukti. Ngapain ada persidangan, semuanya mirip dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan), lanjutnya.

Sementara, majelis dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, Suparman sebagai penyidik KPK melanggar Pasal 36 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasalnya, Suparman yang mempunyai kewenangan penyidikan dalam perkara korupsi PT Insan telah mempergunakan kekuasaannya secara salah.  

Suparman terbukti berhubungan dengan Saksi Tintin baik langsung maupun tidak langsung lewat layanan pesan singkat maupun telepon. Dari hubungan itu Suparman mendapat keuntungan pribadi berupa uang sebesar Rp413 juta, telepon seluler dan tasbih kristal.

UU 31/1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

e.      pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 36

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:

a.             mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun;

b.             menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;

c.              menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.

Pasal 37

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bahkan, Suparman menurut majelis, mengatasnamakan tim penyidik KPK dan nama seorang hakim dalam perbuatannya. Seorang hakim yang dimaksud adalah Dudu Duswara, salah satu hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi. Saat namanya disebut-sebut, Dudu yang awalnya ikut memeriksa dan mengadili perkara mengundurkan diri. Diketahui kemudian, Dudu ternyata tidak terlibat dalam perkara itu.

Masih menurut majelis, perbuatan Suparman dilakukan dengan jalan memaksa Tintin. Paksaan itu terbukti dari beberapa pesan singkat melalui telepon seluler. Suparman mengeluarkan kalimat-kalimat bernada ancaman yang ditujukan kepada Tintin. Jika tidak memberikan sejumlah uang yang diminta, Tintin akan dijadikan tersangka.

Perbuatan Suparman menurut majelis terbukti melanggar dakwaan pertama dalam surat dakwaan penuntut umum yang dibuat dalam bentuk alternatif. Dalam surat dakwaan perbuatan Suparman dijerat dengan pasal 12 huruf e UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 jo pasal 64 ayat (1) KUHP

Antara Kode Etik dan Kesejahteraan Aparat Penegak Hukum

23 October 2010

Antara Kode Etik dan Kesejahteraan Aparat Penegak Hukum

Prolog

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh seorang Polisi berpangkat Komisaris Besar Polisi (penulis temukan melalui browsing di Internet) menyebutkan bahwa bekerjanya sistem hukum di KPK bisa terlihat optimal karena dari segi kesejahteraan, personil di KPK sangat terdukung oleh gaji/insentif yang diterima para petugas KPK, yang tentunya sangat berbeda jauh dari gaji/insentif yang diterima oleh para penyidik Polri atau Kejaksaan yang bekerja di institusinya masing-masing. Selain itu, sarana dan fasilitas pendukung operasional KPK, sangat berbeda bila dibandingkan dengan sarana dan fasilitas pendukung operasional yang diterima oleh penyidik Polri dan Kejaksaan di instansinya masing-masing. Hal ini berdampak pada lengkapnya hasil penyelidikan dan penyidikan sehingga persidangan kasus-kasus yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor sangat mendukung sistem pembuktian di sidang pengadilan. Tentunya hal tersebut bisa tercipta karena dukungan sarana dan fasilitas APBN yang mencukupi. (Lihat : http://bekasinews.com/ serba-sebi/opini/485-pembangunan-aparatur-penegak-hukum.html).

Hal ini merupakan hipotesis yang menurut penulis kurang lengkap dan perlu untuk diberikan pelengkapnya supaya utuh. Sebab, permasalahan kesejahteraan dan dukungan operasional hanya merupakan dua dari tiga faktor yang dapat meningkatkan kinerja dan komitmen penegakan hukum yang profesional dan tidak memihak. Ketiga faktor tersebut adalah kesejahteraan, dukungan operasional dan kode etik beserta penegakannya.

Berdasarkan pengamatan penulis, faktor kesejahteraan dan daya dukung operasional senantiasa dikemukakan oleh internal instansi penegak hukum sebagai "curhatan publik". Jarang sekali instansi penegak hukum secara jujur mengkoreksi eksistensi dan penegakan kode etik internalnya. Padahal, ketiga hal tersebut merupakan sisi penunjang penegakan hukum yang tidak dapat dipisahkan.

Oleh karena itu sebagai pelengkap analisa yang dikemukakan oleh personil kepolisian tersebut, penulis hendak membicarakan bagaimana Kode Etik juga menunjang instansi penegak hukum membangun profesionalitas dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana.

Penerapan Kode Etik

Sebagai milestone awal, mari kita tengok persoalan kode etik penegak hukum di Amerika dan Singapura. Salah satu artikel yang dimuat oleh situs Kantor Berita Antara(Antaranews.com) pada tanggal 8 September 2009 (lihat : http://www.antaranews.com/berita/1260272776/membunuh-nafsu-korupsi-dengan-rp40000) telah mendeskripsikan keadaan yang bernuansa positif dan menarik. Disebutkan bahwa Negara-negara kaya seperti AS dan Singapura melihat uang adalah simbol usaha keras manusia. Menilai uang adalah juga menghargai kerja keras, prestasi dan kinerja. Mereka yang bekerja keras dan berprestasi tinggi mendapat bagian lebih besar dari mereka yang bekerja asal-asalan namun sering untung karena berkolusi dengan pemangku kebijakan. Agar negara tidak boleh digerogoti oleh kultur mengambil jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri, maka kemudian rambu-rambu etik pun dibuat untuk memagari kerja sistem pelayanan publik dari kolusi yang pasti koruptif.

Bahkan rambu etik itu ditegaskan secara gamblang, misalnya melalui Office of Government Ethics (OGE) seperti di Amerika Serikat. OGE menetapkan bahwa semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya melayani publik dan dilarang memanfaatkan jabatan atau posisinya untuk keuntungan pribadi. Selain itu, semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya boleh menerima hadiah tak lebih dari 20 dolar AS (sekitar Rp200.000) dan dalam setahun tidak boleh melebihi 50 dolar AS (Rp500.000). sistem pelayanan publik AS dibentengi oleh dua etika umum, yaitu jabatan publik tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan tak boleh memberi perlakuan khusus kepada organisasi atau individu mana pun.

Penulis artikel tersebut menunjukkan bahwa di negara-negara maju, kode etik memegang peranan penting bagi terciptanya akuntabilitas dan profesionalitas penyelenggaraan negara dan dianggap menggali banyak manfaat dan menjadi acuan dasar untuk menciptakan masyarakat yang antikorupsi pada umumnya dan terjaminnya “due process of law” dalam penegakkan hukum pada khususnya.

Sebagai milestone kedua, Di KPK, Kode etik menjadi standar tingkah laku pegawai yang senantiasa dijaga untuk meningkatkan integritas yang menjadi salah satu nilai dasar pribadi insan KPK. Setiap pelanggaran kode etik ditindak tegas. Selama tahun 2007, telah dilakukan 17 (tujuh belas) audit khusus atas dugaan pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan kewenangan sebagai tindak lanjut dari pengaduan masyarakat. Sedangkan untuk tahun 2008, data yang diperoleh penulis menyebutkan sekurang-kurangnya terdapat 6 (enam) surat perintah tugas audit khusus untuk penanganan dugaan pelanggaran kode etik di KPK sedangkan sampai dengan November tahun 2009 terdapat 11 pelanggaran kode etik.

Tindakan terhadap Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman, mantan penyidik KPK yang diproses secara hukum karena melakukan pemerasan dalam penanganan kasus korupsi adalah contoh bagaimana KPK menindak tegas personelnya sendiri. Bahkan, atas laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas dugaan 17 pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Antasari Azhar yang kini adalah mantan Ketua KPK telah dilakukan tindakan oleh Komisi Etik KPK. Dua kasus pelanggaran kode etik tersebut sempat “menggoyang” semangat pegawai KPK. Namun, karena policy terhadap pelanggaran kode etik sekeras mungkin dilaksanakan secara “zero tolerance”, KPK mampu terlindungi dari konflik kepentingan yang berpotensi merongrong kewibawaan institusi.

Masih banyak contoh penerapan kode etik di KPK. Bahkan berdasarkan informasi dari narasumber penulis di Internal KPK, banyak pegawai KPK baik dari Unit Sekretariat Jenderal, Pencegahan sampai Unit Penindakan pernah mengalami cobaan kode etik pribadi. Dari yang “biasa-biasa” sampai yang “luar biasa”. Dari tawaran makan siang, tiket perjalanan dan akomodasi gratis sampai pada tawaran wanita, uang, bahkan kepemilikan tambang minyak dan batu bara.

Milestone terakhir, Badan Pembinaan Hukum Nasional merumuskan bahwa dalam rangka pembangunan di bidang Penegakan Hukum dan Reformasi Aparatur diperlukan Sistem rekrutmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekrutmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi di bidang peradilan serta optimalisasi standar kode etik profesi hukum di lingkungan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya serta asosiasi profesi hukum dan juga perlu dilakukan secepatnya sebagai upaya penegakan hukum.

Hal ini menunjukan bahwa pemahaman yang dianut oleh negara kita dalam proses pembangunan aparatur penegak hukum yang profesional selalu diawali oleh penciptaan dan penerapan serta penegakkan kode etik yang disiplin. Sebab, kode etik adalah standar moral yang mengatur sesatu boleh dan tidak boleh. Bisa jadi suatu perbuatan tidak ada hukum yang mengaturnya, tetapi jika kode etik dilanggar, semestinya akan terdapat sanksi sosial yang membuat jera.

Epilog

Salah seorang kolega penulis yang bekerja sebagai Jaksa Penuntut Umum di KPK pernah menyatakan, “saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa peningkatan kesejahteraan akan menjamin peningkatkan profesionalitas penegakkan hukum di Indonesia dan menghindarkan dari peluang korupsi. Sebab, berdasarkan pengalaman sebagai JPU lebih dari 20 tahun menemukan bahwa korupsi banyak terjadi karena keserakahan, bukan karena kurang sejahtera. Mendisiplinkan profesi melalui kode etik yang benar-benar ditegakkan serta pelaksanaan tugas tanpa intervensi kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan tugas kita itu lebih ampuh untuk meningkatkan profesionalitas penegakkan hukum.”

Tulisan ini bukan ingin mengesampingkan permasalahan kesejahteraan aparat penegak hukum yang (memang) kurang memadai. Tulisan ini hanyalah bentuk penyadaran bahwa disadari atau tidak, kode etik aparat penegak hukum itu hanya eksis secara formal, namun penerapan dan penegakkannya masih kurang optimal. Penulis berpandangan mendisiplinkan diri pribadi terhadap kode etik menunjukan kelayakan aparat penegak hukum untuk dapat segera “disejahterakan” oleh negara.

Abi Aisy Muhammad at 5:36 AM

Sabtu, 24 Desember 2016

Peringatan bagi KPK

Peringatan bagi KPK

Benarkah KPK tidak berani mengungkap kasus yang melibatkan pejabat tinggi atau yang kuat nuansa politisnya?

Komisi Pemberantasan Korupsi mulai menuai kritik. Lembaga yang diharapkan bisa menegakkan citra penegakan hukum itu dianggap tak bisa memenuhi harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Yang saya sesalkan, KPK itu mulai pilih-pilih. Buktinya, kasus korupsi KPU (Komisi Pemilihan Umum) tidak selesai-selesai, kata Romli Atmasasmita, pakar hukum Universitas Padjadjaran, yang membidani lahirnya KPK di kantornya, Sabtu pekan lalu.

Ketua Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004) itu mengatakan, seharusnya KPK bisa menuntaskan kasus KPU dengan menyeret para anggotanya yang belum ditahan, di antaranya Hamid Awaluddin, yang kini menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM dan Chusnul Mar'iyah.

Para anggota KPU yang masih bebas itu, kata dia, seharusnya bisa ditahan berdasarkan pengakuan Kepala Biro Keuangan Hamdani Amien, yang menyatakan bahwa mereka telah menerima dana rekanan. Pengakuan yang diucapkan di persidangan itu, menurut Romli, sebagai suatu bukti yang sah.

Bukti lainnya, menurut dia, adanya pengakuan dari bendahara KPU Sri Ampini yang menyatakan Hamid turut menerima dana itu tapi ada tanda terimanya. Meski Hamid membantah, menurut Romli, itu tidak menjadi masalah. Dia mengatakan, tidak perlu ada pengakuan dari yang bersangkutan.

Sikap pilih-pilih tebu ini dikabarkan juga sempat membuat keretakan di tubuh KPK beberapa waktu lalu. Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi, menurut sumber Tempo, sempat menyatakan ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Sekarang lagi dibujuk-bujuk, kata sumber itu, sekitar dua bulan lalu.

Amien tidak membantah dan juga mengiyakan pernyataan itu. Pintar banget kamu bikin berita, ujarnya kepada Tempo saat diminta konfirmasi soal berita itu. Dia menolak diwawancarai perihal tersebut meski Tempo telah dua kali mengajukannya.

Romli bahkan menilai KPK tidak punya keberanian untuk mengusut kasus yang berhubungan dengan pejabat dan para politikus. Ia mencontohkan pengusutan kasus technical assistance contract Pertamina yang melibatkan mantan Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita.

Kasus yang sempat dihentikan penyidikannya di kejaksaan, menurut Ketua Forum 2004 ini, seharusnya bisa diambil alih oleh KPK. Bukti-bukti korupsi dalam kasus itu, kata dia, sudah cukup jelas dan kuat.

Lendo Novo, staf ahli Menteri Negara BUMN, yang juga sebagai ketua tim investigasi korupsi kementerian BUMN, juga menyesalkan sikap KPK. Menurut Lendo, berkas kasus dugaan korupsi pengucuran kredit Bank Rakyat Indonesia kepada PT Domba Mas yang telah diadukan pun kini masih gelap kabarnya. Padahal, menurut dia, bukti-bukti kerugian negara Rp 745 miliar sudah lengkap.

Namun, penilaian berbeda diberikan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko. Ia menilai kinerja KPK sejauh ini masih positif melihat pengusutan kasus Abdullah Puteh dan KPU.

Tapi dia mengatakan, seharusnya KPK bisa naik kelas dengan menangani kasus-kasus besar yang sarat dengan intervensi politis. Kasus seperti Abdullah Puteh dan KPU minus belum terseretnya Hamid, kata dia, masih berada di level menengah. KPK harus membuat terobosan sehingga bisa dicontoh lembaga lain, ujarnya saat dihubungi di Jakarta kemarin.

Apakah itu karena KPK belum berani? Danang mengatakan tidak tahu. Mungkin ada pembagian dengan Timtastipikor (Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi), ucapnya. Penilaian berani atau tidak, kata dia, bisa dilihat setelah KPK menangani kasus-kasus yang melibatkan pejabat negara dan sarat dengan nuansa politis. EDY CAN

Mereka yang Terjerat KPK

Setelah bekerja hampir setahun, KPK berhasil mengungkap sejumlah kasus korupsi. Berikut ini beberapa di antaranya:

20 September 2005
Ahmad Royadi, Kepala Bagian Perencanaan dan Penyusunan Anggaran Biro Logistik KPU, ditahan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan tinta.

15 September 2005
Sussongko Suhardjo, Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal KPU, divonis 2,5 tahun penjara.

13 September 2005
Mahkamah Agung menghukum Gubernur nonaktif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh dengan penjara 10 tahun dalam kasus korupsi pengadaan helikopter Mi-2 PLC Rostov Rusia.

Persidangan perdana Teuku Syaifuddin alias Popon, terdakwa yang diduga melakukan pemberian sejumlah uang dalam perkara banding Abdullah Puteh, digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

12 September 2005
Anggota KPU, Mulyana W. Kusumah, dihukum penjara 2 tahun 7 bulan.

1 September 2005
KPK menahan Wakil Kepala Biro Keuangan KPU, M Dentjik.

31 Agustus 2005
Cecep Harefa, broker pengadaan buku pemilu 2004, ditangkap KPK.

24 Agustus 2005
KPK menahan Lim Kian Jin karena dugaan ikut terlibat dalam korupsi pengalihan aset negara PT Industri Sandang Nusantara seluas 25,9 hektare.

9 Agustus 2005
Direktur Administrasi dan Keuangan RRI Suratno ditahan 20 hari untuk penyidikan dalam kasus markup pengadaan pemancar dan alat perlengkapan RRI pada 2003.

3 Agustus 2005
Bekas Sekretaris Jenderal KPU Safder A. Yussac dijebloskan ke rumah tahanan karena diduga terlibat korupsi proyek pencetakan buku panduan KPU.

2 Agustus 2005
Kepala Subdirektorat Anggaran II E Direktorat Jenderal Anggaran Ishak Harahap ditahan selama 20 hari.

1 Agustus 2005
Faharan Suhaimi, tersangka korupsi di RRI, ditahan.

28 Juli 2005
Mantan Penjabat Sementara, Pelaksana Direktur Pembinaan Anggaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan Sudji Darmono ditetapkan menjadi tersangka karena menerima dana rekanan KPU dari Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin sebesar Rp 342 juta ditambah US$ 79 ribu.

18 Juli 2005
Rusadi Kantaprawira, anggota KPU, ditahan dalam kasus pengadaan tinta.

8 Juni 2005
Hamid Awaluddin, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum diperiksa pertama kali sebagai saksi dalam kasus penerimaan dana gelap Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin.

25 Mei 2005
Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti menegaskan, dirinya tidak menerima dana taktis yang dikumpulkan oleh Hamdani Amin sebesar Rp 20,3 miliar. Hal ini disampaikan Ramlan menjawab pertanyaan wartawan setelah menjalani pemeriksaan di KPK selama kurang-lebih 7 jam di Jakarta, Rabu (25/5).

20 Mei 2005
Komisi Pemberantasan Korupsi menahan ketua Komisi Pemilihan Umum Nazaruddin Sjamsuddin sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi. Nazaruddin sebagai pegawai negeri diduga telah menerima uang senilai US$ 45 ribu dari perusahaan rekanan pengadaan logistik Pemilu 2004.

10 Mei 2005
Komisi Pemberantasan Korupsi meminta keterangan Wakil Ketua Panitia Pengadaan Kotak Suara Pemilu 2004 Daan Dimara.

5 Mei 2005
Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum.

26 April 2005
Sussongko Suhardjo (Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal) terdakwa kasus penyuapan terhadap auditor BPK.

25 April 2005
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan, Muhammad Harun Let Let dan Captain Tarcisius Walla, terdakwa pengadaan tanah untuk Pelabuhan Tual, Kabupaten Maluku Tenggara, terbukti bersalah dalam dakwaan subsider. Let Let dan Walla masing-masing dihukum delapan dan tujuh tahun penjara.

11 April 2005
Abdullah Puteh, gubernur nonaktif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

9 April 2005
Anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana W. Kusumah tertangkap tangan saat menyuap auditor BPK.

Sumber: Koran Tempo, 26 September 2005

Mulyana Wira Kusumah

Mengenal Lebih Dekat Dengan Koruptor yang telah divonis
MULYANA WIRA KUSUMAH

DETAIL
Jenis Kelamin. : Laki-laki
Pendidikan : S1
Profesi : Anggota Komisi Pemilihan Umum
Institusi : Komisi Pemilihan Umum
Waktu Kejadian Perkara : 2005
Waktu Inkracht : 2005
Area korupsi : Jakarta
Jenis TPK : Penyuapan

Kasus penyuapan, divonis pidana penjara 2 tahun 7 bulan dan denda Rp50 juta subsidiair 3 bulan kurungan.
Abdullah

Abdullah Puteh


Inilah Koruptor yang telah divonis bersalah alumni pertama KPK

ABDULLAH PUTEH

DETAIL
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : S2
Profesi : Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
Institusi : Pemerintah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam
Waktu Kejadian Perkara : 2002-2003
Waktu Inkracht : 2005
Area korupsi : Naggroe Aceh Darussalam
Jenis TPK : Pengadaan Barang dan Jasa

Kasus penyuapan, divonis pidana penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta subsidiair 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp6,6 miliar.

Enggan Bicara Makar, Sri Bintang Lebih Memilih Dipenjara


Enggan Bicara Makar, Sri Bintang Lebih Memilih Dipenjara
MINGGU, 25 DESEMBER 2016 | 10:53 WIB

Sri Bintang Pamungkas (dua dari kanan) saat menghadiri sebuah diskusi di Jakarta pada 17 November 2016 lalu. Tempo/Reza Syahputra

TEMPO.CO, Jakarta - Tersangka dugaan makar Sri Bintang Pamungkas enggan menjawab pertanyaan penyidik saat dimintai keterangan ihwal  kasus yang menimpanya. Arief Nasution, kuasa hukum Sri Bintang mengatakan kliennya menolak saat ditanya seputar makar.

"Beliau bilang cari sendiri," kata Razman saat dihubungi, Minggu 25 Desember 2016.

Menurut Razman, Sri Bintang beranggapan polisi harus bertanggung jawab bila telah menetapkan seseorang sebagai tersangka. "Ini prinsipnya pak Bintang," ujarnya.

Ketimbang menjawab pertanyaan penyidik terkait makar, Sri Bintang dikabarkan lebih memilih tetap ditahan selamanya. "Benar. Selagi hukum tidak ditegakkan, selagi polisi masih menurut kami melanggar hukum, mencari-cari hukum," ucap Razman.

Menurut Razman, saat era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Sri Bintang pernah melawannya. Namun tidak sampai ditahan. "Ini kan sekarang lebih diktator."

Razman menambahkan, pihaknya juga masih mempertimbangkan untuk mengajukan praperadilan terkait penetapan Sri Bintang sebagai tersangka.

Sri Bintang ditangkap bersama sejumlah aktivis pada 2 Desember 2016, sebelum berlangsung Aksi Bela Islam II di Monumen Nasional. Ia diduga akan melakukan makar dan berupaya membelokkan masa dari Monas untuk menduduki gedung DPR.

Polisi telah memperpanjang masa penahanannya setelah memasuki hari ke-21. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan mengatakan perpanjangan penahanan ini  karena pemberkasan perkara Sri Bintang belum selesai.

AHMAD FAIZ

Curigai Infiltrasi Serdadu Cina, Amin Rais Desak Jokowi Cabut Bebad Visa


Curigai Infiltrasi Serdadu Cina, Amin Rais Desak Jokowi Cabut Bebas Visa
Sunday, 25 December 2016 | 11:32 WIB
Republika/Yogi Ardhi
Politikus senior, Amien Rais berbicara saat mengunjungi kantor Redaksi Republika di Jakarta, Selasa (15/11)

REPUBLIKA.CO.ID, PANGALENGAN -- Politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN), Amin Rais mendesak Presiden Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi untuk mencabut kebijakan bebas visa. Hal ini terkait dengan banyaknya tenaga kerja ilegal masuk ke Indonesia, termasuk Cina. 

"Ada satu hal yang sangat mendesak supaya kebijakan bebas visa itu segera bukan ditinjau ulang tapi langsung dicabut," ujarnya kepada wartawan usai acara pelantikan dan pelatihan DPD dan DPC PAN se-Kabupaten Bandung di Pangalengan akhir pekan ini.

Alasan kebijakan tersebut harus dicabut menurutnya, Indonesia tidak cukup mempunyai tenaga intelijen dan imigrasi yang melakukan pengawasan terhadap orang asing yang datang ke Indonesia. Kebanyakan berasal dari daratan Cina.

Ia pun mempertanyakan keberadaan orang asing asal Cina yang datang ke Indonesia. Sebab, jika mereka turis maka semestinya datang ke daerah-daerah wisata seperti Bandung, Bali ataupun Yogya. Namun faktanya mereka banyak masuk ke hutan dan pulau-pulau kecil.

Amin mencurigai orang asing asal Cina yang datang ke Indonesia dan masuk ke wilayah hutan dan pulau kecil patut dicurigai adalah serdadu Cina. Mereka akan membuat konsep Lebensraum di Indonesia yaitu melebarkan sayap agar negara tetangga bisa dikuasai secara perlahan.

"Karena itu saya kepada Jokowi memberikan masukan segera cabut kebijakan bebas visa agar supaya untuk kepentingan dia sendiri," ungkapnya.

Sebab, jika rakyat sudah resah maka pelan-pelan legitimasi Jokowi akan menipis. Dan resikonya adalah tidak akan dipercaya lagi oleh rakyat.

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan harus ada tindakan lebih lanjut terkait kebijakan bebas visa terhadap warga negara asing, tidak hanya terhadap Cina tetapi juga negara lainnya.

"Bukan dievaluasi tapi dicabut kebijakan itu. Setelah dicabut baru dievaluasi," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (19/12).

Baca juga, Nasir Djamil: Cabut Bebas Visa WN Cina dan Negara Lain.

Sebelumnya empat petani Cina menanam cabai ilegal di Bogor, Jawa Barat. Menurut Badan Karantina cabai tersebut mengandung bakter berbahaya untuk tanaman lain.

Nasir Djamil berpendapat kebijakan bebas visa yang saat ini diberlakukan di Indonesia tidak diikuti kesiapan aparatur dalam menghadapi dan menyeleksi warga asing yang masuk ke Indonesia.

"Dalam waktu sebulan dievaluasi sekaligus diterbitkan kebijakan baru yang mampu menjaga kedaulatan dan martabat Republik ini," ujar politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan / Red: Teguh Firmansyah